Selasa, 03 Desember 2013
Sabtu, 09 November 2013
HIKAYAT PRANG SABI
HIKAYAT PRANG SABI
Salam alaikom walaikom Teungku meutuah
Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe
Amanah nabi...ya nabi hana meu ubah-meu ubah
Syuruga indah...ya Allah pahala prang Sabi....
Ureueng syahid la syahid bek ta kheun matee
Beuthat beutan lee...ya Allah nyawoung lam badan
Ban saree keunoeng la keunoeng seunjata kafee la kafee
Keunan datang lee...ya Allah peumuda seudang...
Djimat kipah la kipah saboh bak jaroe
Jipreh judo woe ya Allah dalam prang sabi
Gugor disinan-disinan neuba u dalam-u dalam
Neupuduk sajan ya Allah ateuh kurusi...
Ija puteh la puteh geusampoh darah
Ija mirah...ya Allah geusampoh gaki
Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan
Watee tapandang...ya Allah seunang lam hatee...
Darah nyang ha-nyi nyang ha-nyi gadoh di badan
Geuganto le Tuhan...ya Allah deungan kasturi
Di kamoe Aceh la Aceh darah peujuang-peujuang
Neubi beu manyang...ya Allah Aceh mulia...
Subhanallah wahdahu wabi hamdihi
Khalikul badri wa laili adza wa jalla
Ulon peujoe Poe sidroe Poe syukoe keu rabbi ya aini
Keu kamoe neubri beu suci Aceh mulia...
Tajak prang meusoh beureuntoh dum sitre nabi
Yang meu ungkhi ke rabbi keu poe yang esa
Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe roh
Syuruga tan roeh rugoe roh bala neuraka...
Soe-soe nyang tem prang cit meunang meutuwah teuboh
Syuruga that roeh nyang leusoeh neubri keugata
Lindong gata sigala nyang muhajidin mursalin
Jeut-jeut mukim ikeulim Aceh mulia...
Nyang meubahagia seujahtera syahid dalam prang
Allah pulang dendayang budiadari
Oeh kasiwa-sirawa syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamo´ng syuruga tinggi...
Budiyadari meuriti di dong dji pandang
Di cut abang jak meucang dalam prang sabi
Oh ka judo Teungku ee syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamong syuruga tinggi...
Salam alaikom walaikom Teungku meutuah
Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe
Amanah nabi...ya nabi hana meu ubah-meu ubah
Syuruga indah...ya Allah pahala prang Sabi....
Ureueng syahid la syahid bek ta kheun matee
Beuthat beutan lee...ya Allah nyawoung lam badan
Ban saree keunoeng la keunoeng seunjata kafee la kafee
Keunan datang lee...ya Allah peumuda seudang...
Djimat kipah la kipah saboh bak jaroe
Jipreh judo woe ya Allah dalam prang sabi
Gugor disinan-disinan neuba u dalam-u dalam
Neupuduk sajan ya Allah ateuh kurusi...
Ija puteh la puteh geusampoh darah
Ija mirah...ya Allah geusampoh gaki
Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan
Watee tapandang...ya Allah seunang lam hatee...
Darah nyang ha-nyi nyang ha-nyi gadoh di badan
Geuganto le Tuhan...ya Allah deungan kasturi
Di kamoe Aceh la Aceh darah peujuang-peujuang
Neubi beu manyang...ya Allah Aceh mulia...
Subhanallah wahdahu wabi hamdihi
Khalikul badri wa laili adza wa jalla
Ulon peujoe Poe sidroe Poe syukoe keu rabbi ya aini
Keu kamoe neubri beu suci Aceh mulia...
Tajak prang meusoh beureuntoh dum sitre nabi
Yang meu ungkhi ke rabbi keu poe yang esa
Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe roh
Syuruga tan roeh rugoe roh bala neuraka...
Soe-soe nyang tem prang cit meunang meutuwah teuboh
Syuruga that roeh nyang leusoeh neubri keugata
Lindong gata sigala nyang muhajidin mursalin
Jeut-jeut mukim ikeulim Aceh mulia...
Nyang meubahagia seujahtera syahid dalam prang
Allah pulang dendayang budiadari
Oeh kasiwa-sirawa syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamo´ng syuruga tinggi...
Budiyadari meuriti di dong dji pandang
Di cut abang jak meucang dalam prang sabi
Oh ka judo Teungku ee syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamong syuruga tinggi...
Senin, 04 November 2013
Rabu, 30 Oktober 2013
Sistem Kekerabatan di Atjeh
1. Kelompok-kelompok Kekerabatan
A. Keluarga Batih
Sistem kelompok keluarga masyarakat Atjeh pada umumnya menganut sistem keluarga batih. Rumah-tangga terdiri atas keluarga kecil yaitu ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin. Apabila seseorang anak sudah kawin, ia akan mendirikan rumah-tanggasendiri sebagai keluarga batih pula. Seseorang yang baru kawin, tidak seberapa lama menetap bersama-sama dalam keluarga batih dari ayah atau mertuanya. Ada yang menetap beberapa bulan saja atau sampai lahir seorang anak.
Seseorang yang sudah memisahkandiri dari keluarga batih ayahnya atau mertuanya disebut dengan peu meukleh, atau jawe di Gayo. Keluarga batih dalam masyarakat Aceh tidak mempunyai istilah tersendiri, kecuali dalam masyarakat Gayo istilah keluarga batih disebut dengan sara ine. Ayah dan ibu dalam keluarga batih, mempunyai peranan penting untuk mengasuh keluarga sampai dewasa.
Peranan ini sudah menjadi tanggung-jawab ayah dan ibu meliputi segala kebutuhan keluarga seperti kebutuhan akan sandang-pangan, kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan terhadap pendidikan anak-anaknya sangat penting bagi masyarakat Aceh. Karena menurut sudut pandangan agama, orang tua tidak boleh mengabaikan pendidikan anaknya, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Kegiatan dalam keluarga batih, merupakan kegiatan bersama. Kegiatan ini tampak pada waktu tron u blang (turun ke sawah), atau turunku urne di Gayo, meulampoh (berkebun) semua anggota keluarga batih menjadi tenaga pelaksana. Pembagian kerja antara anggota keluarga sesuai menurut kemauan mereka masing-masing. Biasanya anak-anak diberikan pekerjaan yang lebih ringan, karena ia belum mampu mengerjakan pekerjaan yang berat.
B. Keluarga Luas
Sistem keluarga luas hanya terdapat pada masyarakat Gayo di Aceh Tengah. Ukuran keluarga dalam masyarakat Gayo hanya ditentukan oleh tempat tinggal dan hidup dalam satu kesatuan ekonomi. Keluarga luas di Gayo ini bisa disebut sara dapur (satu dapur) atau sara kuren (satu periuk). Mereka tinggal dalam suatu rumah besar (rumah belah rang atau rumah time ruang bersamasama -dengan keluarga luas lainnya. Keluarga-keluarga luas seperti itu sering juga disebut sara berine.
Apabila salah satu anggota keluarga sudah kawin, ia akan pindah ke dalam satu bilik (kamar), tetapi masih dalam rumah itu juga, dan masih dalam kesatuan ekonomis dengan keluarga batih senior. Pada satu saat keluarga batih ini berdiri sendiri secara ekonomis (jawe) dan terpisah dari keluarga luasnya. Kesatuan keluarga luas yang mendiami satu rumah besar ini sering disebut sara kuru, atau saudere. Kelompok seperti ini kadang-kadang tidak harus dalam satu rumah, tetapi berada pada beberapa rumah. Setiap rumah di Gayo pada masa lalu mempunyai nama-nama tersendiri seperti: Umah Melige, Kuli, Berukir, Genuren, Kul, Nangka, Kedeusa dan lain-lain.
Perkembangannya pada saat sekarang, menunjukkan suatu gejala akan lenyapnya umah timeu ruang sebagai tempat tinggal sedere. Sekarang ini kelihatan banyak bangunan perumahan di pedesaan meniru pola perumahan perkotaan. Rumah tidak lagi berbentuk memanjang yang terdiri atas kamar-kamar dalam bentuk panggung (tinggi). Pola yang baru ini tidak seberapa membutuhkan kayu-kayu sebagai bahannya. Lagi pula keluarga sara ine tadi berkeinginan untuk memisahkan diri dari umah timeu ruang.
C. Kien kecil
Lama-kelamaan perkembangan sedere, tidak mungkin tertampung lagi di dalam umeh timeu ruang tadi, karena jumlahnya semakin besar dan semakin banyak pula membutuhkan tempat tinggal. Maka terjadilah pemisahan tempat dengan mendirikan rumah baru. Rumah baru ini kemudian berkembang pula menjadi rumah besar seperti di atas tadi. Walaupun timbul pemisahan tempat tinggal, akan tetapi tali kekerabatan tetap tidak berubah. Antara satu rumah dengan rumah yang lain masih diikat oleh pertalian sedere. Dari ikatan pertalian ini terjadilah kien kecil dalam masyarakat Gayo yang disebut dengan belah. Anggota dari satu kien kecil (belah) ini memelihara adat exogami.
Pada saat-saat tertentu mereka mengadakan aktifitas bersama, misalnya dalam pertanian atau upacara adat (resam) yang lain. Pada belah tertentu rupanya pada masa lalu memiliki binatang totem. Setiap belah biasanya mempunyai nama tersendiri seperti cebero, jongok, melala, gunung, beno, munte, bukit, linge, dan lain-lain.
Pada masa kini kehidupan belah di Gayo mulai tidak berfungsi lagi seperti di masa lalu. Namun pada beberapa kampung tertentu tampak masih bertahan. Di pihak lain di kampung seperti itupun sudah sering terjadi pelanggaran terhadap norma belah itu, misalnya adanya pelanggaran terhadap exogami belah itu.
2. Prinsip-prinsip Keturunan
Prinsip-prinsip keturunan pada masyarakat Aceh umumnya menganut prinsip patrilineal. Prinsip patrilineal masyarakat Aceh ditentukan oleh status anak, bila salah seorang orang tuanya meninggal dunia. Apabila ibu meninggal, yang bertanggung-jawab térhadap anaknya adalah ayahnya. Tetapi apabila ayahnya meninggal, yang bertanggung-jawab, bukan ibu, tetapi adalah wali dari pihak. ayah, yaitu saudara laki-laki dari ayah yang sekandung. Kalau saudara laki-laki yang sekandung dengan ayah tidak ada, maka yang menjadi wali adalah saudara sepupu pihak ayah yang laki-laki dan saudara sepupu ini keturunan dari saudara sekandung dari ayah yang laki-laki pula. Wali dari pihak ibu disebut dengan wali karong. Tetapi wali karong tidak dapat bertanggung-jawab terhadap keturunan.
Saudara-saudaranya yang perempuan, karena dianggap lemah dari segi hukum agama dan adat. Dalam masyarakat Gayo ada tiga bentuk perkawinan yaitu kawin ango atau juelen, kawin angkap, dan kawin kuso-kini, yang seakan-akan menentukan prinsip-prinsip keturunan. Bentuk perkawinan ango atau juelen, di mana pihak suami seakan-akan membeli wanita yang bakal dijadikan istri, maka si istri dianggap masuk ke dalam belah suami, karena ia telah dibeli. Oleh karena itu anak-anaknya akan menganut patrilineal, karena ia ikut masuk belah ayahnya.
Apabila terjadi cere banci (cerai karena perselisihan), maka si istri menjadi ulak-kemulak (kembali ke belah asalnya). Anak-anaknya menjadi tanggung-jawab ayahnya. Tetapi apabila terjadi cere kasih (cerai karena mati), tidak menyebabkan perubahan status istri, ia tetap dalam belah suami. Dan anak-anaknya menjadi tanggung-jawab belah ayah yaitu walinya. Bentuk perkawinan angkap. di mana pihak laki-laki (suami ditarik ke dalam belah si isteri Suami terlepas dari belahnya.
