Selasa, 30 Agustus 2016

Ini Tahapan Pilkada Aceh 2017

Atjeh Pusaka, Banda Aceh – Komisi Independen Pemilihan (KIP) telah meluncurkan secara resmi dimulainya tahapan pemilihan kepala daerah Aceh serentak di Gedung AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Selasa (2/8/2016) lalu. Peluncuran ditandai dengan tabuhan tambo (alat tradisional Aceh) oleh unsur Muspida di provinsi ini.
Sehari setelah peluncuran, tahapan pilkada langsung dimulai dengan penyerahan syarat dukungan perseorangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Aceh. Fase penyerahan dukungan persyaratan bagi calon perseorangan itu akan berlangsung hingga 7 Agustus nanti.
Tahapan pemilihan kepala daerah telah dituangkan KIP Aceh dalam Surat Keputusan No 1/2016 – detil SK Tahapan bisa diakses melalui website KIP Aceh di alamat www.kip.acehprov.go.id.
Di bawah ini, kami akan menampilkan beberapa tahapan pilkada secara garis besar:
3-7 Agustus: Penyerahan syarat dukungan perseorangan cagub/cawagub
3-12 Agustus: Perhitungan jumlah minimal dukungan, sebaran, dan analisa berkas dukungan calon perseorangan
13-15 Agustus: Berkas syarat dukungan disampaikan ke KIP Kabupaten/Kota, lalu diteruskan ke PPS pada 16 hingga 20 Agustus. Rekapitulasi di tingkat kecamatan mulai 4 hingga 10 September dan dilanjutkan rekap di Kabupaten/Kota pada 11-15 September dan Provinsi 16-18 September.
18 Agustus – 7 Sept.: Penyusunan daftar pemilih oleh KIP Kab/Kota dan disampaikan ke PPS
11-18 September: Pengumuman pendaftaran pasangan calon
19-21 September: Pendaftaran pasangan calon
21-27 September: Pengumuman dokumen syarat pasangan calon di laman web KIP
19-25 September: Pemeriksaan kesehatan pasangan calon
21-27 September: Uji kemampuan baca Al-Quran bagi pasangan calon
29 Sept. – 1 Okt.: Perbaikan syarat calon
29 Sept. – 21 Okt.: Penelitian perbaikan syarat dukungan pasangan calon perseorangan
8-21 Oktober: Penyusunan daftar pemilih hasil pemutakhiran
22 Oktober: Penetapan Pasangan Calon
23 Oktober: Pengundian nomor urut kandidat
26 Okt. – 11 Feb 2017: Kampanye
26 Oktober: Penyampaian visi dan misi serta program kandidat di DPR Aceh
26 Okt. – 11 Feb 2017: Debat publik/terbuka antarpasangan calon
12-14 Februari 2017: Masa tenang
25 Oktober 2016: Penyerahan laporan awal dana kampanye
2-3 November: Penetapan Daftar Pemilih Sementara
3-24 November: Penyampaian DPS ke PPS, pengumuman, tanggapan masyarakat terhadap DPS, dan perbaikan DPS.
25 Nov 16 – 14 Feb 17: Produksi dan pendistribusian logistik pilkada
7-8 Desember: Rekapitulasi dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT)
17 Des 2016 – 15 Feb 2017: Pengumuman DPT oleh PPS
18 Des 2016 – 14 Jan 2017: Penyusunan, rekapitulasi, penyampaian oleh PPS kepada PPK, dan rekap DPTb-1 (pemilih tetap tambahan)
5-6 Jan 2017; Rekapitulasi DPTb-1 tingkat Provinsi
14-15 Jan 2017: Pengumuman DPTb-1 oleh PPS
6-12 Feb 2017: Penyampaian undangan pemilihan di TPS kepada pemilih
15 FEBRUARI 2017: PEMUNGUTAN SUARA
15-21 Feb 2017: Perhitungan suara di TPS
15-17 Feb 2017: Penyampaian hasil perhitungan suara kepada PPK
16-22 Feb 2017: Penyampaian rekapitulasi suara ke KIP kab/kota
22-24 Feb 2017: Rekap dan pengumuman hasil penghitungan suara di tingkat Kab/Kota
25-27 Feb 2017: Rekap, penetapan, dan pengumuman hasil pilkada di tingkat provinsi
1-3 Maret 2017: Penyampaian dan pengumuman hasil audit dana kampanye kandidat ke KIP.
10-12 Maret 2017: Penetapan pasangan calon terpilih tanpa perselisihan hasil pemilihan.
11-13 Maret 2017: Pengusulan pengesahan dan pengangkatan calon terpilih –jika tidak ada sengketa di MK

Calon Gubernur Aceh dari Jalur Independen cuma 3 Pasangan Balon

Atjeh Pusaka, Banda Aceh – Komisioner Bidang Hukum dan Pengawasan Komisi Independen Pemilihan  (KIP) Aceh, Junaidi mengatakan, batas akhir yang ditetapkan untuk tahapan penyerahan berkas syarat dukungan bagi pasangan calon perseorangan adalah hari ini, 7 Agustus 2016 pukul 16.00 WIB.

Hingga tahapan tersebut ditutup pukul 16.00 WIB tadi, hanya tiga pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Aceh yang telah menyerahkan berkas dukungan berupa fotokopi KTP pendukung dan lainnya. Jumlah KTP minimal yang ditetapkan adalah  153.045 dukungan dengan jumlah minimal persebaran pada 12 kabupaten/kota.
Saat ini KIP Aceh masih melakukan perhitungan terhadap jumlah minimal, sebaran, dan analisa berkas dukungan calon perseorangan, sampai 12 Agustus 2016.
Pasangan bakal calon yang pertama menyerahkan syarat dukungan dari jalur perseorangan adalah Zakaria Saman dan Teuku Alaidinsyah. Mereka mendatangi kantor KIP Aceh pada hari pertama tahapan penyerahan dukungan dibuka, 3 Agustus 2016. Jumlah fotokopi KTP sebagai syarat dukungan yang diserahkan sebanyak 154,736 lembar.
Selanjutnya pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Abdullah Puteh dan Sayed Mustafa menyerahkan syarat dukungan ke Kantor KIP Aceh, pada 5 Agustus 2016. Mereka menyerahkan 188.459 fotokopi KTP dukungan.
Sementara pada hari terakhir, 7 Agustus 2016, bakal calon pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dan Nasaruddin datang membawa 201.150 fotokopi KTP dukungan, sebagai syarat maju dalam Pilkada Aceh 2017.
Sesuai ketentuan, calon dari jalur partai baru dapat mendaftar pada 19 – 21 September 2016. Lengkapnya lihat: Ini Tahapan Pilkada Aceh 2017.

Senin, 04 Juli 2016

Seulamat Uroe Raya Idul Fitri

Blogger Atjeh Pusaka Mengucapkan Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1 Syawal 1437 H.
Meu'ah Lahee  ngon Batein...
Taqabbalallahu Minna Wamingkum...

Jumat, 01 Juli 2016

Dana Otsus Melimpah Tapi Kemiskinan Bertambah

Atjeh Pusaka - “Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat itu dibagi 70 persen atau Rp 5.435.541.600.000,00 untuk Provinsi Papua dan 30 persen atau Rp2.329.517.820.000,00 untuk Provinsi Papua Barat,” bunyi keterangan pemerintah dalam RAPBN Tahun Anggaran 2016.

Adapun alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh dalam RAPBN Tahun 2016 mencapai Rp 7.765.059.420.000,00. Sebelumnya pada tahun 2015, Aceh mendapat Rp 7,0 triliun.

Sejak tahun 2008 sampai 2015 (red- 8 tahun ) Provinsi Aceh sudah menerima dana Otsus lebih kurang berjumlah Rp42,2 triliun.

Rinciannya, pada tahun 2008, Aceh mendapat Rp3,5 triliun. Kemudian Tahun 2009 dialokasikan sebesar Rp3,7 triliun. Pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp3,8 triliun. Meningkat lagi di tahun 2011 menjadi Rp 4,5 triliun.

