Mayoritas olahraga ini digelar untuk menyeleksi prajurit di masa kerajaan
tempo dulu
Atjeh Pusaka - Seorang pria bertelanjang dada menjentikkan jarinya. Kedua kakinya memasang
kuda-kuda di atas tumpukan jerami. Tubuhnya gempal. Kulitnya sedikit
pekat. Di sisi lain, dua pria yang juga bertelanjang dada juga terlihat
bersiap-siap di arena. Satu tangan mereka saling menggenggam antara keduanya.
Tak lama berselang, kedua pria tersebut mengarah ke sosok pria bertubuh
gempal. Mereka berhasil menyergap pria tersebut hingga dipisahkan oleh seorang
pria lainnya, yang bertindak sebagai juri. Ini adalah sekilas ilustrasi geudeu-geudeu, salah
satu olahraga tradisional Aceh yang berasal dari Pidie dan Pidie Jaya.
Olahraga ini identik dengan gulat atau sumo di Jepang. Seni bela diri
ini dimainkan oleh kaum laki-laki. Satu tim terdiri dari 3 orang. Biasanya
geudeu-geudeu ini dipertandingkan antar kampung, diadakan setiap selesai
panen padi.
Kisah kelahiran geudeu-geudeu berawal dari usaha mengasah ketahanan mental
dan jiwa laskar kerajaan. Hingga sekarang, geudeu-geudeu tidak pernah
memperebutkan kejuaraan karena dinilai sangat berbahaya dan
dapat berakibat fatal.
Di Pidie dan Meureudu, dahulunya, ketika masa luah blang (pasca
panen) atau saat bulan purnama, geudeu-geudeu kerap dipertandingkan. Pemuda
berbadan kekar berbondong-bondong mengikutinya, meski tak ada hadiah selain
badan yang lebam. Hadiahnya nyatanya sering tak berwujud, hanya sebuah
kebanggaan belaka yang jadi pemuas bagi petarung yang menang. Adu fisik ini
hanya sekedar 'pleh bren' alias mengendurkan otot-otot yang tegang melalui
pertarungan. Kebanggaan lainnya, sering pula dianggap perkasa dan menjadi
lirikan ujung mata para gadis kampung.
Sebagai seni beladiri, geudeu-geudeu merupakan olah raga keras. Petarung
geude-geude harus memiliki ketahanan fisik dan mental yang kuat, tahan
pukul dan bantingan lawan. Selain itu petarung geudeu-geude juga dituntut
kesabaran dan ketabahan. Di sinilah emosi diolah. Bila emosi petarung
tidak stabil, maka bisa berujung pada kematian.
Kesabaran para pemain diuji dengan berbagai lontaran kata-kata kasar dari
para penonton. Karena itu pula, sepanjang sejarah pertarungan geudeu-geude,
belum pernah terjadi pertarungan di luar arena. Artinya, sikap sportif para
pemain sangat tinggi. Meski di arena mereka babak belur dan bonyok, tapi di
luar arena mereka kembali menjalin silaturahmi dengan ngopi bersama.
Akhir tahun 1980-an, geudeu-geudeu masih sering dipertunjukkan di Beuracan,
Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya. Biasanya pertarungan ini dibagi
dalam dua kategori, yakni antar pribadi dan antar perwakilan kampung. Siapa pun
boleh ikut, syaratnya berani dan mampu menahan pukulan serta hempasan lawan dan
juga emosi.
Para petarung geudeu-geudeu biasanya dibagi dalam dua
kelompok. Petarung pertama tampil ke arena untuk menantang dua petarung
lainnya dengan mengkacak-kacak sambil 'keutrep jaroe' membunyikan jari. Arena
biasanya terbuat dari jerami yang berfungsi sebagai matras.
Petarung pertama yang menantang dua lawan disebut ureung tueng (penantang).
Sedangkan petarung yang ditantang yang berjumlah dua orang tadi, disebut
sebagai ureug pok (orang yang menerima tantangan). Ketika
diserang, petarung pertama akan memukul dan menghempas dua petarung lain yang
menyerangnya. Dan Khusus bagi ureung tueng boleh menggunakan
gempalan tanganya untuk memukul dimana saja, kecuali di bawah pusar.