Bentuk perkawinan rangkap ini dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk angkap nasap dan bentuk angkap sementara. Bentuk perkawinan nangkap nasap terjadi disebabkan oleh pihak keluarga perempuan tidak ada keturunan laki-laki. Ia ingin memperoleh anak laki-laki yang dimasukkan ke dalam belahnya. Maka menantu laki-laki disebut dengan penurip-murip peunanom mate artinya memelihara semasa hidup dan menguburkan waktu mertua mati. Oleh karena itu anak-anaknya seakan-akan menganut matrilineal karena anaknya ikut belah ibunya.
Bila terjadi cere banci, ayahnya tetap bertanggungjawab kepada anaknya. Tetapi semua harta asal dari ayah dan ibu, menjadi kepunyaan anak dan ibu. Tetapi apabila terjadi cere kasih, misalnya suami meninggal, harta tetap dimiliki oleh anak dan ibunya tadi tetap tanggung jawab terhadap anak yang diserahkan kepada pihak ayah. Andaikata suami yang meninggal dunia dan ternyata tidak meninggalkan anak, harta miliknya otomatis semuanya menjadi miliknya istri.
Bentuk perkawinan angkap sentaran sering pula disebut dengan angkap edet atau angkap perjanyin. Seorang laki-laki (suami) dalam jangka waktu tertentu menetap dalam belah istrinya, sesuai dengan perjanjian pada saat dilakukannya peminangan. Status sementara ini berlangsung selama suami belum memenuhi semua persyaratan seperti mas kawin yang telah, ditentukan dalam perjanjian angkap sementara, atau syarat-syarat lain seperti misalnya saudara dari istri yang laki-laki belum menikah.
Status anak dalam bentuk perkawinan angkap sentaran ini tetap menganut istem "matrilineal" seperti dalam angkap nasap tadi. Status anak dalam kedua bentuk perkawinan angkap ini perlu diadakan studi lanjutan, karena masih kurang jelas dilihat dari segi pembagian harta pusaka dan fungsi wali dari pihak ayah.
Selain dari kedua bentuk perkawinan di atas dalam masyarakat Gayo, masih terdapat suatu bentuk perkawinan lain yang dapat menentukan prinsip-prinsip keturunan yaitu bentuk perkawinan kuso-kini (ke sana-ke mari). Bentuk ini merupakan perkembangan baru di Gayo. Bentuk perkawinan ini memberikan kebebasan kepada suami-istri untuk memilih belah tempat menetap. Apakah masuk belah istri atau belah suami.
Sehubungan dengan kebebasan kepada suami-istri untuk memilih belah, maka anakanaknya tetap menganut prinsip patrilineal. Bentuk perkawinan inilah yang paling banyak sekarang dilakukan dalam masyarakat Gayo. Dengan demikian bentuk perkawinan ango atau juelen dan bentuk perkawinan angkap sedang mengalami proses perubahan ke dalam bentuk perkawinan kuso kini.
Generasi muda sekarang menunjukkan suatu gejala untuk menghindari perkawinan dalam kedua bentuk perkawinan di atas tadi, yang dapat mengikat mereka dengan belah. (sering orang mengacaukan prinsip patrilineal dengan adanya perkawinan yang matrilokal di Gayo ini.
Menurut hernat saya, meskipun seseorang kawin secara patrilokal (juelen), matrilokal (angkap) atau kuso-kini prinsip keturunannya tetap patrilineal).
3. Sistem Istilah-istilah Kekerabatan
Sistem istilah-istilah dalam kekerabatan, menunjukkan sopan santun pergaulan kekerabatan. Istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat Aceh hanya dikenal untuk tiga tingkat ke atas dan tiga tingkat ke bawah dari ego. (dalam masyarakat Gayo dikenal lima tingkat ke atas dan tiga tingkat ke bawah). Istilah-istilah tersebut terlihat dalam hubungan antar diri (inter personal relationship) di bawah ini:
Penjelasan: hubungan diri (inter personal relationship)
ego = orang yang jadi pokok pembicaraan.
ac = bang, tumuda, pelem (A), bang (T), udo (Aj), ogek (Aj) abang (G).
a = lem, bang, adeun, (A), kake (T), udo, agek (Aj), abang (G).
b = pe, da, kak (A), dapo (T), uda, anak, uning (Aj), aka (G).
c = uerung rum oh (A), ureung rumoh (T), bini (Aj), pake umah ni (G).
c dan d = adek, adoi (A), adik (T), adiek (Aj), ngi (G).
la = ayah, du, abu, abah, bapak (A), ayah, wan, untu (T) ayah, abu (Aj), ama (G).
l a l = ayahwe, (A), teungkuwa ( ï ) , poya, pak tuwo (Aj), amakul (G).
Ia2 = wa, makwa (A), wa (T), mak tuwo (Aj). we (G).
Ia3 = makcut, teh, cut po (A), cut po.(T), etek, makbit (Aj), ngah (G).
Ia4 = ayahcut, ayahlot, ayah eek, apa (A), bapa (T), wen pak, ketek (Aj), aman ngah (G).
lb = mak, nyak, ma (A), rua (T), umak (Aj), ine (G).
l b l = makwa, nyakwa, wa (A), wa (T), mak tuwo (Aj), ibikul (G).
1 b2 = ayahwa (A), teungkuwa (T), poya pak tuwo (Aj), punkul (G).
Ib3 = ayahcut, pacut, ayah lot (A), bapa (T), wen, pak ketek, maniak (Aj), punngah (G).
Ib4 = makcut, teih, maklot (A), mencut, cut po (T), etek makbit (Aj), ibicu (G).
2 a = nek gam, tu, ayah, nek, nek tu (A), kake (T), andung (Aj), awan (G).
2al = nek, nekwa (A), kake (T), andung (Aj), awan (G).
2a2 = nekwa, wa (A), dapo (T), nek tuwo (Aj, anan (G).
2a3 = nek lot, nek (A), atok (T), nek ketek (Aj), anan (G).
2b - 2b 1 = nek (A), ni (T), uci (Aj), anan (G).
2al-2a5 = panggilan sama seperti dengan pihak ayah.
3a dan 3b = nek nyang (A), munyang (T), munyang (Aj), datu (G).
l y 1-1 y3 = aneuk keumun (A), keumun (T), anak kamun (Aj), until (G).
g = meulintei (A), mantu (T), menunte (Aj), kile (G).
2zl-2z2 = cuco (A), cucu (T), cuso (Aj), kumpu (G).
3f 1 -3f3 = eet (A), bunyut (T), bunyut (Aj), bunyut (G).
4. Sopan-santun pergaulan kekerabatan
Seorang ayah dalam kehidupan suatu keluarga sangat disegani oleh anggota-anggota keluarga. Maka seorang anak lebih rapat pergaulannya dengan ibu. Segala sesuatu masalah yang hendak disampaikan dalam keluarga tidak melalui ayah, tetapi selalu melalui ibunya. Situasi kehidupan masyarakat Aceh sehari-hari urusan yang kecil-kecil menjadi urusan ibu, kecuali urusan itu memang perlu mendapat perhatian seorang ayah.
Hubungan mertua dengan menantu sangat terbatas, lebihlebih dengan menantu laki-laki. Antara menantu dengan mertua sangat jarang berbicara kadang-kadang sampai lahir seorang anak, kalaupun ada sangat terbatas.
Menurut pandangan masyarakat Aceh adalah tidak baik seorang menantu banyak berbicara dengan mertuanya, juga begitu sebaliknya. Maka tidak sedikit seseorang yang baru mengawinkan anaknya, ia akan pindah tempat tidur ke dapur, supaya jangan terdengar percakapan menantunya atau jangan saling bertemu pandangan. Bila ada sesuatu masalah yang sangat penting disampaikan oleh mertua, lebih-lebih mertua perempuan kepada menantunya yang laki-laki, ia tidak berhadapan langsung, kadang-kadang ia berbicara dari bilik dinding atau tabir.
Di Gayo pembicaraan antara menantu dengan mertua diusahakan melalui orang ketiga, meskipun orang ketiga itu adalah seorang bayi. Bila menantu berpapasan dengan mertua (terutama mertua laki-laki) 'mereka biasanya saling mengalihkan pandangan atau tidak saling menatap. Namun keadaan ini sekarang sudah sedikit berubah.
Perasaan malu atau segan antara mertua dengan menantu, menandakan mertua sangat hormat kepada menantu, begitu juga sebaliknya. Tetapi hubungan mertua dengan cucunya sangat intim dan manja, kadang-kadang lebih dari anaknya sendiri. Maka banyak orang-orang generasi sekarang, tidak mau anaknya tinggal bersama kakek atau neneknya. Karena terlalu dimanja menyebabkan si anak tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya
yang murni. Seorang menantu biasanya lebih akrab dengan adik iparnya yang lebih kecil. Adik ipar menjadi perantara antara menantu dengan mertua, bila istrinya tidak ada di rumah.
Mungkin menantunya ingin meminta sesuatu atau menyampaikan masalah penting.
Anak biasanya lebih akrab dengan pihak saudara-saudara ibunya, walau saudara-saudara dari ayahnya yang bertanggungjawab, apabila ayahnya meninggal. Keadaan di Gayo, dengan kerabat pihak ayah tetap lebih akrab.
Hubungan kekerabatan yang sudah agak jauh, baik pihak istri maupun pihak suami (laki-laki) tidak begitu terbatas seperti antara menantu dengan mertua, asal tidak mengeluarkan kata-kata yang kotor. Menegur seseorang dengan hormat, tidak boleh bersenda gurau atau tertawa terbahak-bahak. (Sumber: Sejarah Aceh)
A. Keluarga Batih
Sistem kelompok keluarga masyarakat Atjeh pada umumnya menganut sistem keluarga batih. Rumah-tangga terdiri atas keluarga kecil yaitu ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin. Apabila seseorang anak sudah kawin, ia akan mendirikan rumah-tanggasendiri sebagai keluarga batih pula. Seseorang yang baru kawin, tidak seberapa lama menetap bersama-sama dalam keluarga batih dari ayah atau mertuanya. Ada yang menetap beberapa bulan saja atau sampai lahir seorang anak.
Seseorang yang sudah memisahkandiri dari keluarga batih ayahnya atau mertuanya disebut dengan peu meukleh, atau jawe di Gayo. Keluarga batih dalam masyarakat Aceh tidak mempunyai istilah tersendiri, kecuali dalam masyarakat Gayo istilah keluarga batih disebut dengan sara ine. Ayah dan ibu dalam keluarga batih, mempunyai peranan penting untuk mengasuh keluarga sampai dewasa.
Peranan ini sudah menjadi tanggung-jawab ayah dan ibu meliputi segala kebutuhan keluarga seperti kebutuhan akan sandang-pangan, kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan terhadap pendidikan anak-anaknya sangat penting bagi masyarakat Aceh. Karena menurut sudut pandangan agama, orang tua tidak boleh mengabaikan pendidikan anaknya, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Kegiatan dalam keluarga batih, merupakan kegiatan bersama. Kegiatan ini tampak pada waktu tron u blang (turun ke sawah), atau turunku urne di Gayo, meulampoh (berkebun) semua anggota keluarga batih menjadi tenaga pelaksana. Pembagian kerja antara anggota keluarga sesuai menurut kemauan mereka masing-masing. Biasanya anak-anak diberikan pekerjaan yang lebih ringan, karena ia belum mampu mengerjakan pekerjaan yang berat.