Selanjutnya pada tahun 2012, dana Otsus Aceh bertambah menjadi Rp5,4 triliun. Untuk tahun 2013 bertambah lagi di angka Rp6,2 triliun.
Pada tahun 2014, dana Otsus Aceh berjumlah Rp8,1 triliun. Tahun 2015 alokasi dana Otsus Aceh mengalami penurunan menjadi Rp7 triliun. Kemudian tahun 2016, Pusat akan tambah Dana Otsus Aceh menjadi Rp7,7 triliun

Aceh Termiskin ke 2 di Sumatera, Urutan 7 di Indonesia
Data Angka Kemiskinan Januari 2016
Direktur IDeAs Munzami Hs mengungkapkan Aceh menempati urutan tertinggi kedua di Sumatera setelah Bengkulu (17,16 persen), sedangkan di Indonesia.
“Aceh menempati urutan ke tujuh provinsi termiskin, dibawah Nusa Tenggara Barat (16,54 persen). Tiga provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi pada September 2015 masing-masing yaitu Papua 28,40 persen, Papua Barat 25,73 persen, dan NTT 22,58 persen,” ujarnya
Menurutnya, kemiskinan Aceh masih jauh di atas rata-rata nasional. (11,13 persen) Berdasarkan data BPS Aceh Pada September 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Aceh mencapai 859 ribu orang (17,11 persen), bertambah sebanyak 8 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2015 yang jumlahnya 851 ribu orang (17,08 persen). Selama periode Maret 2015 – September 2015.
“Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan mengalami penurunan sebesar 0,21 persen (dari 11,13 persen menjadi 10,92 persen), dan di daerah perdesaan mengalami peningkatan 0,12 persen (dari 19,44 persen menjadi 19,56 persen),” katanya
Lebih lanjut kata Munzami kondisi tingginya angka kemiskinan ini merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh yang masih terjerat dengan persoalan kemiskinan.
“Jika dibandingkan dengan aliran dana APBA belasan triliun yang mengalir ke Aceh tiap tahunnya, maka berlimpahnya anggaran masih belum berdampak positif terhadap penurunan angka kemiskinan. Termasuk persoalan pengangguran yang merupakan salah satu penyebab kemiskinan, Aceh menempati urutan tertinggi angka pengangguran di Indonesia (9,93 persen),” sebutnya
Ia menambahkan, Bila APBA/APBK ataupun Dana Otsus tidak dikelola tepat sasaran dan profesional, maka akan berdampak lebih buruk terhadap kesejahteraan rakyat Aceh di masa depan, karena perlu diketahui, mulai tahun 2023 mendatang Aceh hanya akan menerima 1 persen Dana Otsus dari DAU nasional.
“Aliran Dana Otsus sebesar 2 persen hanya tinggal 7 tahun lagi hingga tahun 2022 dari total 20 tahun Dana Otsus yang akan diterima Aceh (2008 – 2027),”tambah Munzami.
Ia juga berharap semoga kebijakan anggaran yang sedang dibahas oleh eksekutif dan legislatif di Aceh untuk tahun anggaran 2016 ini berorientasi terhadap penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. “Semoga APBA/APBK benar-benar pro-rakyat miskin,” pungkasnya

Selasa, 28 Juni 2016

10 Air Terjun Yang Terindah Di Aceh

1. Air Terjun Suhom ( Aceh Besar )
Air terjun ini terdapat di daerah aceh besar. tetapi tidak terlalu jauh dari ibu kota aceh, yaitu banda aceh. dari banda aceh menuju ke lokasi air terjun ini lebih kurang 1 jam. jalan menuju ke air terjun ini juga bagus. kalau main ke aceh, rugi kalau tidak datang ke tempat ini. setiap hari libur, banyak orang yang datang ke sini untuk menikmati panorama alamnya yang dapat membuat pikiran dan beban yang ada di kepala hilang.

2. Air Terjun Akang Siwah ( Gayo Lues )
Alam Air Terjun Akang Siwah Objek wisata ini merupakan wisata alam/ekowisata yg mempesona, dan masih sangat alami, cocok bagi yang menginginkan ketenangan dan merasakan kesejukan udara disini. wisata alam air terjun akang siwah hanya berjarak 6 Km dari Ibukota kabupaten yaitu Blangkejeren, Air Terjun ini memiliki panorama tiga(3) tingkat (8m, 14m dan 80m). 

3.Air Terjun Kuta Malaka ( Aceh Besar )
Air Terjun Kuta Malaka merupakan air terjun yang terletak di Kuta Malaka Kecamatan Samahani Kabupaten Aceh Besar yang berada pada ketinggian lebih kurang 600 m dpl, dengan bentuk bertingkat-tingkat.  Namun kata masyarakat setempat mencapai 7 tingkat dan bahkan ada yang mengatakan 20 tingkat.Untuk dapat berkunjung ke tempat wisata indah ini pengujung harus menempuh perjalan sejauh lebih kurang 30 km dari pusat kota Banda Aceh. Hampir setiap hari minggu atau hari libur, tempat ini ramai di kunjungin, baik masyarakat lokal, maupun luar kota. Memang Sungguh Indah Alam Nanggroe Aceh Darussalam.

4. Air Terjun Pucok Krueng ( Abdya )
Objek wisata air terjun Pucok Krueng yang berlokasi di Gampong Alue Laseh, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), dalam beberapa tahun terahir ini menjadi kawasan waisata yang paling diincar para wisatawan lokal. Pasalnya, selain lokasi yang mudah dijangkau, suasana di kawasan objek wisata dimaksud juga masih tampak asri.

5. Air Terjun Tansaran Bidin ( Bener Meriah )
Air Terjun Tansaran Bidin terletak di Desa Tansaran Bidin, Kec. Bandar Kabupaten Bener Meriah dengan ketinggian mencapai 50 M menobatkannya menjadi Air Terjun Paling Tinggi di Kabupaten Bener Meriah. Lokasinya tidak jauh dari Pondok Baru yang merupakan Ibukota Kec. Bandar Kab. Bener Meriah tapi karena sarana jalan yang belum memadai, untuk mencapai lokasi air terjun terpaksa ditempuh dengan jalan kaki selama kira-kira 1,5 jam (tergantung kekuatan kaki dan kecepatan langkah masing²) jalan menuju ke lokasi air terjun yang berhutan dan agak berbukit membuat liburan anda makin penuh dengan petualangan 

6. Air Terjun Terujak ( Aceh Timur )
Objek Wisata Air Terjun Terujak merupakan Tempat wisata yg berudara sejuk, serta mempunyai pemandangan hutan alam yg indah. Air Terjun Terujak berada di Desa Terujak, Kecamatan Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Cara Menuju Lokasi bisa Menggunakan kendaraan mobil ataupun sepeda motor, Dilokasi wisata ini selain air terjun yg indah, terdapat juga tempat pemandian air panas yg bersumber dari belerang dilereng gunung, dan juga terdapat tempat pemandian air dingin.

7. Air terjun Lae Gecih ( Aceh Singkil  )
Air terjun Lae Gecih obyek wisata ini. Berlokasi di desa kuta tinggi / lae gecih kecamatan simpang kanan. Jarak dengan ibukota kabupaten yaitu kira2 90 km dan kecamatan 20 km. kegiatan masyarakat di daerah ini mayoritas budidaya ikan air tawar dan bertani, sehingga wisatawan yang berkunjung di daerah ini dapat melihat kegiatan pedesaaan.

8. Air Terjun SKPC ( Subussalam )
Air Terjun SKPC dikelilingi perkebunan kelapa sawit dan salak pondoh milik transmigrasi setempat itu terlihat indah meski belum tertata rapi. Obyek wisata yang berada sekitar delapan km dari pusat Kota itu ramai dikunjungi masyarakat setiap hari libur. Lokasi air terjun SKCP yang berada di kawasan kampung SKPC Kecamatan Penanggalan, tidak begitu jauh dari pusat kota itu bisa dijadikan tempat rekreasi karena alam sekitarnya indah dikelilingi perkebunan kelapa sawit dan salah pondoh milik masyarakat setempat. Subulussalam berada diperbatasan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Kota ini baru definitif dan terpisah dari Kabupaten induk Aceh Singkil. Komoditi dominan daerah kelapa sawit, di samping pertanian. Pemerintah Kota (Pemko) Subulussalam kini sedang giat membangun berbagai fasilitas publik, sehingga terlihat indah pusat kota “transit” yang berbatasan dengan Aceh Singkil,Aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Provinsi Sumut itu dinilai strategis prospeknya ke depan. 