Untuk ureung pok mereka hanya boleh membanting dan
menghempas sambil mereka berpegangan tangan. jika pegangan tangan ureng pok ini
terlepas atau salah satu dari mereka roboh akibat hantaman ureung tueng,
maka mereka dianggap kalah.
Begitu juga dengan ureung tueng, apabila ureung pok sanggup
menghempas atau membantingnya maka dia dianggap kalah.
Pada babak ke dua, posisi pemain dibalik. Posisi tueng akan
beralih ke pok, begitu juga sebaliknya. Hal ini terus berlangsung
dalam limit waktu tertentu. Sampai salah satu pihak menang. Lazimnya sebuah pertandingan, geudeu-geudeu juga dipimpin oleh beberapa
orang wasit, yang disebut sebagai ureung seumeugla (juri
pelerai) yang biasanya berjumlah empat atau lima orang. Para juri tersebut juga
merupakan orang orang yang tangkas dan kuat, sehingga mampu melerai para
petarung.
Biasanya yang menjadi ureung seumegla tersebut merupakan
para mantan petarung geudeu-geudeu yang memiliki pengalaman dan insting
soal geudeu-geudeu.
Seorang wasit geudeu-geude bisa melihat apakah petarung itu memukul dengan
sikap profesionalisme atau emosional. Karena antara professional dan emosional
petarung itulah wasit berperan menentukan kapan sebuah pertarungan harus
dihentikan.
Selain geudeu-geudeu, olahraga tradisional Aceh lainnya adalah silet atau
silat.
Olahraga beladiri ini hingga sekarang masih terus berkembang di Aceh
bahkan telah menjadi salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan di event
internasional. Silat pada umumnya bisa ditemukan di tanah Melayu.
Namun khusus untuk olahraga tradisional silet Aceh, pola permainannya
sedikit berbeda. Ada satu lawan satu, satu lawan tiga, dan ada juga yang pandai
main silat dengan satu lawan sepuluh, tergantung pada tingkat kepandaian
masing-masing. Olahraga ini sedikit lebih ekstrem dibandingkan geudeu-geudeu.
Pasalnya pemain silet kerap mengikutsertakan senjata tajam seperti pisau,
rencong, atau keris dalam unjuk kebolehannya.
Selanjutnya adalah olahraga berkuda.
Di masa kerajaan, olahraga ini sering
dipertandingkan untuk melihat ketangkasan berkuda sambil mempermainkan pedang,
seakan-akan sedang menyerang musuh. Olahraga berkuda ada yang diperlombakan
secara perorangan dan ada juga yang secara beregu. Pada masanya, olahraga ini
digelar untuk menyeleksi prajurit yang paling terampil. Nantinya si pemenang akan
diangkat sebagai pimpinan perang pasukan berkuda.
Olahraga tradisional Aceh lainnya adalah menembak.
Merujuk catatan Usman
Husein dkk, dalam buku Aceh Serambi Mekkah terbitan Pemerintah Aceh pada 2008,
menyebutkan ada dua macam olahraga menembak yang sangat digemari dan dibina di
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kedua macam olahraga menembak tersebut
adalah cabang menembak menggunakan senapan dan cabang menembak menggunakan
panahan. Sama halnya dengan olahraga berkuda, pertandingan menembak dilakukan
untuk menyeleksi prajurit-prajurit unggulan kerajaan yang bakal dikirim ke
medan pertempuran.
Terakhir adalah olahraga Cabang.
Olahraga ini adalah game strategi semisal
catur atau permainan halma. Cabang merupakan olahraga para pembesar istana yang
sering dipertandingkan pada acara tertentu. Olahraga ini dipertandingkan untuk
melihat kecerdasan seorang pemain dalam mengatasi lawannya. Permainan cabang
sangat digemari Sultan Aceh pada saat itu. Hal tersebut dibuktikan dengan
adanya ukiran rumusan olahraga ini di tempat istirahat raja yang sekarang
menjadi koleksi Museum Aceh.
Oleh: BOY NASHRUDDIN, (Portal Satu)