B. Keluarga Luas
Sistem keluarga luas hanya terdapat pada masyarakat Gayo di Aceh Tengah. Ukuran keluarga dalam masyarakat Gayo hanya ditentukan oleh tempat tinggal dan hidup dalam satu kesatuan ekonomi. Keluarga luas di Gayo ini bisa disebut sara dapur (satu dapur) atau sara kuren (satu periuk). Mereka tinggal dalam suatu rumah besar (rumah belah rang atau rumah time ruang bersamasama -dengan keluarga luas lainnya. Keluarga-keluarga luas seperti itu sering juga disebut sara berine.
Apabila salah satu anggota keluarga sudah kawin, ia akan pindah ke dalam satu bilik (kamar), tetapi masih dalam rumah itu juga, dan masih dalam kesatuan ekonomis dengan keluarga batih senior. Pada satu saat keluarga batih ini berdiri sendiri secara ekonomis (jawe) dan terpisah dari keluarga luasnya. Kesatuan keluarga luas yang mendiami satu rumah besar ini sering disebut sara kuru, atau saudere. Kelompok seperti ini kadang-kadang tidak harus dalam satu rumah, tetapi berada pada beberapa rumah. Setiap rumah di Gayo pada masa lalu mempunyai nama-nama tersendiri seperti: Umah Melige, Kuli, Berukir, Genuren, Kul, Nangka, Kedeusa dan lain-lain.
Perkembangannya pada saat sekarang, menunjukkan suatu gejala akan lenyapnya umah timeu ruang sebagai tempat tinggal sedere. Sekarang ini kelihatan banyak bangunan perumahan di pedesaan meniru pola perumahan perkotaan. Rumah tidak lagi berbentuk memanjang yang terdiri atas kamar-kamar dalam bentuk panggung (tinggi). Pola yang baru ini tidak seberapa membutuhkan kayu-kayu sebagai bahannya. Lagi pula keluarga sara ine tadi berkeinginan untuk memisahkan diri dari umah timeu ruang.
C. Kien kecil
Lama-kelamaan perkembangan sedere, tidak mungkin tertampung lagi di dalam umeh timeu ruang tadi, karena jumlahnya semakin besar dan semakin banyak pula membutuhkan tempat tinggal. Maka terjadilah pemisahan tempat dengan mendirikan rumah baru. Rumah baru ini kemudian berkembang pula menjadi rumah besar seperti di atas tadi. Walaupun timbul pemisahan tempat tinggal, akan tetapi tali kekerabatan tetap tidak berubah. Antara satu rumah dengan rumah yang lain masih diikat oleh pertalian sedere. Dari ikatan pertalian ini terjadilah kien kecil dalam masyarakat Gayo yang disebut dengan belah. Anggota dari satu kien kecil (belah) ini memelihara adat exogami.
Pada saat-saat tertentu mereka mengadakan aktifitas bersama, misalnya dalam pertanian atau upacara adat (resam) yang lain. Pada belah tertentu rupanya pada masa lalu memiliki binatang totem. Setiap belah biasanya mempunyai nama tersendiri seperti cebero, jongok, melala, gunung, beno, munte, bukit, linge, dan lain-lain.
Pada masa kini kehidupan belah di Gayo mulai tidak berfungsi lagi seperti di masa lalu. Namun pada beberapa kampung tertentu tampak masih bertahan. Di pihak lain di kampung seperti itupun sudah sering terjadi pelanggaran terhadap norma belah itu, misalnya adanya pelanggaran terhadap exogami belah itu.
2. Prinsip-prinsip Keturunan
Prinsip-prinsip keturunan pada masyarakat Aceh umumnya menganut prinsip patrilineal. Prinsip patrilineal masyarakat Aceh ditentukan oleh status anak, bila salah seorang orang tuanya meninggal dunia. Apabila ibu meninggal, yang bertanggung-jawab térhadap anaknya adalah ayahnya. Tetapi apabila ayahnya meninggal, yang bertanggung-jawab, bukan ibu, tetapi adalah wali dari pihak. ayah, yaitu saudara laki-laki dari ayah yang sekandung. Kalau saudara laki-laki yang sekandung dengan ayah tidak ada, maka yang menjadi wali adalah saudara sepupu pihak ayah yang laki-laki dan saudara sepupu ini keturunan dari saudara sekandung dari ayah yang laki-laki pula. Wali dari pihak ibu disebut dengan wali karong. Tetapi wali karong tidak dapat bertanggung-jawab terhadap keturunan.
Saudara-saudaranya yang perempuan, karena dianggap lemah dari segi hukum agama dan adat. Dalam masyarakat Gayo ada tiga bentuk perkawinan yaitu kawin ango atau juelen, kawin angkap, dan kawin kuso-kini, yang seakan-akan menentukan prinsip-prinsip keturunan. Bentuk perkawinan ango atau juelen, di mana pihak suami seakan-akan membeli wanita yang bakal dijadikan istri, maka si istri dianggap masuk ke dalam belah suami, karena ia telah dibeli. Oleh karena itu anak-anaknya akan menganut patrilineal, karena ia ikut masuk belah ayahnya.
Apabila terjadi cere banci (cerai karena perselisihan), maka si istri menjadi ulak-kemulak (kembali ke belah asalnya). Anak-anaknya menjadi tanggung-jawab ayahnya. Tetapi apabila terjadi cere kasih (cerai karena mati), tidak menyebabkan perubahan status istri, ia tetap dalam belah suami. Dan anak-anaknya menjadi tanggung-jawab belah ayah yaitu walinya. Bentuk perkawinan angkap. di mana pihak laki-laki (suami ditarik ke dalam belah si isteri Suami terlepas dari belahnya.
Bentuk perkawinan rangkap ini dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk angkap nasap dan bentuk angkap sementara. Bentuk perkawinan nangkap nasap terjadi disebabkan oleh pihak keluarga perempuan tidak ada keturunan laki-laki. Ia ingin memperoleh anak laki-laki yang dimasukkan ke dalam belahnya. Maka menantu laki-laki disebut dengan penurip-murip peunanom mate artinya memelihara semasa hidup dan menguburkan waktu mertua mati. Oleh karena itu anak-anaknya seakan-akan menganut matrilineal karena anaknya ikut belah ibunya.
Bila terjadi cere banci, ayahnya tetap bertanggungjawab kepada anaknya. Tetapi semua harta asal dari ayah dan ibu, menjadi kepunyaan anak dan ibu. Tetapi apabila terjadi cere kasih, misalnya suami meninggal, harta tetap dimiliki oleh anak dan ibunya tadi tetap tanggung jawab terhadap anak yang diserahkan kepada pihak ayah. Andaikata suami yang meninggal dunia dan ternyata tidak meninggalkan anak, harta miliknya otomatis semuanya menjadi miliknya istri.
Bentuk perkawinan angkap sentaran sering pula disebut dengan angkap edet atau angkap perjanyin. Seorang laki-laki (suami) dalam jangka waktu tertentu menetap dalam belah istrinya, sesuai dengan perjanjian pada saat dilakukannya peminangan. Status sementara ini berlangsung selama suami belum memenuhi semua persyaratan seperti mas kawin yang telah, ditentukan dalam perjanjian angkap sementara, atau syarat-syarat lain seperti misalnya saudara dari istri yang laki-laki belum menikah.
Status anak dalam bentuk perkawinan angkap sentaran ini tetap menganut istem "matrilineal" seperti dalam angkap nasap tadi. Status anak dalam kedua bentuk perkawinan angkap ini perlu diadakan studi lanjutan, karena masih kurang jelas dilihat dari segi pembagian harta pusaka dan fungsi wali dari pihak ayah.
Selain dari kedua bentuk perkawinan di atas dalam masyarakat Gayo, masih terdapat suatu bentuk perkawinan lain yang dapat menentukan prinsip-prinsip keturunan yaitu bentuk perkawinan kuso-kini (ke sana-ke mari). Bentuk ini merupakan perkembangan baru di Gayo. Bentuk perkawinan ini memberikan kebebasan kepada suami-istri untuk memilih belah tempat menetap. Apakah masuk belah istri atau belah suami.
Sehubungan dengan kebebasan kepada suami-istri untuk memilih belah, maka anakanaknya tetap menganut prinsip patrilineal. Bentuk perkawinan inilah yang paling banyak sekarang dilakukan dalam masyarakat Gayo. Dengan demikian bentuk perkawinan ango atau juelen dan bentuk perkawinan angkap sedang mengalami proses perubahan ke dalam bentuk perkawinan kuso kini.
Generasi muda sekarang menunjukkan suatu gejala untuk menghindari perkawinan dalam kedua bentuk perkawinan di atas tadi, yang dapat mengikat mereka dengan belah. (sering orang mengacaukan prinsip patrilineal dengan adanya perkawinan yang matrilokal di Gayo ini.
Menurut hernat saya, meskipun seseorang kawin secara patrilokal (juelen), matrilokal (angkap) atau kuso-kini prinsip keturunannya tetap patrilineal).
3. Sistem Istilah-istilah Kekerabatan
Sistem istilah-istilah dalam kekerabatan, menunjukkan sopan santun pergaulan kekerabatan. Istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat Aceh hanya dikenal untuk tiga tingkat ke atas dan tiga tingkat ke bawah dari ego. (dalam masyarakat Gayo dikenal lima tingkat ke atas dan tiga tingkat ke bawah). Istilah-istilah tersebut terlihat dalam hubungan antar diri (inter personal relationship) di bawah ini:
Penjelasan: hubungan diri (inter personal relationship)
ego = orang yang jadi pokok pembicaraan.
ac = bang, tumuda, pelem (A), bang (T), udo (Aj), ogek (Aj) abang (G).
a = lem, bang, adeun, (A), kake (T), udo, agek (Aj), abang (G).
b = pe, da, kak (A), dapo (T), uda, anak, uning (Aj), aka (G).
c = uerung rum oh (A), ureung rumoh (T), bini (Aj), pake umah ni (G).
c dan d = adek, adoi (A), adik (T), adiek (Aj), ngi (G).
la = ayah, du, abu, abah, bapak (A), ayah, wan, untu (T) ayah, abu (Aj), ama (G).
l a l = ayahwe, (A), teungkuwa ( ï ) , poya, pak tuwo (Aj), amakul (G).
Ia2 = wa, makwa (A), wa (T), mak tuwo (Aj). we (G).
Ia3 = makcut, teh, cut po (A), cut po.(T), etek, makbit (Aj), ngah (G).
Ia4 = ayahcut, ayahlot, ayah eek, apa (A), bapa (T), wen pak, ketek (Aj), aman ngah (G).
lb = mak, nyak, ma (A), rua (T), umak (Aj), ine (G).
l b l = makwa, nyakwa, wa (A), wa (T), mak tuwo (Aj), ibikul (G).
1 b2 = ayahwa (A), teungkuwa (T), poya pak tuwo (Aj), punkul (G).
Ib3 = ayahcut, pacut, ayah lot (A), bapa (T), wen, pak ketek, maniak (Aj), punngah (G).
Ib4 = makcut, teih, maklot (A), mencut, cut po (T), etek makbit (Aj), ibicu (G).
2 a = nek gam, tu, ayah, nek, nek tu (A), kake (T), andung (Aj), awan (G).
2al = nek, nekwa (A), kake (T), andung (Aj), awan (G).
2a2 = nekwa, wa (A), dapo (T), nek tuwo (Aj, anan (G).
2a3 = nek lot, nek (A), atok (T), nek ketek (Aj), anan (G).
2b - 2b 1 = nek (A), ni (T), uci (Aj), anan (G).