9. Air Terjun Sabang ( Pulau Weh )
Sungai Pria Laot berhulu dari Gunung Sarung Keris. Di tengah-tengah hutan, teidak terlalu jauh dari desa Pria Laot, sungai tersebut berubah menjadi air terjun bertingkat yang menakjubkan. Disana Anda dapat berenang di bawah air terjun, atau sekedar menikmati suasanan hutan lindung dengan kupu-kupu yang bertebaran di sekelilingnya. Air terjun tesebut terletak 1,7 km dari jembatan Pria Laot. 

10  Air Terjun Mengaya ( Aceh Tengah-Takengon)
Air Terjun Mengaya ini Terletak di Desa Mengaya, Kec.Bintang. Kabupaten Aceh tengah berdekatan dengan obyek wisata Danau Lut Tawar. Melalui jalan setapak yang sudah beraspal, pengunjung bisa menikmati panorama hutan yang asri dan udara yang sejuk di sepanjang jalan menuju lokasi air terjun ini. (sumber: Aceh Info)

Senin, 27 Juni 2016

Jeungki: Alat Penumbuk Padi Tradisional di Aceh

Atjeh Pusaka - Jeungki, salah satu alat penumbuk padi. Dulunya biasa digunakan orang Aceh di daerah pedesaan, kini  mulai langka di Aceh Utara dan daerah lainnya. Kelangkaan itu terjadi selama menjamurnya kilang padi mini (mesin gilingan gabah ukuran kecil) di berbagai desa, sehingga ibu rumah tangga cenderung membawa gabah kering giling ke kilang mini yang prosesnya lebih cepat.
Masyarakat Aceh membuat Jeungki dari  pohon kayu mene yang dibuat dengan bagus dan penuh dengan seni.  Panjang Jeungki 2,5 meter dengan di ujungnya dibuat alu, biasanya untuk alu kayu yang lebih lunak diujungnya dibuat lesung juga dari pohon kayu mane atau kayu lainnya. Dulunya, tiap rumah memiliki Jeungki, karena dengan Jeungki proses penumbukan gabah (padi) lebih  murni. Lebih-lebih kalau mendekati hari lebaran, banyak ibu rumah tangga di daerah pedesaan, mulai melakukan kegiatan menumbuk tepung (top teupong) sebagai bahan baku berbagai jenis kue persiapan dalam menyambut  tamu  lebaran yang datang ke rumahnya.
Selain dijadikan sebagai alat penumbuk gabah kering giling dan teupung, Jeungki bagi masyarakat Aceh terutama bagi ibu rumah tangga dan dara gampong, dapat juga dijadikan sebagai sarana olah raga, sebab  dengan adanya sitem penumbukan padi  dalam bahasa Aceh disebut  (Rhak Jeungki) dapat menguatkan otot-otot dan gerakan anggota tubuh bagi wanita gampong secara rutin, juga menjadi sebuah penghematan ekonomi dalam rumah tangga.
Kebiasaan wanita desa ramai-ramai melakukan top teupong sebagai menu kue persiapan menyambut hari lebaran, dalam sebuah jeungki ada empat-sampai lima wanita bekerja secara saling membantu. Bagi para gadis berdiri menginjak di ujung jeungki, sementara ibu rumah tangga duduk di pinggir lesung menjaga tepung sambil menghaliskan (hayak). Dengan adanya Jeungki juga menjadi  budaya saling membantu atau bekerjasama ibu rumah tangga dalam segala hal. Namun, selama langkanya Jeungki bagi wanita desa mulai renggang pula keakraban dan kebersamaan di dalam gampong.(Sumber: Aceh Info)

Bab Sejarah Aceh - Episode: Tjoet Nyak Dhien

TJOET NYAK DHIEN, Srikandi Pemberani Aceh Dalam Perang Kolonial Belanda


Atjeh Pusaka - Berbicara masalah gender, Aceh dapat dijadikan contoh bagi daerah lain di Indonesia. Sejarah panjang yang dimiliki daerah ini membuktikan bahwa para wanita Aceh telah mendarmabaktikan dirinya dalam berbagai bidang, baik sebagai pemimpin di tingkat paling rendah sampai dengan pemimpin tertinggi di masyarakat. Dalam struktur masyarakat wanita mempunyai otonomi yang cukup, yang mana tampak pada sebutan po rumoh bagi wanita. (Sufi, 1997). Di bidang lain terlihat dari adanya wanita yang menjadi Sultanah (wanita kepala pemerintahan Kerajaan Aceh), laksamana (pemimpm angkatan perang), uleebalang (kepala kenegerian) dan tidak sedikit yang berperan sebapai pemimpin perlawanan terhadap penjajah.

Peran wanita di Aceh dalam bidang peperangan secara panjang lebar telah diuraikan oleh H.C. Zentgraff. Dia menyebut para wanita Aceh sebagai "de leidster van het verzet" (pemimpin perlawanan) dan grandes dames (wanita-wanita besar). Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh melebihi segala wanita yang lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita kebangsaan dan keagamaannya dan ia berada, baik di belakang layar maupun secara terang-terangan menjadi pemimpin perlawanan tersebut. la rela menerima hidup dalam kancah peperangan. Di balik tangan yang sifat lemah-lembut, kulit halus, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya di tangan wanita Aceh. Zentgraaff (1983: 95) menyatakan kelebihan yang dipunyai oleh wanita Aceh dengan pernyataan sebagai berikut:

"Dari pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang Belanda yang telah melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok Kepulauan Indonesia, bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh, dan kaum wanita Aceh yang melebihi kaum wanita bangsa lainnya, dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan, mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal bukanlah laki-laki lemah dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka".

Tjoet Nyak Dhien

Salah satu Srikandi Aceh yang sesuai dengan gambaran H.C. Zentgraff di atas adalah Cut Nyak Dhien. la adalah seorang wanita yang mempunyai peran penting dalam perjuangan dan perlawanan rakyat Aceh dalam menentang kolonialisme Belanda. Banyak sudah tulisan-tulisan sejarah yang pernah ditulis oleh bangsa Indonesia maupun bangsa asing, bahkan melalui "tangan dingin" seorang sutradara terkenal di Indonesia Eros Djarot, Cut Nyak Dhien telah difilmkan dan mendapatkan supremasi yang terbesar di pentas perfilman di Indonesia dan festival film Asia. Sebagai penghargaan terhadap perjuangan Cut Nyak Dhien, pemerintah mengangkat Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106/TK/1964 tanggal 2 Mei 1964.

Perang Kolonial Belanda di Aceh

Aceh yang merupakan propinsi yang paling ujung letaknya, di sebelah utara pulau Sumatra, bagian paling barat dan paling utara dari Kepulauan Indonesia. Secara astronomis, Aceh ini terletak di antara 950 13’ dan 980 17’ BT dan 20 8’ dan 50 40’ LU2 (JMBRAS, 1879). Daerah ini mencakup daerah seluas 55.390 Km. Dengan demikian, secara geografis, Aceh mempunyai letak yang sangat strategis. Daerah ini terletak di tepi Selat Malaka. Karena letaknya di tepi Selat Malaka, maka daerah ini penting pula dilihat dari sudut lalu lintas internasional sehingga merupakan pintu gerbang sebelah barat kepulauan Indonesia.

Sejak zaman Neolithikum, Selat Malaka merupakan terusan penting dalam migrasi bangsa di Asia, gerak ekspansi kebudayaan India dan sebagai jalan niaga dunia Selat Malaka adalah jalan penghubung antara dua pusat kebudayaan Cina dan India. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila wilayah sekitar Selat Malaka selalu mempunyai peranan penting sepanjang gerak sejarah Indonesia. Muncul dan berkembangnya kerajaan di sekitar wilayah ini tidak mungkin kita pisahkan dari letak georafisnya yang sangat strategis tersebut.