2al-2a5 = panggilan sama seperti dengan pihak ayah.
3a dan 3b = nek nyang (A), munyang (T), munyang (Aj), datu (G).
l y 1-1 y3 = aneuk keumun (A), keumun (T), anak kamun (Aj), until (G).
g = meulintei (A), mantu (T), menunte (Aj), kile (G).
2zl-2z2 = cuco (A), cucu (T), cuso (Aj), kumpu (G).
3f 1 -3f3 = eet (A), bunyut (T), bunyut (Aj), bunyut (G).
4. Sopan-santun pergaulan kekerabatan
Seorang ayah dalam kehidupan suatu keluarga sangat disegani oleh anggota-anggota keluarga. Maka seorang anak lebih rapat pergaulannya dengan ibu. Segala sesuatu masalah yang hendak disampaikan dalam keluarga tidak melalui ayah, tetapi selalu melalui ibunya. Situasi kehidupan masyarakat Aceh sehari-hari urusan yang kecil-kecil menjadi urusan ibu, kecuali urusan itu memang perlu mendapat perhatian seorang ayah.
Hubungan mertua dengan menantu sangat terbatas, lebihlebih dengan menantu laki-laki. Antara menantu dengan mertua sangat jarang berbicara kadang-kadang sampai lahir seorang anak, kalaupun ada sangat terbatas.
Menurut pandangan masyarakat Aceh adalah tidak baik seorang menantu banyak berbicara dengan mertuanya, juga begitu sebaliknya. Maka tidak sedikit seseorang yang baru mengawinkan anaknya, ia akan pindah tempat tidur ke dapur, supaya jangan terdengar percakapan menantunya atau jangan saling bertemu pandangan. Bila ada sesuatu masalah yang sangat penting disampaikan oleh mertua, lebih-lebih mertua perempuan kepada menantunya yang laki-laki, ia tidak berhadapan langsung, kadang-kadang ia berbicara dari bilik dinding atau tabir.
Di Gayo pembicaraan antara menantu dengan mertua diusahakan melalui orang ketiga, meskipun orang ketiga itu adalah seorang bayi. Bila menantu berpapasan dengan mertua (terutama mertua laki-laki) 'mereka biasanya saling mengalihkan pandangan atau tidak saling menatap. Namun keadaan ini sekarang sudah sedikit berubah.
Perasaan malu atau segan antara mertua dengan menantu, menandakan mertua sangat hormat kepada menantu, begitu juga sebaliknya. Tetapi hubungan mertua dengan cucunya sangat intim dan manja, kadang-kadang lebih dari anaknya sendiri. Maka banyak orang-orang generasi sekarang, tidak mau anaknya tinggal bersama kakek atau neneknya. Karena terlalu dimanja menyebabkan si anak tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya
yang murni. Seorang menantu biasanya lebih akrab dengan adik iparnya yang lebih kecil. Adik ipar menjadi perantara antara menantu dengan mertua, bila istrinya tidak ada di rumah.
Mungkin menantunya ingin meminta sesuatu atau menyampaikan masalah penting.
Anak biasanya lebih akrab dengan pihak saudara-saudara ibunya, walau saudara-saudara dari ayahnya yang bertanggungjawab, apabila ayahnya meninggal. Keadaan di Gayo, dengan kerabat pihak ayah tetap lebih akrab.
Hubungan kekerabatan yang sudah agak jauh, baik pihak istri maupun pihak suami (laki-laki) tidak begitu terbatas seperti antara menantu dengan mertua, asal tidak mengeluarkan kata-kata yang kotor. Menegur seseorang dengan hormat, tidak boleh bersenda gurau atau tertawa terbahak-bahak. (Sumber: Sejarah Aceh)
Bab Sejarah Aceh - Episode: Berdirinya Kerajaan Samudra Pasee
Sebelum berdiri Kerajaan Islam Samudra/Pase, didaerah itu telah berdiri
kerajaan-kerajaan kecil, yang dipimpin oleh raja yang bergelar
"Meurah", seperti negeri Jeumpa, Samudra, Tanoh Data, dll. Dalam tahun
433 H . (1042 M.), datanglah kenegeri Tanoh Data (kira-kira sekitar
Cot girek sekarang) Meurah Khair, salah seorang dari keluarga Sulthan
Mahmud Peureulak, untuk mengembangkan Islam dan membangun Kerajaan Islam
Samudra/Pase dimana beliau diangkat menjadi rajanya yang pertama,
dengan gelar Maharaja Mahmud Syah, dan disebut juga Meurah Giri, 433-470
H. (1042- 1078 M).
Untuk
menyaksikan perkembangan Islam dalam Kerajaan Islam Pase/Samudra, pada
tahun 560 H . (1166 M.) datanglah seorang Ulama Besar dari Mekkah, Syekh
Abdullah Arif, dan sebagai kenang-kenangan oleh Ulama Besar tersebut
diberi gelar Sulthan Al Kamil kepada Maharaja Nurdin atau Meurah Nur.
Dalam masa Sulthan Al Kamil ini telah banyak datang tokoh-tokoh
pemimpin/ ulama dari Malabar dan Sarkasih. Salah seorang diantaranya
telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Kerajaan, yaitu Qaidul
Mujahidin Maulana Naina bin Naina A l Malabary, wafat Syawal 623 H .
(1226-M.), makamnya di Meunasah Ple Geudung, yang terkenal dengan nama
"Kubur Teungku Cot Mamplam".
Seorang
lagi Ulama yang diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Sulthan Alkamil,
yaitu Quthbulma'aly Abdurrahman A l Pasy, wafat bulan Zulqa'idah 610 H .
(1213 M.), dikebumikan di Geudung dan terkenal dengan nama "Kubur
Teungku di Iboh". Seorang lagi ulama besar bernama (Syekh Ja'kub Blang
Raya, menjadi pembesar kerajaan, seorang Muballigh dan ahli pikir. Wafat
Muharram 630 H . (1233 M.), dimakamkan di Blang Perija Geudung,
terkenal dengan "Kubur Teungku Jirat Raya". Pada waktu Pemerintahan
Sulthan Malikussaleh, telah datang ke Samudra Pase perutusan dari Syarif
Mekkah, yang diketuai oleh Syekh Ismail Al Zarfy, dimana didapatinya
Kerajaan Islam telah mempunyai lembaga-lembaga Negara yang teratur
dengan Angkatan Perang, Laut dan Darat yang kuat, antara lain
didapatinya:
1. Lembaga kabinet yang menjadi perdana menterinya Sri Kaya Said Khiatuddin,
2. Lembaga Mahkamah Agung, yang menjadi Mufti Besarnya (Syaikhul Islam)
Said Ali bin Ali Al Makarany,
3. Lembaga Kementerian Luar Negeri yang menjadi menterinya Bawa Kaya Ali
Hisamuddin Al Malabary.
Didapatinya
juga yang berpengaruh dalam pemerintahan yaitu golongan Ahlussunnah
dengan mashab Syafi'i. Dalam masa pemerintahan Sulthan Muhammad Malikud
Dhahir (688-725 H.), digabungkan Kerajaan Islam Peureulak dengan
Kerajaan Islam Samudra/Pase. Dan dalam masa pemerintahan Sulthan Ahmad
Malikud Dhahir, Kerajaan Beunua (Tamieng) digabungkan pula dengan
Kerajaan Samudra Pase. Dalam masa pemerintahan Sulthan Zainul Abidin
Malikud Dhahir (750-796 H).
Kerajaan Mojopahit menyerang Pase dibawah
pimpinan panglima Patih Nala, dengan bekerja sama dengan kerajaan Siam,
dimana dengan tipu daya yang licik utusan Raja Siam menculik Sulthan
Zainul Abidin. Karena tidak tahan peperangan gerilya yang dilakukan
rakyat/tentera, akhirnya balatentara Majapahit terpaksa meninggalkan
Pase, dengan membawa sejumlah tawanan, tawanan mana kemudian menjadi
pembawa Islam pertama kepulau Jawa. Daiam Zaman Pemerintahan Ratu
Nihrasiyah (801-831 H.), berkembang-suburlah paham Thariqat Wujudiyah
(mystic) yang bercabang dari gerakan Syi'ah.
Hal
ini tersebab karena Ratu telah mengangkat seorang tokoh terkemuka dari
gerakan Thariqat Wujudiyah menjadi Mangkubumi (Perdana Menteri), seorang
yang kejam yang telah menyuruh bunuh lebih 40 orang ulama-ulama
Ahlussunnah, dengan dalih karena mencegah dia memperisterikan
anak-kandungnya sendiri, Puteri Madoong Periya. Mangkubumi pemuka
Thariqat Wujudiyah ini kemudian dibunuh oleh Malik Mustafa, suami Ratu
Nihrasiyah.
Adapun silsilah dari Raja-raja Samudra Pase, yaitu
- Maharaja Mahmud Syah (Meurah Giri), 433-470 H. (1042-1078M.),
- Maharaja Mansur Syah, 470-527 H . (1078-1133 M.),
- Maharaja Khiyasyuddin Syah, 527-550 H. (1133-1155 M.),
- Maharaja Nurdin Sulthan A l Kamil, 550-607 H . (1155-1210 M.),
- Sulthan Malikus Salih, 659-688 H. (1261-1289 M.),
- Sulthan Muhammad Malikud Dhahir, 688-725 H . (1289-1326 M.)
- Sulthan Ahmad Malikud Dhahir, 725-750 H . (1326-1350 M.),
- Sulthan Zainulabidin Malikud Dhahir, 750-796 H. (1350-1394 M.),
- Malikah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, 801-831 H. (1400-1427 M).
Setelah
terbunuh Sulthan Zainul abidin Malikud Dhahir, pemerintahan dijalankan
oleh Maharaja Nagur Rabath Abdulkadir Syah selama empat tahun (sampai
tahun 801 H.), kemudian diapun terbunuh. Menurut Muhammad Said, setelah
Nihrasiyah masih ada beberapa orang raja lagi, dan yang terakhir Sulthan
Abdullah, meninggal tahun 1513 M. Dari catatan-catatan sejarah, kita
dapat mengambil kesimpulan, bahwa Kerajaan Islam Samudra Pase telah
pernah mempunyai tamaddun dan kebudayaan yang tinggi, antara lain dapat
dibuktikan dengan :
1. 1.Telah
mempunyai pemerintahan dan lembaga-lembaga negara yang teratur,
perekonomian dan keuangan yang setabil, perdagangan yang maju,
lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yangberkembang, angkatan perang yang
kuat dan hubungan luar negeri yang teratur, mata uang sendiri.
2. 2 Tentang kemajuan dan teraturnya Kerajaan Islam Samudra Pase, ibnu
Bathuthah yang dua kali singgah di Samudra Pase dalam perjalanan pergi
dan pulang dari negeri Cina, melukiskan dalam bukunya betapa tinggi
sudah kebudayaan Islam dalam Kerajaan tersebut, dimana beliau
menceriterakan tentang rajanya yang alim, bijaksana, berani dan cinta
kepada ulama; menterimenterinya yang arif budiman, ulama-ulama yang
salih dan jujur, keprotokolan yang sempurna, tatacara dan susunan
pemerintahan yang teratur, angkatan perang yang kuat, kemakmuran merata,
keadilan menyeluruh, kapal-kapal dagang yang melayari segala penjuru
samudra dan sebagainya. (Sumber: http://atjehpedia.org
Bab Sejarah Aceh - Episode: Kerajaan Aceh Darussalam
A. Latar Belakang Berdirinya
Salah satu dari sederetan nama kerajaan Islam terbesar di Indonesia ialah kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini berdiri pada tanggal 12 Zulqaidah tahun 916 H /1511 M. bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Sebenarnya tatkala orang-orang Portugis mulai menginjakkan kaki di Malaka awal abad ke-16, Aceh masih merupakan kerajaan taklukan kerajaan Pidie, yang terletak di Sumatera Utara , akan tetapi berkat jasa Sultan Ali Mughiyat Syah Aceh akhirnya mampu melepaskan diri dari pengaruh Pidie dan menjadi kerajaan yang berdaulat penuh dan bahkan pada babak berikutnya Acehlah yang kemudian menjadi sentral kekuasaan di wilayah Sumatera Utara tersebut: Pasai, Daya termasuk pula Pidie yang dulunya menjadi kerajaan atasan Aceh.