Karena keadaan geografis yang strategis ini membawa dampak Aceh banyak didatangi oleh berbagai bangsa asing dengan berbagai macam motif dan kepentingan, baik budaya, politis, maupun ekonomis. Dengan berbagai motif dan kepentingan tersebut akan dapat membawa dampak positif dan negatif pula bagi perkembangan sejarah Aceh itu sendiri.


Di antara bangsa asing (Barat) terdapat bangsa yang bermaksud menancapkan kuku kekuasaannya di bumi Aceh, sehingga timbullah reaksi yang berupa perlawanan-perlawanan terhadap bangsa asing yang melakukan tindakan tersebut. Salah satu bangsa asing pertama yang menghadapi perlawanan rakyat Aceh adalah Portugis. Sejak Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 Aceh merasa, kedudukannya terancam. Oleh karena itu, Aceh mencoba melawan dan mengusir Portugis dari Malaka. Konflik Aceh-Portugis ini berlangsung sepanjang abad XVI hingga akhir perempatan abad XVII. Serangan terhadap kedudukan Portugis berulang kali dilakukan, yang pertama pada tahun 1537 dan yang terakhir pada tahun 1568. Pada serangan terakhir itu, Aceh telah menggunakan kekuatan yang terdiri atas 15.000 orang Aceh, 400 orang Turki, disertai pula dengan 200 buah meriam besar dan kecil (Djajadiningrat, 1961: 65).

Bangsa Asing lain yang berusaha menancapkan kuku kekuasaannya di bumi Aceh adalah Belanda. Rintisan permakluman perang Aceh oleh Belanda diumumkan oleh komisaris pemerintah yang merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda F.N. Nieuwenhuijn, diawali dengan penandatanganan Traktat Sumatra antara Belanda dan Inggris dalam tahun 1871, yang antara lain "memberi kebebasan kepada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatra", sehingga tidak ada kewajiban lagi bagi Belanda untuk menghormati hak dan kedaulatan Aceh yang sebelumnya telah diakui, baik oleh Belanda maupun lnggris seperti yang tercantum di dalam Traktat London yang ditandatangani pada tahun 1824.

Pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873 dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen - yang berlabuh di antara pulau Sabang dengan daratan Aceh - Belanda memaklumkan perang kepada Aceh. Mulai saat itu, Aceh tertimpa malapetaka dan Belanda sendiri menghadapi suatu peperangan yang paling dahsyat, terbesar, dan terlama semenjak kehadirannya di Nusantara

Namun demikian, permakluman perang tersebut tidak serta merta diikuti dengan kegiatan fisik militer karena Belanda masih menunggu terhimpunnya kekuatan perangnya yang sedang bergerak menuju Aceh dan kapal-kapal perang Belanda yang telah tiba di Aceh terus melakukan pengintaian dan provokasi di perairan Aceh. Selain itu, Belanda mengirim surat kepada Sultan yang meminta agar ia mengakui kedaulatan Belanda. Dinyatakan pula bahwa Aceh telah melanggar pasal-pasal perjanjian pada tahun 1857. Batas waktu yang diberikan 1 x 24 jam oleh Belanda kepada Sultan Aceh menunjukkan bahwa Belanda benar-benar akan menyerang. Jawaban yang diberikan Sultan jauh dari memuaskan bahkan ditegaskan bahwa di dunia tidak seorang pun yang berdaulat kecuali Allah semata (Said, 1961: 397).

Dihadapkan dengan kenyataan perang yang akan segera meletus, maka Aceh melakukan mobilisasi, baik di sekitar pantai yang berhadapan langsung dengan armada Belanda seperti di sekitar Ule Lheue, Pantai Ceureumen, Kuta Meugat, Kuala Aceh maupun di tempat strategis lainnya serta pusat-pusat kekuatan di Mesjid Raya, Peunayong, Meuraksa, Lam Paseh, Lam Jabat, Raja Umong, Punje, Seutuy, dan di sekitar Dalam (Kraton Sultan).


Akhirnya, tindak lanjut dan Permakluman perang Belanda kepada Aceh menjadi kenyataan. Pada tanggal 6 April 1873 dengan kekuatan 3.200 prajurit dan 168 perwira yang dipimpin J.H.R. Kohler, Belanda mendaratkan pasukananya di Pantai Ceureumen. (Sofyan, 1990: 26). Dengan demikian, terlihatlah nyata niat jahat Belanda untuk menancapkan kekuasaannya di bumi Aceh. Suatu perang kolonial resmi telah dikibarkan oleh pihak Belanda. Perang ini kemudian dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai "Perang Belanda atau Perang Kaphe Ulanda", yang oleh Belanda dikenal dengan "Perang Aceh".

Kemudian, pantai Ceureumen pun menjadi lautan darah. Banyak anggota pasukan Belanda dan rakyat Aceh yang gugur. Menurut catatan para pejuang Aceh yang gugur diperkirakan 900 orang (Reid, 1969: 21-35). Walaupun demikian, penyerangan pertama Belanda ini dianggap gagal karena serangan ini tidak berhasil menundukkan Aceh. Di samping kuatnya perlawanan, kurangnya informasi tentang Aceh serta keadaan musim yang tidak menguntungkan menjadi sebab serangan pertama Belanda ini gagal.

J.H.R. Kohler sebagai panglima perang pun tewas tertembak oleh seorang anggota pasukan Aceh di dekat Masjid Raya. Belanda tidak dapat menguasai kraton. Mereka dipukul mundur dengan menderita kekalahan berat, 45 orang tewas termasuk 8 opsirya serta 405 orang luka-luka diantaranya 23 opsir. Pada tanggal 29 April 1873 pasukan Belanda ditarik kembali ke Batavia (Sofyan, 1990: 85).

Hal ini menunjukkan bahwa Belanda tidak tahu kondisi Aceh secara menyeluruh. Semula Belanda menduga Aceh dapat ditaklukkan dengan mudah seperti daerah-daerah lain di Indonesia. Menurut Belanda pada saat itu Aceh berada dalam masa kemunduran apabila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, baik dari segi politik maupun segi ekonomi. Tentang ini Kraijnhoof, misalnya, menyimpulkan bahwa situasi pemerintahan kesultanan Aceh lemah dan perlengkapan militer tidak berarti dibandingkan dengan Belanda. Oleh karena itu, Belanda berani menyerang Aceh. Namun kenyataanya perang Belanda di Aceh tidak hanya mencakup masalah ekonomi dan politik, tetapi ada segi-segi lain yang tidak diperhitungkan oleh Belanda, sehingga Belanda menelan kekalahan (Ahmad, dkk, 1993:4).

Kegagalan ekspansi pertama ini menyebabkan pemerintah Belanda melipatgandakan pasukannya untuk menundukkan Aceh. Untuk itu, Pemerintah Hindia Belanda memanggil seorang pensiunan jenderal, J. Van Swieten. la diangkat sebagai panglima perang pada agresi kedua ini dengan kekuatan 249 perwira dan 6.950 tentara (Sofyan, 1990: 28). Dipundaknya terdapat tugas berat untuk menyerang dan merebut Aceh dan kepadanya juga diberi wewenang mengadakan perjanjian dengan sultan. Selain menjadi panglima perang, ia diangkat pula sebagai Komisaris Pemerintah Hindia Belanda di Aceh.


Dalam agresi kedua ini Belanda berhasil menduduki istana dan mesjid raya pada tanggal 24 Januari 1874. Namun Belanda tidak berhasil menangkap Sultan beserta keluarganya. Sementara itu, Sultan beserta keluarganya dan pengikutnya sudah lebih dulu menyingkir ke Longbata pada tanggal 15 Januari 1874 sehingga usaha Van Swieten untuk menangkap Sultan menemui kegagalan. Di tempat baru ini Sultan mendirikan markas pertahanannya. Bersama-sama dengan Panglima Polem dan para pengikutnya yang lain bertekad untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda. Namun nasib buruk tidak dapat dihindari Sultan Mahmud Syah, ia diserang wabah kolera dan mangkat pada tanggal 29 Januari 1874 di Pagar Ayer dan dimakamkan di Cot Bada (Pusponegoro, dkk, 1992: 249). Sebagai penggantinya diangkatlah Sultan Muhammad Daud yang masih kecil sebagai Sultan Aceh.

Sejak itulah pemerintah Belanda dengan bermacam-macam siasat politiknya berusaha menaklukkan seluruh Aceh seperti yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Pembesar kerajaan, panglima dan rakyat Aceh yang masih mencintai kemerdekaan mengungsi ke pedalaman dan mengadakan perlawanan. Pada waktu Seulimum jatuh pada tahun 1879 dapat dikatakan seluruh Aceh Tiga Sagi berada dalam kekuasaan Belanda dan pemerintahan sipil pun berjalan dengan lancar (Jakub, 1952: 21).

Kaum pejuang mundur ke daerah yang masih merdeka Sultan. Muhammad Daud yang masih kecil itu serta pengiringnya mengungsi ke pedalaman di Keumala, daerah Pidie, sedangkan rakyat pejuang mundur ke Gunung Biram Lamtamot, di kaki Gunung Seulawah. Mereka tidak mau menyerah, biar mati dalam hutan, asal jangan ditangkap musuh. Namun perlawanan secara teratur tidak ada lagi.

Kaum pejuang yang berada di kaki Gunung Selawah tersebut lama kelamaan tidak sabar dan menderita terus-menerus dalam hutan menahan gigitan nyamuk Malaria dan kekurangan makanan. Oleh karena itu, muncullah kemudian dua golongan di kalangan kaum pejuang tersebut, ada yang terpaksa menyerah pulang ke kampung halaman karena tidak tahan menderita lebih lama. Ada pula yang mendaki Seulawah menuju daerah Pidie mencari bantuan untuk meneruskan perjuangan.


Pada awal tahun 1881, mereka tiba di Tiro menjumpai Tgk Chik Muhammad Amin Dayah Tjut, seorang ulama Tiro yang mempunyai pengaruh besar. Dua kali diadakan musyawarah antara pemimpin- pemimpin dan ulama- ulama seluruh Pidie. Keputusannya diangkatlah Tgk Sjech Saman, yang terkenal kemudian dengan Tgk Chik Di Tiro, menjadi panglima perang untuk merebut kembali tanah air yang telah jatuh ke tangan musuh.

Dengan demikian, dalam kondisi yang amat genting di mana kraton, mesjid raya, wilayah lainnya dikuasai Belanda sata semangat pejuang yang mulai menurun amatlah tepat kalau kemudian muncul kepemimpinan Tgk Sjech Muhammad Saman Dia seorang pejuang yang mendengungkan perang di jalan Allah, Perang Sabil. Siapa pun yang mati di medan perang, maka disebut mati syahid, surgalah ganjarannya. Pada akhirnya, perang dikumandangkan menyebar ke seluruh wilayah Aceh. Seluruh lapisan masyarakat bahu-membahu mengangkat senjata untuk mengusir Belanda dari bumi Aceh.

Masa Remaja hingga Masa Dewasa

Cut Nyak Dhien dilahirkan pada tahun 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI mukim, Aceh Besar. la merupakan seorang putri uleebalang yang berdarah pahlawan, Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI mukim, bagian wilayah XXV mukim. Teuku Nanta Seutia berasal dari keturunan Machoedoem Sati, seorang perantau dari daerah Sumatera Barat. la diperkirakan datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir (1711-1733).

Machoedoem Sati kemudian berpindah ke muara sungai Woyla, perbatasan daerah Pidie, kampung itu bernama Kuala Bhee dan menetap di sana. Atas jasajasanya pada Sultan Aceh, Machoedoem Sati diberi kekuasaan di VI mukim untuk turun temurun dan namanya diganti menjadi Nanta Seutia Raja. la kemudian memiliki dua orang putera yang diberi nama Teuku Nanta Seutia dan Teuku Cut Mahmud.

Teuku Nanta Setia yang kemudian menjadi penerus uleebalang VI mukim. la adalah ayah Cut Nyak Dhien, sedangkan Teuku Cut Mahmud menikah dengan adik raja Meulaboh Cut Mahani. Hasil perkawinan ini lahirlah 4 orang putera, salah seorang diantaranya adalah Teuku Umar (yang kemudian menjadi suami ke 2 Cut Nyak Dhien setelah suami pertama syahid). Oleh karena itu bukanlah suatu kebetulan kalau dalam tubuh Nyak Dhien bersemi semangat kepahlawan yang luar biasa.


Ibu Cut Nyak Dhien juga berasal dari keturunan bangsawan, putri seorang uleebalang terkemuka dari kemukiman Lampagar, juga bagian wilayah VI mukim (Szekely Lulofs, 1950: 16). Sebagaimana lazimnya Putri bangsawan dan putri Aceh lainnya, sudah sejak kecil Cut Nyak Dhien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan itu diberikan, baik oleh orang tuanya maupun oleholeh guru-guru agama pada waktu itu. Pengetahuan tentang rumah tangga seperti memasak, cara menghadapi atau melayani suami, serta hal-hal yang menyangkut tata kehidupan sehari-hari didapatkan dari didikan ibunya dan kerabat orang tua perempuan tersebut. Sebagai seorang putri uleebalang dengan sendirinya Cut Nyak Dhien terbawa dan terpengaruh oleh pola dan cara hidup bangsawan. Karena pengaruh didikan agama yang kuat, Cut Nyak Dhien memiliki sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal (Sufi, 1994: 83).

Seperti lazimnya pada masyarakat bangsawan di Aceh, perjodohan antara sesama kerabat bangsawan menjadi hal yang lumrah. Di saat Cut Nyak Dhien menginjak 12 tahun, ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak saudara laki-laki dari pihak ibunya yang bernama Teuku Ibrahim. Putra Teuku Po Amat, uleebalang Lam Nga XIII mukim Tungkop, Sagi XXVI mukim Aceh Besar. Teuku Ibrahim anak seorang uleebalang, tetapi juga disebabkan ia seorang pemuda yang taat kepada agama, berpandangan luas, seorang alim yang memperoleh pendidikan agama dari Dayah Bitay.

Pernikahan mereka dilangsungkan secara meriah. Teuku Nanta mendatangkan penyair terkenal Do Karim untuk membawakan syairnya dihadapan para undangan. Syair-syair yang dibawakannya mengandung ajaran-ajaran agama yang sangat berguna bagi pegangan hidup. Setelah Cut Nyak Dhien dan Teuku Ibrahim merasa sudah cukup siap mandiri membiayai rumah tangganya mereka pindah ke rumah yang telah disediakan oleh Teuku Chik Nanta untuk mereka.


Pendorong Perjuangan Cut Nyak Dhien Melawan Belanda

Pecahnya perang Aceh melawan kolonial Belanda 1873 menggerakkan seluruh rakyat Aceh untuk berjuang mengusir kolonial. Sultan Aceh, uleebalang-uleebalang beserta rakyatnya bersama-sama mempertahankan Aceh dan serangan Belanda Masjid raya dan kraton dipertahankan mati-matian oleh pasukan Aceh. Akhirnya, masjid raya jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 6 Januari 1874. Kraton terusmenerus dihujani oleh peluru dan dapat dikuasai oleh Belanda pada tanggal 31 Januari 1874.

Selama berkecamuknya peperangan Teuku Chik Ibrahim meninggalkan Cut Nyak Dhien di Lam Padang untuk berjuang. Oleh karena itu, Teuku Chik Ibrahim jarang berada di rumah. Bersama dengan Teuku Imeum Leung Bata maju ke perbatasan VI mukim dan berusaha menaklukkan Meuraxa. Belanda semakin gencar untuk menundukkan daerah-daerah lainnya di luar Kraton dan Mesjid Raya.