Karena keberhasilannya, melepaskan Aceh dari pengaruh Pidie. maka Sultan Ali Mughiyah Syah yang juga terkenal dengan sebutan Sul tan Ibrahim menjadi penguasa pertama (1514-1528 M.) sekaligus sebagai pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Di bawah kepemimpinannya, Aceh terus melaju ke arah sukses yang semakin gemilang; baik dibidang konsolidasi politik, ekonomi atau ekspansi (perluasan wilayah). Dalam menjalankan ekspansinya, disamping bermotifkan politis, ekonomi juga tidak bisa dipungkiri adanya motif agama. Hal ini dapat dilihat ketika kerajaan yang baru keluar dari embrionya itu mengadakan penyerbuan ke Pidie vang telah bekerja sama dengan Portugis (non-Muslim).
Sepeninggal Sultan Ali Mughiyat Syah, jalannya pemerintahan dilanjutkan oleh Sultan Alauddin Ri'ayat Syah. Pada masanya ekspansi terus dilaksanakan sebagaimana pendahulunya. Untuk meluaskan wilayahnya ke Barus ia mengutus suami saudara perempuannya yang kemudian oleh Sultan diangkat sebagai Sultan Barus.
Setelah Sultan Alauddin Ri'ayat meninggal dunia, ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Husein. Padahal sebelumnya dua orang putranya yang lain masing-masing telah diangkat sebagai Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan sebutan Sultan Ghari dan Sultan Mughal sehingga tampilnya Sultan Husein menggantikan ayahnya itu menimbulkan rasa cemburu dan tidak suka saudara-saudaranya yang berkedudukan di Aru ataupun di Pariaman. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Sultan yang berkedudukan di Barus. Sebagai akibatnya maka terjadilah perlawanan dan ketiga Sultan tersebut terhadap Sultan Husein. Dalam pertempuran itu Sultan Husein gugur, demikian pula Sultan Aru. Sehingga yang tinggal hanyalah Sultan Panaman.
Semenjak kematian Sultan Alauddin kemudian diganti oleh sultan-sultan berikutnya, Aceh mengalami kemunduran; banyak daerah yang tadinya berada dibawah pengaruhnya meiepaskan diri akibat kurang intensifnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh sultan-sultan pengganti Alauddin dan pengaruh penetrasi Portugis. Baru setelah Sultan Iskandar Muda tampil sebagai penguasa Aceh keadaan bisa pulih seperti sedia kala, bahkan lebih memperluas lagi daerah taklukannya.
Salah satu dari sederetan nama kerajaan Islam terbesar di Indonesia ialah kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini berdiri pada tanggal 12 Zulqaidah tahun 916 H /1511 M. bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Sebenarnya tatkala orang-orang Portugis mulai menginjakkan kaki di Malaka awal abad ke-16, Aceh masih merupakan kerajaan taklukan kerajaan Pidie, yang terletak di Sumatera Utara , akan tetapi berkat jasa Sultan Ali Mughiyat Syah Aceh akhirnya mampu melepaskan diri dari pengaruh Pidie dan menjadi kerajaan yang berdaulat penuh dan bahkan pada babak berikutnya Acehlah yang kemudian menjadi sentral kekuasaan di wilayah Sumatera Utara tersebut: Pasai, Daya termasuk pula Pidie yang dulunya menjadi kerajaan atasan Aceh.
Karena keberhasilannya, melepaskan Aceh dari pengaruh Pidie. maka Sultan Ali Mughiyah Syah yang juga terkenal dengan sebutan Sul tan Ibrahim menjadi penguasa pertama (1514-1528 M.) sekaligus sebagai pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Di bawah kepemimpinannya, Aceh terus melaju ke arah sukses yang semakin gemilang; baik dibidang konsolidasi politik, ekonomi atau ekspansi (perluasan wilayah). Dalam menjalankan ekspansinya, disamping bermotifkan politis, ekonomi juga tidak bisa dipungkiri adanya motif agama. Hal ini dapat dilihat ketika kerajaan yang baru keluar dari embrionya itu mengadakan penyerbuan ke Pidie vang telah bekerja sama dengan Portugis (non-Muslim).
Sepeninggal Sultan Ali Mughiyat Syah, jalannya pemerintahan dilanjutkan oleh Sultan Alauddin Ri'ayat Syah. Pada masanya ekspansi terus dilaksanakan sebagaimana pendahulunya. Untuk meluaskan wilayahnya ke Barus ia mengutus suami saudara perempuannya yang kemudian oleh Sultan diangkat sebagai Sultan Barus.
Setelah Sultan Alauddin Ri'ayat meninggal dunia, ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Husein. Padahal sebelumnya dua orang putranya yang lain masing-masing telah diangkat sebagai Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan sebutan Sultan Ghari dan Sultan Mughal sehingga tampilnya Sultan Husein menggantikan ayahnya itu menimbulkan rasa cemburu dan tidak suka saudara-saudaranya yang berkedudukan di Aru ataupun di Pariaman. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Sultan yang berkedudukan di Barus. Sebagai akibatnya maka terjadilah perlawanan dan ketiga Sultan tersebut terhadap Sultan Husein. Dalam pertempuran itu Sultan Husein gugur, demikian pula Sultan Aru. Sehingga yang tinggal hanyalah Sultan Panaman.
Semenjak kematian Sultan Alauddin kemudian diganti oleh sultan-sultan berikutnya, Aceh mengalami kemunduran; banyak daerah yang tadinya berada dibawah pengaruhnya meiepaskan diri akibat kurang intensifnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh sultan-sultan pengganti Alauddin dan pengaruh penetrasi Portugis. Baru setelah Sultan Iskandar Muda tampil sebagai penguasa Aceh keadaan bisa pulih seperti sedia kala, bahkan lebih memperluas lagi daerah taklukannya.
B. Masa Kejayaannya
Setelah sekian lama Aceh Darussalam tampil di pentas kesejarahanNasional dan setelah matang dengan berbagai ujian sejarah (secara alamiah) maka sampailah ia pada suatu masa yang membuat orang merasa silau memandangnya atau menaruh hormat oleh karenanya. Itulah masa keemasan; masa kejayaan yang merupakan buah perjuangan dari titian roda sejarah.
Adalah Sultan Iskandar Muda yang telah menghantarkan Aceh Darussalam kebabak kegemilangannya sekaligus mengembalikan daerah-daerah yang telah meiepaskan diri dari pengaruh Aceh akibat pertikaian antar pewaris tahta sepeninggal Sultan Alauddin Ri'ayat Syah di akhir abad ke-16 Masehi serta adanya serangan Portugis yang berkedudukan di Malaka.
Tampilnya Sultan Iskandar Muda (1607 - 1638 M.) menandai aktifnya kembali Aceh, terutama dalam usaha membendung penetrasi dan campur tangan pedagang asing. Dalam upaya ia menempuh jalan mempersulit dan memperketat perijinan bagi pedagang asing yang hendak mengadakan kontak dengan Aceh. Ia hanya memberi kesempatan salah satu nama yang lebih menguntungkan raja antara Inggris dan Belanda. Pernah ia memperkenankan kemudian Belanda untuk berdagang di Tiku, Pariaman dan Barus tetapi hanya berjalan masing-masing dua tahunan.
Sultan Iskandar Muda, yang memerintah hampir 30 tahun lamanya, disamping telah berhasil menekan arus perdagangan yang dijalankan oleh orang Eropa juga telah mampu membenahi dan mengadakan konsulidasi di berbagai sektor; baik ekonomi, politik, sosial budaya dan kehidupan beragama.
Di bidang politik misalnya, ia telah behasil mempersatukan seluruh lapisan masyarakat, yang disebut dengan kaum; seperti kaum Lhoe Reotoih (kaum Tigaratus), kaum Tok Batee (orang-orang Asia), kaum orang Mante, Batak Karo, Arab, Persia dan Turki, kaum Ja sandang (orang-orang mindi) dan kaum Imam peucut (Imam Empat). Begitu pula pada masanya telah tersusun sebuah Undang-undang tentang tata pemerintahan yang diberi nama Adat Makuta Alam; hukum adat ini didasarkan pada hukum Syara.
Dibukanya Bandar Aceh menjadi Pelabuhan Internasional merupakan langkahnya yang progresif dalam upaya memakmurkan perekonomian negeri, sebab dengan open sistem tersebut segala hasil kekayaan Aceh, terutama lada, bisa secara mudah memperoleh pasaran walaupun pada akhirnya menjadi bumerang bagi Aceh itu sendiri.
Setelah sekian lama Aceh Darussalam tampil di pentas kesejarahanNasional dan setelah matang dengan berbagai ujian sejarah (secara alamiah) maka sampailah ia pada suatu masa yang membuat orang merasa silau memandangnya atau menaruh hormat oleh karenanya. Itulah masa keemasan; masa kejayaan yang merupakan buah perjuangan dari titian roda sejarah.
Adalah Sultan Iskandar Muda yang telah menghantarkan Aceh Darussalam kebabak kegemilangannya sekaligus mengembalikan daerah-daerah yang telah meiepaskan diri dari pengaruh Aceh akibat pertikaian antar pewaris tahta sepeninggal Sultan Alauddin Ri'ayat Syah di akhir abad ke-16 Masehi serta adanya serangan Portugis yang berkedudukan di Malaka.
Tampilnya Sultan Iskandar Muda (1607 - 1638 M.) menandai aktifnya kembali Aceh, terutama dalam usaha membendung penetrasi dan campur tangan pedagang asing. Dalam upaya ia menempuh jalan mempersulit dan memperketat perijinan bagi pedagang asing yang hendak mengadakan kontak dengan Aceh. Ia hanya memberi kesempatan salah satu nama yang lebih menguntungkan raja antara Inggris dan Belanda. Pernah ia memperkenankan kemudian Belanda untuk berdagang di Tiku, Pariaman dan Barus tetapi hanya berjalan masing-masing dua tahunan.
Sultan Iskandar Muda, yang memerintah hampir 30 tahun lamanya, disamping telah berhasil menekan arus perdagangan yang dijalankan oleh orang Eropa juga telah mampu membenahi dan mengadakan konsulidasi di berbagai sektor; baik ekonomi, politik, sosial budaya dan kehidupan beragama.
Di bidang politik misalnya, ia telah behasil mempersatukan seluruh lapisan masyarakat, yang disebut dengan kaum; seperti kaum Lhoe Reotoih (kaum Tigaratus), kaum Tok Batee (orang-orang Asia), kaum orang Mante, Batak Karo, Arab, Persia dan Turki, kaum Ja sandang (orang-orang mindi) dan kaum Imam peucut (Imam Empat). Begitu pula pada masanya telah tersusun sebuah Undang-undang tentang tata pemerintahan yang diberi nama Adat Makuta Alam; hukum adat ini didasarkan pada hukum Syara.