Pasukan Belanda bergerak terus menuju wilayah IX mukim dan pasti akan menuju ke VI mukim. Berbulan-bulan Teuku Chik Ibrahim tidak bertemu dengan Cut Nyak Dhien. Kedatangannya ingin mengabarkan bahwa Cut Nyak Dhien dan rakyat VI mukim harus meninggalkan Lam Padang mengungsi ke tempat yang aman dan menyiapkan bekal karena akan melakukan perjalanan panjang. Pada tanggal 29 Desember 1875 rombongan Cut Nyak Dhien meninggalkan Lam Padang.

Pasukan Teuku Nanta dan Teuku Chik Ibrahim yang bermaksud mempertahankan VI mukim akhirnya harus menyingkir akibat serangan Belanda yang dipimpin oleh Van Der Hayden. Akhirnya, daerah VI mukim berhasil dikuasai oleh Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1878 dalam suatu pertempuran di Lembah Beurandeun Gle' Taron, kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim, Teuku Ibrahim dan beberapa pengikutnya syahid. Menurut Szkely Lulofs (1951) penyebab peristiwa itu, selain persenjataan Belanda yang lebih unggul, juga karena adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang yang bernama Habib Abdurrahman (Hazil, 1952: 4142; Sufi, 1994: 84).


Perjuangan Cut Nyak Dhien

Kekecewaan dan kesedihan sebagai akibat ditinggal suaminya dan darah kepahlawanan yang mengalir dari keluarganya menjadi dasar yang kuat bagi perjuangan Cut Nyak Dhien, bahkan ia pernah berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut bela terhadap kematian suaminya (Hazil, 1952: 43).

Adalah suatu hal yang tepat apabila kemudian datang laki-laki yang bersedia, membantu Cut Nyak Dhien membalaskan dendamnya kepada Belanda dengan melakukan perjuangan dalam peperangan. Setelah beberapa bulan menjanda, ia dipinang oleh Teuku Umar yang kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri. Teuku Umar yang berjiwa muda, keras dan jalan pikirannya yang tidak mudah diduga-duga, berbeda dengan Cut Nyak Dhien yang lembut, agung, bijaksana, tabah dan sabar. Dua pribadi yang bertolak belakang. Mulanya Cut Nyak Dhien menolak pinangan itu, tetapi karena Teuku Umar memberi restu apabila Cut Nyak Dhien ikut dalam peperangan secara langsung, ketimbang di rumah saja.

Bersatunya dua kesatria ini mengobarkan kembali semangat juang rakyat Aceh. Kekuatan yang telah terpecah kembali dipersatukan. Belanda di Kutaraja mendengar juga pernikahan antara Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Uleebalang yang memihak Belanda merasa kecut juga mendengar pernikahan mereka. Adapun Tgk Chik di Tiro dan kawan-kawan seperjuanganya amat mendukung pernikahan mereka. Apalagi mereka berdua terjun langsung ke dalam medan peperangan.

Bukti dari ampuhnya persatuan kedua pejuang Aceh ini adalah dapat direbut kembali wilayah VI mukim dari tangan Belanda. Cut Nyak Dhien dapat pulang ke kampung halamannya lagi. Ketika itu ayah Cut Nyak Dhien, Nanta, sudah sangat tua. Oleh karena itu, Cut Rayut diangkat menjadi uleebalang pengganti Nanta. Namun sesungguhnya, pengangkatan ini hanya sekedar kamuflase saja. Dengan diangkatnya Cut Rayut sebagat uleebalang, Cut Nyak Dhien akan bebas menjalankan politik dalam perjuangan Aceh. Kemudian, Cut Nyak Dhien kembali membangun rumah tangganya dengan Teuku Umar di Lampisang. Rumah ini menjadi markas pertemuan para tokoh pejuang dan alim ulama yang mengobarkan semangat jihad fisabilillah.

Selama Cut Nyak Dhien mendampingi Teuku Umar banyak hal yang dapat dijadikan sebagai sebuah pengalaman yang menarik. Teuku Umar adalah sosok pejuang rakyat yang unik, ia dicintai rakyat tetapi la pernah dibenci juga. Taktik Teuku Umar di dalam peperangan menghadapi Betanda tergolong "aneh" bagi orang lain dan juga Cut Nyak Dhien. la pernah membantu Belanda, atas permintaan Gubernur Aceh Loging Tobias, untuk membebaskan Kapal Inggris yang terdampar kemudian disita oleh Teuku Imam Muda Raja Tenom.

Namun pada saat itu terjadi penyerangan terhadap awak kapal yang dilakukan oleh anak buah Teuku Umar. Sesudah peristiwa tersebut Teuku Umar kembali ke Lampisang dan ia tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Karena itu Belanda kembali bersatu dengan pejuang Aceh, tetapi pejuang Aceh tidak yakin tekad baik Teuku Umar. Persoalan ini selesai setelah kapal Nisiero baru dapat diselesaikan setelah Belanda membayar tebusan sebesar 100.000 dollar kepada Raja Tenom (Reid, 1969: 218-249).

Kejadian lain adalah ketika pada tanggal 14 Juni 1886 Teuku Umar kembali mengadakan serangan terhadap kapal Hok Canton. Kapal ini berlabuh di pantai Rigaih. Waktu itu Hansen beserta istrinya dan juru mudi Faya ditawan. Karena Hansen meninggal, maka istrinya dan Faya dibawa ke gunung. Belanda berusaha untuk mencari kontak dengan Teuku Umar, tetapi tidak ada hasilnya. Sekali lagi Gubemur Aceh menyerahkan tebusan sebesar 25.000 dollar (Sartono Kartodirdjo, 1977: 219-220). Kali ini uang itu diberikan kepada Teuku Umar. Oleh Teuku Umar, uang itu dibagi-bagikan kepada para pejuang Aceh sebagai bukti kesetiannya kepada Aceh.


Namun kemudian ada hal yang membuat pejuang Aceh tercengang kembali. Pada tanggal 30 September 1893 Teuku Umar beserta pasukannya yang berkekuatan 250 orang secara resmi menyatakan tunduk kepada gubenur Belanda di Kutaraja. Teuku Umar bersedia membantu Belanda untuk mengamankan Aceh. Karena itu Pasukannya diberi perlengakapan yang cukup. Teuku Umar sendiri diangkat sebagai panglima dengan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Rumahnya di Lampisang dibangun oleh pemerintah Belanda. Bentuknya disesuaikan dengan bentuk rumah seorang pejabat, lengkap dengan taman dan kebun serta fasilitas lainnya (Ibrahim, 1996: 51).

Teuku Umar kemudian menjalankan tugas dari Belanda untuk merebut daerah-daerah yang masih dikuasai oleh pejuang Aceh, yang berhasil dijalankan dengan baik oleh Teuku Umar. Namun dalam kenyataannya, apa yang dilakukan oleh Teuku Umar tersebut merupakan sebuah sandiwara besar yang dibuatnya bersama dengan istrinya, Cut Nyak Dhien.

Oleh karena itu, setelah tidak beberapa lama kemudian (kurang lebih 3 tahun), Teuku Umar pada tanggal 29 Maret 1896 ia kembali membawa pasukannya untuk bergabung kembali dengan pejuang Aceh beserta perlengkapan persenjataan pemberian Belanda. Mengetahui tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Teuku Umar, Belanda mencabut jabatan sebagai panglima perang, gelar kebesaran "Johan Pahlawan" dan menyatakan perang terhadap Teuku Umar. Rumahnya di Lampisang dibakar dan dihancurkan oleh Belanda.

Akhirnya, Teuku Umar beserta Cut Nyak Dhien pergi ke daerah Barat Aceh dan bertempur habis-habisan melawan Belanda. Selama itu pula Belanda terus mengejar keberadaan pasukan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar berniat menyerang kedudukan Belanda di Meulaboh. Ternyata rencana Teuku Umar ini telah diketahui oleh pihak Belanda. Belanda menanti pasukan Teuku Umar di daerah Suak Ujung Kalak Meulaboh. Di daerah ini kemudian menjadi daerah pertempuran. Teuku Umar sahid tertembak peluru dari pihak Belanda. Jenazahnya dibawa oleh pasukan Aceh ke daerah lain (Ibrahim, 1996: 68). Kematian Teuku Umar didengar oleh Cut Nyak Dhien. Walaupun Teuku Umar telah sahid, Cut Nyak Dhien tidak menyerah kepada Belanda. la bertekad untuk melanjutkan perjuangan Teuku Umar.

Sejak terjunnya Cut Nyak Dhien ke arena peperangan secara langsung, bukan hanya ratusan korban yang timbul, tetapi ribuan jiwa dan jutaan uang. Sebagai pemimpin ia tidak pernah merasa lelah dan takluk. la seorang yang fanatik dan tabah. Mampu merasakan pahit perjuangan bersama-sama dengan pengikutnya. Masuk dan keluar belantara, naik dan turun gunung hingga ia uzur dan rabun tetap rencong terselip di pinggangnya dan siap terhunus untuk musuhnya.

Cut Nyak Dhien juga mendapat dukungan yang begitu besar dari temanteman seperjuangan, setiap saat ia selalu memberikan semangat untuk memerangi kaphe kompeni melalui fatwa yang dikeluarkannya. Senandung syair-syair perang sabil selalu dikumandangkannya. Cut Nyak Dhien didukung oleh uleebalang Meulaboh, Datuk-datuk, penghulu dan lain-lain. Mulai dari yang tinggi sampai rakyat biasa dapat dipengaruhi oleh Cut Nyak Dhien supaya memihaknya. Tulisan C. Van der Pal (Said, 1961) menyatakan bahwa:

"Apa yang mereka lakukan adalah pada pokoknya karya Cut Nyak Dhien sendiri. Serangan-serangan kelewang yang hebat-hebat dialami oleh Belanda umumnya digerakkan oleh pejuang-pejuang atas perintah Cut Nyak Dhien sendiri. Untuk selanjutnya segala perjuangan yang ada di Aceh, terutama di Aceh Besar adalah menurut petunjuknya".


Tokoh-tokoh besar yang mendampingi perjuangan Cut Nyak Dhien diantaranya Teuku Ali Baet menantunya, merupakan orang yang aktif membantu Cut Nyak Dhien, baik dengan uang maupun senjata. Teuku Raja Nanta, adik dari Cut Nyak Dhien, yang selalu bersama-sama bergerilya mengarungi rimba. Namun kemudian berpisah karena keadaan semakin sulit akibat kepungan-kepungan Belanda. Teuku Raja Nanta terus bergerilya di pedalaman Meulaboh, dan akhimya mati Syahid pada saat kepergok dengan pasukan Belanda. Pendukung Cut Nyak Dhien lainnya yaitu Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglimn Polim yang terus mengobarkan perang sabil di daerah Pidie.

Teuku Mayet di Tiro dan Cut Gambang anak dan menantunya yang hingga Cut Nyak Dhien berada dalam pembuangan tetap melakukan gerilya di hutan belantara Tangse dan mati syahid dalam pernyerbuan Betanda dibawah komando Schmidt di bulan Agustus 1910. Banyak lagi pejuang-pejuang lainnya yang menjadi Pendukung perjuangan Cut Nyak Dhien.

Sebaliknya Belanda juga tidak henti-hentinya mengejar kemanapun gerilyawan Cut Nyak Dhien dan pengikutnya diperkirakan berada serta, terus diadakan penggerebekan dan penyerbuan-penyerbuan. Cut Nyak Dhien berusaha keras untuk menghindarkan diri dan setiap usaha tentara Belanda untuk menangkapnya dengan cara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Tempat persembunyiannya tidak pernah diketahui oleh masyarakat biasa, banyak ketentuan-ketentuan yang diberlakukan, diantaranya penyamaran dan memakai anak-anak kecil sebagai mata-mata. Persembunyiannya hanya terbuat dari gubuk yang ditutupi dedaunan, dilarang pemakaian api karena dapat memberikan petunjuk dengan adanya kepulan asap. Tempat menuju ke persembunyiannya dibuat menyesatkan, untuk menjaga keselamatan diadakan penjagaan oleh pengikutpengikutnya secara bergantian.

Sebagai seorang yang telah terbiasa oleh suasana perang mulai dari pengalaman orang tua dan suaminya Teuku Cik Ibrahim dan Teuku Umar, dan juga beberapa orang saudaranya yang lain, memberikan rasa dendam dan ketegaran yang cukup mengakar di dalam batinnya. Cut Nyak Dhien adalah seorang ibu dan seorang pemimpin di mata rakyat, memberikan ketenteraman dan harapan-harapan di dalam hati rakyat untuk sebuah kemerdekaan dan kedamaian.

Ada dua orang Belanda yang cukup terkenal pada masa perjuangan Cut Nyak Dhien yaitu Van Heutsz dan Van Daalen. Banyak sudah korban berjatuhan, selama Van Heutsz memimpin tentara di Aceh (1898-1904), kerugian yang diderita oleh rakyat Aceh telah berjumlah 20.600 orang. Pada tanggal 8 Februari 1904 Van Daalen melakukan perjalanan panjang (long march) selama 163 hari ke pedalaman Aceh. la disertai 10 brigade marsose. Tujuannya untuk menumpas habis perlawanan rakyat Aceh yang masih aktif di Tanah Gayo (Aceh Tengah dan Aceh Tenggara). Selama perjalanan itu beberapa daerah pejuang Aceh berhasil ditaklukan.

Akibatnya ruang gerak gerilyawan semakin terbatas, meskipun demikian semangat perlawanan Cut Nyak Dhien tidak pernah padam, tetapi pendukungnya semakin melemah kekuatannya, baik secara fisik maupun mental. Secara fisik terlihat dengan situasi yang serba kekurangan bahan makanan dan obat-obatan. Untuk memperoleh makanan gerilyawan tidak lagi bebas berkeliaran di desa-desa karena setiap gerak-gerik yang mencurigakan ditangkap oleh marsose. Mereka hanya memakan daun dan umbi-umbian yang ada di dalam hutan, dan berteduh pada gubuk-gubuk darurat yang siap untuk ditinggalkan guna menghindari pengejaran kompeni.

Mental mereka juga mengendur dengan adanya penghacuran-penghacuran yang dilaksakan oleh kompeni terhadap kubu-kubu pertahanan tanpa meninggalkan satu manusia pun tersisa. Selain itu, sering pula dilakukan penyandraan terhadap istri dan anak-anak mereka agar, gerilyawan itu menyerahkan diri, dan mop seperti ini tampanya sangat mengena.

Cut Nyak Dhien menderita bersama pengikut-pengikutnya tanpa apapun yang dialaminya. Harta benda habis pada suatu penyerbuan yang tiba-tiba dari pihak Belanda di bulan April 1905.


Seharusnya Belanda dapat menemukan Cut Nyak Dhien di tempat persembunyiannya, tetapi karena ketangkasannya Cut Nyak Dhien dapat melarikan diri, tetapi barang- barang perbekalan dan perhiasan tidak sempat dibawa. Hal ini mengakibatkan berkurangnya alat-alat pembantu yang dibutuhkan setiap gerilyawan.

Selama enam tahun Cut Nyak Dhien memimpin perjuangan bersama pengikutnya. Kerentaan karena usia, penyakit encok, dan rabun melemahkan tubuhnya. Sumber makanan yang tidak pasti karena benar-benar telah habis. Penderitaan yang begitu berat membuat iba Pang Laot selaku panglimanya. Suatu saat pernah disampaikannya perasaan ini kepada Cut Nyak Dhien untuk menghentikan perlawanan. Kemarahan, kemurkaan, dan caci maki yang diterima oleh Pang laot dari Cut Nyak Dhien, dengan suara keras dan murka Cut Nyak Dhien berkata: Lebih baik aku mati di rimba ini daripada menyerah kepada kafir.