Dibukanya Bandar Aceh menjadi Pelabuhan Internasional merupakan langkahnya yang progresif dalam upaya memakmurkan perekonomian negeri, sebab dengan open sistem tersebut segala hasil kekayaan Aceh, terutama lada, bisa secara mudah memperoleh pasaran walaupun pada akhirnya menjadi bumerang bagi Aceh itu sendiri.
Di sisi lain kemajuan telah diperoleh oleh Aceh dalam bidang ilmu pengetahuan dan keagamaan. B. Schiere dalam bukunya "Indonesian Sociological Studies" mengatakan : 'Aceh adalah pusat perdagangan Muslim India dan ahli fikirnya (kaum cendediawan dan ulama-ulama) berkumpul sehingga Aceh menjadi pusat kegiatan studi Islam.
Lembaga-lembaga kajian ilmiah tersebut terdiri atas :
1. Balai Sertia Ulama' (jawatan pendidikan)
2. Balai Jama'ah Himpunan Ulama' yang merupakan studi club yang
beranggotakan para ahli agama.
3. Balai Sertia Hukama' (Lembaga Pengembangan Ilmu Pengetahuan).
Adapun lembaga pendidikan yang terdapat di sana, meliputi :
1. Meunasah (Ibtidaiyah)
2.
Kangkang (Tsanawiyah), untuk tingkat ini belajarnya di masjid dan yang
dipelajari adalah kitab-kitab Ilmu Hisab, Al-Qur'an, Ilmu Falaq,Fiqih
dan Hadits.
3. Daya (Aliyah), tingkat ini berpusat di masjid-masjid besar.
4. Daya Teuku Cik (Perguruan Tmggi), di sini diajarkan Tafsir, Tasauf dan lain sebagainya.
Ilmu Tasauf (mistisisme) adalah salah satu kajian keagamaan yang mendapat perhatian oleh Pihak Sultan sehingga pada masanya tercatat banyak ahli sufi, diantaranva: Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri. Untuk yang terakhir ini kurang mendapat simpati dari Sultan Iskandar Muda.
Dapat dibayangkan betapa gemilang Aceh Darussalam di masa keemasan yang dibimbing dan diarahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Ini merupakan suatu indikasi betapa suatu usaha itu bila diupayakan dengan segenap perhatian dan keseriusan akan membuahkan hasil yang cukup gemilang. Maka wajar jika Aceh saat itu menjadi batu sandungan bagi imperium Barat yang berusaha mencengkeram seluruh wilayah Nusantara secara utuh ; baik itu Belanda, Inggns maupun Portugis.
Sungguh sangat disayangkan, diakhir masa jabatannya, ketetapan sistem yang pernah ia berlakukan terhadap pedagang-pedagang asing (dalam hal ini Belanda) itu terpaksa menjadi longgar karena kekalahan yang didentanya ketika mengadakan serangan ke Malaka pada tahun 1629 akibatnya ia menjalin hubungan dengan Belanda sebagai mitra kerja menghadapi Portugis di Malaka.
Ilmu Tasauf (mistisisme) adalah salah satu kajian keagamaan yang mendapat perhatian oleh Pihak Sultan sehingga pada masanya tercatat banyak ahli sufi, diantaranva: Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri. Untuk yang terakhir ini kurang mendapat simpati dari Sultan Iskandar Muda.
Dapat dibayangkan betapa gemilang Aceh Darussalam di masa keemasan yang dibimbing dan diarahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Ini merupakan suatu indikasi betapa suatu usaha itu bila diupayakan dengan segenap perhatian dan keseriusan akan membuahkan hasil yang cukup gemilang. Maka wajar jika Aceh saat itu menjadi batu sandungan bagi imperium Barat yang berusaha mencengkeram seluruh wilayah Nusantara secara utuh ; baik itu Belanda, Inggns maupun Portugis.
Sungguh sangat disayangkan, diakhir masa jabatannya, ketetapan sistem yang pernah ia berlakukan terhadap pedagang-pedagang asing (dalam hal ini Belanda) itu terpaksa menjadi longgar karena kekalahan yang didentanya ketika mengadakan serangan ke Malaka pada tahun 1629 akibatnya ia menjalin hubungan dengan Belanda sebagai mitra kerja menghadapi Portugis di Malaka.
C. Masa Kemunduran
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia pada tahun 1636 ia digantikan seorang menantunya, Sultan Iskandar Tsani yang memerintah selama kurang lebih 5 tahun yaitu sejak 1636-1641. Sultan Aceh pengganti Sultan Iskandar Muda ini mempunyai sikap yang berbeda sama sekali dengan sultan sebelumnya dalam menanggapi kaum Kolonialis. Ia sangat lunak dan kompromistis, baik terhadap Belanda, Inggris ataupun Portugis. Ini berbeda dengan sikap Sultan Iskandar Muda vang begitu ketat terhadap orang asing.
Semenjak Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Tsani, tandatanda kemunduran mulai tampak. Hal ini disebabkan oleh adanya campur tangan orang asing yang mendapat kesempatan dari sultan secara longgar. Kemunduran Aceh ini semakin terasa setelah Sultan Iskandar Tsani wafat dan digantikan isterinya, Sultanah Tajul Alam Syafituddin Syah, yang memerintah pada tahun 1641-1675. Roda pemerintahan yang dulu begitu kokoh kini nampak ringkih dan goyah. Wilayah Aceh yang meliputi daerah-daerah tidak dapat lagi dikuasai oleh Sultanah sehingga Nampak seolah-olah tidak ada lagi kekuatan untuk mempertahankannya. Banyak daerah bawahan yang melepaskan diri dari kekuasaan Aceh.
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia pada tahun 1636 ia digantikan seorang menantunya, Sultan Iskandar Tsani yang memerintah selama kurang lebih 5 tahun yaitu sejak 1636-1641. Sultan Aceh pengganti Sultan Iskandar Muda ini mempunyai sikap yang berbeda sama sekali dengan sultan sebelumnya dalam menanggapi kaum Kolonialis. Ia sangat lunak dan kompromistis, baik terhadap Belanda, Inggris ataupun Portugis. Ini berbeda dengan sikap Sultan Iskandar Muda vang begitu ketat terhadap orang asing.
Semenjak Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Tsani, tandatanda kemunduran mulai tampak. Hal ini disebabkan oleh adanya campur tangan orang asing yang mendapat kesempatan dari sultan secara longgar. Kemunduran Aceh ini semakin terasa setelah Sultan Iskandar Tsani wafat dan digantikan isterinya, Sultanah Tajul Alam Syafituddin Syah, yang memerintah pada tahun 1641-1675. Roda pemerintahan yang dulu begitu kokoh kini nampak ringkih dan goyah. Wilayah Aceh yang meliputi daerah-daerah tidak dapat lagi dikuasai oleh Sultanah sehingga Nampak seolah-olah tidak ada lagi kekuatan untuk mempertahankannya. Banyak daerah bawahan yang melepaskan diri dari kekuasaan Aceh.
Demikian halnya dalam masalah ekonomi yang kian terasa tidak stabil akibat ulah pedagang-pedagang asing yang kian terasa kuasanya dan sudah mulai menerapkan politik adu dombanya. Sementara situasi dalam negeri sudah nampak tidak sehat karena para kapitalis semakin meraja lela dalam penguasaan di bidang materi tanpa ambil peduli suasana perekonomian kerajaan yang sedang dilanda resesi berat. Terpaksa Sultanah mengambil tindakan menjalin kerja sama dengan Belanda. Langkah ini dilakukan semata-mata untuk mempertahankan Aceh dari gilasan dan serbuan kaum Kolonialis sebagaimana yang terjadi di Malaka. Dasar niat untuk memonopoli sudah bersarang di hati Belanda semenjak mereka menginjakkan kakinya di bumi Nusantara ini, maka sikap Sultanah tersebut dijadikan suatu momentum untuk lebih menancapkan cengkeraman kuku imperialismenya. hal ini terbukti dengan berbagai fasilitas dan kesempatan yang diberikan kepada mereka. maka akhirnya Belanda mendirikan kantor Dagang mereka di Padang dan Salida.
Walaupun tindakan Belanda itu telah diperingatkan oleh Sultanah, namun rupanya mereka sudah tidak menghiraukan.Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin Syah wafat tahun 1675 dan digantikan oleh sultan wanita Nurul Alam Nakiatuddin (tak jelas asalusulnya) yang memerintah mulai tahun 1675-1678. Kehadirannya tak juga bisa mengentaskan kerajaan dari berbagai kemelut yang ada. Begitu pula ketika digantikan oleh puterinya Raja Sertia, Aceh tetap dirundung kemelut yang berkepanjangan.
Baru setelah ulama-ulama dan tokoh masyarakat Aceh melancarkan perlawanan terhadap kompeni pada tahun 1873-1904, seperti Habib Abdurrahman, Teuku Umar dan ïsterinya, Cik Di Tiro. Panglima Polim dan lain-lain, Aceh naik lagi kharismanya. Ada dua faktor penting yang mengakibatkan kemunduran kerajaanAceh Darussalam: masing-masing faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern, yang pertama diakibatkan oleh lemahnya sultan-sultan pengganti Sultan Iskandar Muda dalam mengendalikan jalannya pemerintahan, yang menjadi sebab lepasnya daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh Aceh dan berusaha berdiri sendiri-sendin sehingga lebih memudahkan pihak luar untuk memecah belah persatuan.
Kedua,
banyaknya kaum kapitalis dalam negeri yang tidak pedulikan lagi
kesulitan-kesulitan yang dialami oleh kerajaan terutama di bidang
ekonomi akibat dan sistem perekonomian yang diterapkan kaum kolonial.
Kenyataan ini kemudian menyeret Aceh mengambil sikap kompromi dengan
Kompeni.
Faktor ekstern, adanya campur tangan orang-orang Asing ; baik secara langsung atau tidak langsung. Kenyataan ini berawal dari kegagalan Aceh menyerang Portugis yang berkedudukan di Malaka pada masa akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sebagi akibatnya ia terpaksa memberi kelonggaran kepada Belanda untuk berdagang di wilayah Aceh karena telah membantunya dalam pen\ erangan Malaka. Campur tangan ini berlanjut terus tanpa bisa ditolaknya oleh pewaris-pewaris tahta berikutnya sampai pada akhirnya Aceh minta perlindungan kepada Kompeni.
Faktor ekstern, adanya campur tangan orang-orang Asing ; baik secara langsung atau tidak langsung. Kenyataan ini berawal dari kegagalan Aceh menyerang Portugis yang berkedudukan di Malaka pada masa akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sebagi akibatnya ia terpaksa memberi kelonggaran kepada Belanda untuk berdagang di wilayah Aceh karena telah membantunya dalam pen\ erangan Malaka. Campur tangan ini berlanjut terus tanpa bisa ditolaknya oleh pewaris-pewaris tahta berikutnya sampai pada akhirnya Aceh minta perlindungan kepada Kompeni.
D. Sistem Politiknya
Berbicara mengenai sistem politik di kerajaan Aceh Darussalam bisa diklasifïkasikan, paling tidak menjadi dua; periode sebelum Sultan Iskandar Muda (1514-1607) dan periode semenjak bertahtanya ke belakang. Untuk periode awal, sebelum Iskandar Muda sistem perpolitikan Aceh Darussalam masih belum terorganisir secara baik dan rapih mengingat kondisinya baru saja terlepas dari pengaruh Pidie sehingga konsentrasi lebih tercurahkan untuk pembenahan militer dalam upaya mempertahankan keberadaannya dari berbagai kemungkinan bahaya yang datang dari dalam maupun dari luar (termasuk pengaruh Kolonialis).