Walaupun demikian Pang Laot dengan berat hati mengkhianati Cut Nyak Dhien. la memutuskan untuk melapor kepada Belanda. Pang Laot memunculkan diri di bivak Belanda yang dipimpin oleh Letnan Van Vuuren. Kehadirannya memunculkan kecurigaan, tetapi karena Pang Laot datang untuk berunding dan menyerahkan Cut Nyak Dhien, maka Letnan Van Vuuren menyambut baik kedatangannya. Van Vuuren membawa Pang Laot kepada atasannya Van Veltman. Perundingan diadakan, Pang Laot bersedia menyerahkan Cut Nyak Dhien dengan syarat Cut Nyak Dhien harus dijaga sebaik-baiknya, perundingan pun disepakati.

Atas kesepakatan bersama Pang Laot mencari Cut Nyak Dhien ke Pameue. Pada tanggal, 23 Oktober 1905 Van Veltman mengerahkan pasukannya sebanyak 6 brigade (satu brigade sebanyak 20 bayonet). Pencariaan pertama masih mengalami kegagalan. Pada suatu tempat di dalam rimba yang diperhitungkan gubuk milik Cut Nyak Dhien diadakan penyergapan. Walaupun kedatangan pasukan marsose yang mengejutkan pasukan Cut Nyak Dhien yang tinggal sedikit jumlahnya masih sempat melakukan perlawanan. Perlawan yang tidak berimbang dan tergesa-gesa mengakibatkan banyaknya timbul korban. Panglima Habib Panjang yang saat itu ditugaskan Cut Nyak Dhien menjaga disitu tewas ketika hendak menyelamatkan anak buahnya (Said, 1961).

Perjalanan untuk pencarian Cut Nyak Dhien dilanjutkan, Pang laot dan Van Veltman memutuskan untuk mencarinya ke hutan-hutan Beutong. Untuk menempuh tempat ini tidaklah mudah harus naik turun gunung dan melewati hutan-hutan besar. Tiga hari lamanya perjalanan baru mencapai Beutong. Itu pun Van Veltman dan pasukannya tidak menemukan apa-apa, semua jejak telah dihapus. Pang Laot mengusulkan untuk menunggu hingga bekal habis.

Pada 7 Nopember 1905, di saat seorang anak kecil kurir Cut Nyak Dhien tertangkap oleh Pang laot, maka terungkaplah dimana pondok persembunyian Cut Nyak Dhien. Gerak cepat Van Veltman memerintahkan anak buahnya untuk menyerang pondok tersebut. Saat itu Cut Nyak Dhien sedang bersama Cut Gambang. Perlawanan tetap dilakukan, Cut Gambang sempat melarikan diri dengan luka di dadanya (Said, 1961).

Cut Nyak Dhien sudah begitu uzur, matanya rabun, berjalan pun hanya ditandu oleh pengawalnya. Amarahnya begitu memuncak kepada Pang Laot dan Kompeni. Caci maki dan sumpah serapah dilontarkan Cut Nyak Dhien kepada keduanya. Van Veltman menberikan rasa hormat kepada Cut Nyak Dhien, tetapi Cut Nyak Dhien merasa ini tidak ada artinya sama sekali, karena ia merasa lebih baik mati dari pada harus tunduk kepada kompeni.

Sesuai dengan kesepakatan antara Pang Laot, Letnan Van Vuuren dan Kapten Van Veltman maka Cut Nyak Dhien dibawa ke Kutaradja. Cut Nyak Dhien diperlakukan sebagaimana layaknya seorang Puteri bangsawan dengan makanan, pakaian, dan pelayanan yang baik. Simpati rakyat tidak pernah berkurang kepadanya. Dalam tahanan di Kutaradja berganti-gantian rakyat menjenguknya. Hal ini pula yang menimbulkan kecemasan kepada pemerintah kolonial. Van Daalen yang saat itu sebagai Gubernur Belanda di Kutaradja tidak menghendaki suasana ini karena dianggap akan membahayakan, karena kemungkinan antara rakyat dengan Cut Nyak Dhien masih dapat dilakukan. Disebabkan hal di atas pada tahun 1907 Cut Nyak Dhien diasingkan ke Sumedang. Pada tanggal 6 November 1908 Cut Nyak Dhien meninggal dalam pengasingan jauh dari keluarga dan rakyat yang dicintainya.

Hari Hari Terakhir Tjoet Nyak Dhien Di Pengasingan


Sumedang, 6 November 1908

Atjeh Pusaka - HARI itu.. tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan titipan pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua renta, rabun serta menderita encok, seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tampak tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.

Belakangan karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria tidak menempatkannya di penjara, melainkan memilih tempat disalah satu
rumah tokoh agama setempat. Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta penderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 6 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu.

Perjalanan sangat panjang telah ditempuh perempuan itu sebelum akhirnya beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatan yang sangat buruk, perempuan tua itu nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannya pun terbatas hanya berdzikir atau mengajar mengaji ibu-ibu dan anak-anak setempat yang datang berkunjung. Sesekali mereka membawakan pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang santun itu, yang belakangan karena pengetahuan ilmu-ilmu agamanya disebut dengan Ibu Perbu.


Waktu itu tak ada yang menyangka bila perempuan yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah "The Queen of Aceh Battle" dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Singa betina dengan rencong ditangan yang terjun langsung ke medan perang. Pahlawan sejati tanpa kompromi yg tidak bisa menerima daerahnya dijajah.

Hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintai. Gadis kecil cantik dan cerdas dipanggil Cut Nyak dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat di Lam padang tahun 1848. Ayahnya adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia, keturunan perantau Minang pendatang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.

Tumbuh dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat membuat gadis kecil Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Di usianya yang ke 12 dia kemudian dinikahkan orangtuanya dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII.

Suasana perang yang meggelayuti atmosfir Aceh pecah ketika tanggal 1 April 1873 F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh, dan Tjoet Nyak tentu ada disana. Diantara tebasan rencong, pekik perang wanita perkasa itu dan dentuman meriam, dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan dibakar tentara Belanda...

“..Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh ! Lihatlah !! Saksikan dengan matamu Masjid kita dibakar !! Tempat Ibadah kita dibinasakan !! Mereka menentang Allah !! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kaphe (kafir) Belanda !!". Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata (Szekely Lulofs, 1951:59).


Perang Aceh adalah cerita keberanian, pengorbanan dan kecintaan terhadap tanah lahir. Begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan suaminya, setiap hari.. setiap waktu dihabiskan untuk berperang dan berperang melawan kaphe-kaphe Belanda. Tetapi perang juga lah yang mengambil satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya menyusul gugur dalam pertempuran di Glee Tarom 29 Juni 1870.

Dua tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.

Tetapi bagi Tjoet Nyak, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar, atau Teungku Ibrahim Lamnga suaminya, bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia ayahnya, atau para lelaki Aceh. Perang Aceh adalah milik semesta rakyat.. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Nyak, dia tetap mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.

Bertahun-tahun kemudian, segala energi dan pemikiran putri bangsawan itu hanya dicurahkan kepada perang mengusir penjajah.. Berpindah dari satu tempat persembunyian ke persembunyian yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain, kurang makan dan kurangnya perawatan membuat kondisi kesehatannya merosot. Kondisi pasukanpun tak jauh berbeda.

Makam Cut Nyak Dhien di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat

Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada 16 November 1905 Kaphe Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya.. Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak. Dengan usia yang telah menua, rabun dan sakit-sakitan, Tjoet Nyak memang tak bisa berbuat banyak. Rencong pun nyaris tak berguna untuk membela diri. Ya, Tjoet Nyak tertangkap dan dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) dan dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Perjuangan Tjoet Nyak Dhien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing hingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.

Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berbicara tentang persamaan hak yang bernama emansipasi perempuan.

Tjoet Nyak, "The Queen of Aceh Battle", wanita perkasa, pahlawan yang sebenarnya dari suatu realita jamannya.. berakhir sepi di negeri seberang.. Innalillahi wainna ilaihi raji'un. (dari berbagai sumber)

Seulamat Uroe Raya

Admin Blog Atjeh Pusaka mengucapkan Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H... Neu peu meu'ah lahee ngon batein...