Berbicara mengenai sistem politik di kerajaan Aceh Darussalam bisa diklasifïkasikan, paling tidak menjadi dua; periode sebelum Sultan Iskandar Muda (1514-1607) dan periode semenjak bertahtanya ke belakang. Untuk periode awal, sebelum Iskandar Muda sistem perpolitikan Aceh Darussalam masih belum terorganisir secara baik dan rapih mengingat kondisinya baru saja terlepas dari pengaruh Pidie sehingga konsentrasi lebih tercurahkan untuk pembenahan militer dalam upaya mempertahankan keberadaannya dari berbagai kemungkinan bahaya yang datang dari dalam maupun dari luar (termasuk pengaruh Kolonialis).
Disamping itu usaha ekspansi terus dilakukan untuk memperluas wilayah. Berbeda halnya ketika Sultan Iskandar Muda menduduki tahta kesultanan Aceh, beliau disamping menjalankan ekspansi juga begitu antusias untuk menata rapih sistem politk, terutama yang berkaitan dengan konsulidasi atau pemantapan wilayah yang sudah dikuasinya. Langkah ini beliau tempuh mengingat betapa sistem pemerintahan yang mantap dan terkonsulidasi secara seksama akan menciptakan stabilitas yang sehat. Ada dua sistem yang beliau tempuh dalam upaya stabilitas kesultanan Aceh pada saat itu: sistem politik internat (yang menyangkut kepentingan dalam negeri) dan sistem ekstemal (yang berhubungan dengan negeri Asing).
Kaitannya dengan sistem politik internal, pada masanya telah tersusun struktur pemerintahan secara rapi yang secara koordinatif menghubungkan antara pusat dengan daerah-daerah. Wilayah inti kerajaan Aceh (Aceh Raya) terbagi atas wilayah sagoe dan wilayah pusat kerajaan.Tiap sagoe terbagi menjadi beberapa Mukim sagoe XXV mukim (meliputi Aceh Barat). sagoe XXII mukim (berada di bagian Tengah sebelah Selatan) dan sagoe XXVI mukim (terletak di bagian Timur). Masing-masing sagoe terbagi lagi menjadi wilayah vang lebih kecil setingkat distrik.Kemudian masing-masing distrik terbagi atas mukim-mukim (yang dikepalai oleh seorang imam) sedang masing-masing mukim ini terbagi lagi menjadi gampong-gampong (yang dikepalai oleh seorang Keucik).
Tiap-tiap sagoe dikepalai oleh Panglima Sagoe atau sering disebut dengan Hulubalang Besar yang bergelar Teuku sedang untuk masing-masing distrik dikepalai oleh Hulubalang (Uleebalang) yang bergelar Datuk. Para hulubalang, kecuali hulubalang Pusa, mempunyai kekuasaan yang otonom sifatnya; baik dalam mengatur tata pemerintahan wilayahnya sampai kepada pewarisan tahtanya. Sultan disini hanya berfungsi sebagai simbol pemersatu dari masing-masing sagi yang dikepalai langsung oleh para hulubalang.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, sultan dibantu oleh seorang Mangkubumi yang membawahi empat mantri hari-hari (penasihat raja). Disamping itu raja juga dibantu oleh Syahbandaaar untuk mengurusi keuangan istana, Kepala Krueng (dibantu Dawang Krueng)untuk
mengurusi
lalu lintas di muara sungai, Panglima Losot sebagai penarik cukai
barang-barang eksport-import dan Krani sebagai sekretaris istana.
Jabatan-jabatan tinggi istana ini kemudian di abad ke-17 dan ke-18 lebih
disempurnakan lagi, antara lain:
1. Hulubalang Rama Setia, sebagai Pengawal Pribadi Istana
2. Kerkum Katib al-Muluk, Sekretaris Istana
3. Raja Udah na Laila, sebagai Kepala bendaharawan istana dan perpajakan
4. Sri Maharaja Laila, sebagai Kepada Kepolisian; dan
5. Laksamana Panglima Paduka Sirana, sebagai Penvakapan.
Sistem pergantian raja di Aceh pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem di kerajaan-kerajaan lain. Hanya saja di Aceh sistemnya agak longgar, artinya tidak selalu terikat pada putra laki-laki saja tetapi wanita, kemenakan atau istri raja yang meninggal pun bisa. Sedangkan sistem politik yang bersifat eksternal ( yang berkenaan dengan orang-orang Asing ), beliau mengambil jalan keras dan mengadakan pengetatan terhadap mereka. Sayangnya pewaris istana sesudah beliau tidak lagi menempuh jalan yang beliau terapkan, mereka cenderung lebih bersifat kompromistis mungkin langkah ini mereka tempuh karena terpaksa.
Sistem pergantian raja di Aceh pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem di kerajaan-kerajaan lain. Hanya saja di Aceh sistemnya agak longgar, artinya tidak selalu terikat pada putra laki-laki saja tetapi wanita, kemenakan atau istri raja yang meninggal pun bisa. Sedangkan sistem politik yang bersifat eksternal ( yang berkenaan dengan orang-orang Asing ), beliau mengambil jalan keras dan mengadakan pengetatan terhadap mereka. Sayangnya pewaris istana sesudah beliau tidak lagi menempuh jalan yang beliau terapkan, mereka cenderung lebih bersifat kompromistis mungkin langkah ini mereka tempuh karena terpaksa.
E. Partisipasi dan Peran serta Ulama
Ulama, di kerajaan Aceh, mempunyai posisi yang sangat terhormat. Hal ini terjadi karena disamping kerajaan yang berpusat di Banda Aceh itu memakai Islam sebagai landasan geraknya, juga disebabkan adanya perhatian yang serius dari para raja yang berkuasa di Aceh dalam memandang betapa pentingnya ulama dan ilmu yang dimilikinya untuk mengendalikan (media kontrol) jalannya pemerintahan yang Baidatun thayyibatim wa Rabbun Ghafiir serta mendapat ridla-Nya. Sesuai dengan Firman Allah : atau hadits Nabi v ang menyatakan bahwa terdapat dua golongan yang apabila keduanya baik maka menjadi baik pula manusia, akan tetapi apabila keduanya rusak maka rusaklah manusia, mereka itulah ulama dan umara' (pemerintah).
Suatu bukti bahwa kerajaan memberikan perhatian yang lebih terhadap keberadaan ulama. yaitu dengan ditempatkannya ulama pada posisi teras kerajaan; baik sebagai Mangkubumi atau pejabat lainnya. Mungkin masih segar dalam ingatan kita dari sederetan pahlawanpahlawan Nasional yang berasal dari Propinsi Aceh, seperti Habib Abdurrahman, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Panglima Polim, Cik Di Tiro, mereka secara keseluruhan adalah pejabat-pejabat teras kerajaan, ada yang sebagai Mangkubumi seperti Habib Abdurrahman, sebagai Kepala sagi (Hulubalang Besar) seperti Teuku Umar dan sebagainya.
Disinyalir bahwa terdapat suatu wilayah di Aceh yang secara khusus diserahkan pengelolaan dan penguasaannya kepada ulama, yaitu Masjid Raya dan sekitarnya. Di sana Sultan tidak memerintah langsung tetapi dilimpahkan kepada Hakim tertinggi kerajaan Teuku Kadli Malikul Adil dan Panglima Masjid Raja. Ini menunjukkan betapa besar perhatian kerajaan terhadap keberadaan ulama. Indikasi lain yang bisa kita jadikan titik pandang untuk melihat peran ulama di Aceh Darussalam. ïalah adanya lembaga-Iembaga yang sengaja diberi restu oleh sultan untuk menghimpun para ulama dalam mendiskusikan berbagai masalah keagamaan, seperti Balai Jama'ah Himpunan Ulama dan Balai Setia Hukama'.
Dari uaraian di atas, maka jelaslah bahwa peranan dan partisipasi ulama sangat intensif sehingga wajar apabila di Aceh, kota Serambi Mekkah, ini muncul ulama-ulama besar dengan berbagai karya ilmiahnya yang berbobot, seperti: Hamzah Fansuri, Nurrddin ar-Raniri, Syamsuddin as-Sumantrani dan Abdur Rauf as-Singkili.
Ulama, di kerajaan Aceh, mempunyai posisi yang sangat terhormat. Hal ini terjadi karena disamping kerajaan yang berpusat di Banda Aceh itu memakai Islam sebagai landasan geraknya, juga disebabkan adanya perhatian yang serius dari para raja yang berkuasa di Aceh dalam memandang betapa pentingnya ulama dan ilmu yang dimilikinya untuk mengendalikan (media kontrol) jalannya pemerintahan yang Baidatun thayyibatim wa Rabbun Ghafiir serta mendapat ridla-Nya. Sesuai dengan Firman Allah : atau hadits Nabi v ang menyatakan bahwa terdapat dua golongan yang apabila keduanya baik maka menjadi baik pula manusia, akan tetapi apabila keduanya rusak maka rusaklah manusia, mereka itulah ulama dan umara' (pemerintah).
Suatu bukti bahwa kerajaan memberikan perhatian yang lebih terhadap keberadaan ulama. yaitu dengan ditempatkannya ulama pada posisi teras kerajaan; baik sebagai Mangkubumi atau pejabat lainnya. Mungkin masih segar dalam ingatan kita dari sederetan pahlawanpahlawan Nasional yang berasal dari Propinsi Aceh, seperti Habib Abdurrahman, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Panglima Polim, Cik Di Tiro, mereka secara keseluruhan adalah pejabat-pejabat teras kerajaan, ada yang sebagai Mangkubumi seperti Habib Abdurrahman, sebagai Kepala sagi (Hulubalang Besar) seperti Teuku Umar dan sebagainya.
Disinyalir bahwa terdapat suatu wilayah di Aceh yang secara khusus diserahkan pengelolaan dan penguasaannya kepada ulama, yaitu Masjid Raya dan sekitarnya. Di sana Sultan tidak memerintah langsung tetapi dilimpahkan kepada Hakim tertinggi kerajaan Teuku Kadli Malikul Adil dan Panglima Masjid Raja. Ini menunjukkan betapa besar perhatian kerajaan terhadap keberadaan ulama. Indikasi lain yang bisa kita jadikan titik pandang untuk melihat peran ulama di Aceh Darussalam. ïalah adanya lembaga-Iembaga yang sengaja diberi restu oleh sultan untuk menghimpun para ulama dalam mendiskusikan berbagai masalah keagamaan, seperti Balai Jama'ah Himpunan Ulama dan Balai Setia Hukama'.
Dari uaraian di atas, maka jelaslah bahwa peranan dan partisipasi ulama sangat intensif sehingga wajar apabila di Aceh, kota Serambi Mekkah, ini muncul ulama-ulama besar dengan berbagai karya ilmiahnya yang berbobot, seperti: Hamzah Fansuri, Nurrddin ar-Raniri, Syamsuddin as-Sumantrani dan Abdur Rauf as-Singkili.
F. Hasil Karya llmiah
Terdapat beberapa karya ilmiah yang telah diciptakan oleh para ulama di Aceh Darussalam, antara lain:
1. Karya Hamzah Fansuri :
a. Syarah al-Asiqin
b. Asrar al-arifien fi bayani 'ilmi al-suluk wa at-tauhid.
c. Ruba'i al-muhaqqiqin
d. Kasyf as-sirri at-tajalli as-subhani
e. Muntahi
f. Miftahu al-asrar dan
g. Sya'ir - sya'irnya : Sya'ir burung pinggai, sya"ir Perahu, sya'ir Sidang Fakir dan sya'ir Dagang.
2. Karya-karya Syamsuddin as-Sumantrani :
a. Mir'atu al-mukminin
b. Mir'atu al-muhaqqiqin
c. Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri
d. Jauhar al-haqa'iq
e. Mir'atu al-imah dan
f. Tanbihu at-tullab fi ma'rifati al-malik al-wahhab
3. Karya-karya Nuruddin ar-Raniri :
a. Asraru al-insan fi ma'rifati ar-ruh wa ar-Rahman
b. Sirat al-Mustaqim
c. Durratu al-Fara'id wa Syarh al-aqa'id
d. Hidayatu al-habib fi at-Targhib wa at-Tartib
e. Bustanu as-Salatin fi Dzikri al-a\\A\alin wa al-Akhirin
f. Nubda'u fi Da wail-Ziil
g. Ma'a Sahabihi
h. Lata'ifu al-Asrar
i. Akhbaru al-Akhirat fi Ahvvali al-Qiyaniah
j . Hillu az-zilli
k. Ma al-Hayat li Ahli al-Mamat
l. Jawahiru al-Ulumi fi Kkasyfi al-Ma'lum
m. Umdatu al-I'tiqad
n. Syifa'u al-Qulub
o. Hujjatu as-Siddiq li Daf'i az-Zindiq
p. Fathu al-Mubin ala al-Mulhidin
q. Kifayatu as-Salah dan
r. Muhimmadatu al-I'tiqadi
4. Karya-karya Abdur-Rauf as-Singkili :
a. Mir'atu at-Tullab fi Tasyri al-Ma'rifata al-Ahkami as-Syari'atili Malik al-Wahhab
b. Kifayatu al-Muhtajin
c. Daqiqu al-Huruf
d. Bayanu Tajalli
e. Umdatu al-Muhtadiin
f. Mavvaiz al-Badi'i (terjemahan)
g. Sya'ir Ma'rifat dan
h. Tafsir al-Qur'an dalam bahasa Melayu (jawi)
Sumber : http://achehlamseujarah.com
Bab Sejarah Aceh - Episode: Kerajaan Samudera Pasai
Ketika Kerajaan Samudera Pasai Menaklukkan Kerajaan Majapahit
Para ahli sejarah mungkin akan menolak pernyataan diatas, karena dalam sejarah tidak pernah terjadi sebuah Kerajaan Islam di Acheh menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang terkenal kemegahan dan kebesarannya itu. Bahkan dalam sejarah, sebagaimana disebutkan ”Kronika Pasai”, bahwa Kerajaan Majapahitlah, dibawah Mahapatih Gadjah Mada yang telah menaklukkan Kerajaan Pasai. Namun jika kita lebih teliti dan jeli, maka akan terungkap sebuah sejarah yang selama ini ditutupi dengan rapi oleh para penjajah dan antek-anteknya untuk mengecilkan peran Kerajaan-Kerajaan Islam di Acheh dalam proses Islamisasi di Nusantara.
Fakta yang akan mengungkap bahwa Kerajaan Islam Pasai-Acheh telah berhasil menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit adalah dengan meneliti dan mengungkap dari mana asal sebenarnya ”Puteri Champa” yang menjadi istri Raden Prabu Barawijaya V, Raja terakhir Kerajaan Hindu Majapahit, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama yang mengakhiri riwayat Kerajaan-Kerajaan Hindu di Jawa.
Banyak ahli sejarah Islam Nusantara yang masih konfius dengan keberadaan Kerajaan ”Champa”, negeri asal ”Puteri Penakluk Kerajaan Jawa-Hindu” yang dianggap memiliki peran penting dan sentral dalam proses Islamisasi Nusantara pada tahap awal, terutama antara kurun abad 13 sampai 15 Masehi. Sehubungan dengan keberadaan ”Champa”, ada dua teori yang beredar. Pertama teori yang didukung oleh para peneliti Belanda, seperti Snouck dan lain-lainnya yang beranggapan bahwa Champa berada di sekitar wilayah Kambodia-Vietnam sekarang. Dengan teorinya ini kemudian mereka menyatakan bahwa Wali Songo yang berperan dalam proses Islamisasi Jawa, menjadikan daerah ini sebagai basis perjuangan Islamisasi Nusantara dengan mengenyampingkan sama sekali peranan Perlak, Pasai dan beberapa Kerajaan di sekitar Acheh dalam Islamisasi Nusantara.
Tentu karena mereka beranggapan bahwa Champa Kambodia-Vietnam adalah wilayah Muslim dan pusat Islam yang jauh lebih maju dan berperadaban dibandingkan dengan beberapa wilayah di Acheh tersebut. Dan anehnya, teori inilah yang sangat populer dan menjadi rujukan para cendekiawan Muslim tanpa mengkritisinya lebih jauh. Namun ada teori lain tentang Champa ini.
Teori yang akan dikemukakan ini, utamanya berdasarkan teori dari Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java. Teori Raffles menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Acheh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”, karena penyebutannya inilah banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah Kambodia dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Acheh. [60]
”Putri Champa” biasanya dihubungkan dengan istri Prabu Brawijaya V yang dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bernama Anarawati (Dwarawati) yang beragama Islam. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang keponakannya yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.[61]
”Sang Putri Penakluk” ini adalah wanita luar biasa. Dia adalah seorang ibu yang tabah, besar hati, penyayang namun mewarisi semangat perjuangan yang tidak kalah dengan Laksamana Malahayati, Tjut Nya’ Dhien, Tjut Mutia dan para wanita pejuang agung Acheh lainnya. Bagaimana tidak, dia harus berpisah jauh dari lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya, tiada handai tolan, hidup dilingkungan masyarakat Jawa-Hindu yang berbeda budaya dan tradisi dengan negeri asalnya, bahkan ada yang menyatakan suaminyapun masih beragama Hindu dalam tradisi Kerajaan Majapahit yang feodalis. Namun karena para Ulama-Pejuang sekelas Maulana Malik Ibrahim atas dukungan para Sultan Muslim menugaskannya berdakwah dengan caranya, wanita agung inipun ikhlas melakoni peran perjuangannya.
Dengan takdir Allah, beliau melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak dikenal dengan Raden Fatah. Demi kelanjutan agamanya, dia rela meninggalkan kegemerlapan istana Majapahit sebagai permaisuri agung untuk memastikan putranya dapat pendidikan terbaik agar menjadi seorang pemimpin Islam di Jawa. Raden Fatah kecil mendapat kasih sayang serta bimbingan ibundanya bersama para Wali yang dipimpin sepupunya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang juga dilahirkan di Kerajaan asal ibunya........
Dari negeri manakah gerangan ”Sang Puteri Penakluk” yang telah sukses gemilang menjalankan tugas agamanya, sebagai seorang ibu pendidik agung (madrasat al-kubra), pejuang suci (mujahidah fi sabilillah), pendakwah Islam (da’i) sekaligus sebagai penyebab (asbab) keruntuhan sebuah dinasti Hindu terbesar yang menjadi lambang keagungan dan kebesaran bangsa Jawa, dengan Mahapatih sadis Gadjah Mada itu.
Tradisi dan peradaban masyarakat model apakah yang telah menjadikannya sebagai seorang wanita pejuang yang rela mengorbankan diri, perasaan dan kemerdekaannya demi kejayaan Islam agamanya. Pendidikan apakah yang diterimanya sehingga berani menerjang medan laga menghadapi benteng super power Majapahit. Dari sisi manapun kita nilai, wanita ini adalah wanita besar, namun terhijab peran agungnya oleh wanita selir Jawa sekelas RA. Kartini, seorang selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh wanita hanya karena bisa bahasa penjajah Belanda dan dekat dengan penjajah kaphe. Siapa Kartini jika disandingkan dengan Ratu Tajul Alam Syafiatuddin, Sultanah Acheh yang memimpin masyarakat kosmopilit Acheh masa itu dan memiliki kekuasaan seluruh Sumatra dan Semenjang Melayu?
Untuk memastikan dimanakah negeri Champa yang telah ditinggali Maulana Malik Ibrahim dan asal saudara iparnya ”Putri Champa Penakluk Majapahit”, maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Acheh maupun Kambodia.
Para ahli sejarah memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada Champa sekitar 13 tahun, antara tahun 1379 sampai dengan 1392.[62] Champa di Kambodia masa itu sedang di perintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir Champa. Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim, atau memang Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia sampai sekarang dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya namun tidak ada masjid. Beliau berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377.
Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho. Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka.[63]
Sementara catatan sejarah menyatakan lain, yang terkenal dengan Sultan Cam atau Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo saja, memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M.
Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.
Jadi Raja Cham ini adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam, dari ibu keturunan Patani-Senggora di Thailand sekarang. Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief Hidayatullah, pengasas Sultan Banten sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat: Syarif Hidayatullah ibni Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas.[64]
Dimana sebenarnya Kerajaan Champa yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Malik Ibrahim, yang menjadi ayah kandung ”Puteri Champa”. Padahal jika dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Malik atau ayah ”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di ”Champa” yang masih misterius itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?.
Inipun masih menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya?. Bahkan ada pula yang mengatakan Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand berdekatan dengan Songkla, yang merujuk daerah Senggora zaman dahulu.[65]
Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Kemboja dan Acheh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim) ditinggalkan di Acheh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”.
Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Acheh dan tentu menikah dengan puteri Acheh yang dikenal sebagai ”Puteri Raja Champa”, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Lagi pula keadaan Champa Kambodia sezaman Maulana Malik Ibrahim sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia.
Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi.[66] Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.[67]
Populeritas Jeumpa (Acheh) di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Acheh sendiri sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Acheh yang masih menyisakan kecantikan puteri-puterinya di sekitar Bireuen.
Pada masa kegemilangan Pasai, istilah puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut ”Champa”) sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan kecerdasannya, seperti Puteri Manyang Seuludong, Permaisuri Raja Jeumpa Salman al-Parisi, Ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Puteri Jeumpa lainnya, Puteri Makhdum Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak.
Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Acheh Darussalam. Demikian pula keturunan Syahri Nuwi dari Sultan Perlak bergelar Makhdum juga disebut sebagai Putri Jeumpa, karena beliau lahir di Jeumpa. Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri Jeumpa sudah menjadi legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat mengidam-idamkan seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana mabok kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan Puteri Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai.
Secara umum, wajah orang Champa Kambodia lebih mirip dengan Cina, kecil-kecil dan memiliki kulit seperti orang Kelantan sekarang, sementara bahasanya susah dimengerti karena dialeknya berbeda dengan rumpun bahasa Melayu yang menjadi bahasa pertuturan dan pengantar Nusantara saat itu. Muka-muka Arab, seperti wajah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat ataupun gelar mereka, Sayyid, Maulana, dan lainnya jarang adanya dan tidak seperti rata-rata orang Perlak, Pasai, Jeumpa ataupun umumnya orang Acheh yang lebih mirip ke wajah Arab, India atau Parsia.
Sebagaimana diketahui, Maulana Malik Ibrahim dan Raden Rahmat memberikan pelajaran agama kepada orang Jawa menggunakan bahasa Melayu Sumatera yang banyak digunakan di sekitar Perlak, Pasai, Lamuri, Barus, Malaka, Riau-Lingga dan sekitarnya, sebagaimana dalam manuskrip agama yang dikarang para Ulama terkemudian seperti terjemahan karya Abu Ishaq, kitab-kitab Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Raja Ali Haji dan lainnya.
Dari segi geografis dan taktik-strategi perjuangan, kelihatannya mustahil para pendakwah, khususnya gerakan Para Wali yang akan menaklukkan pulau Jawa bermarkas di sebuah perkampungan Muslim minoritas dekat Vietnam. Apalagi pada masa itu Champa sepeninggal Raja terakhirnya, Che Bong Nga (w.1390), sepenuhnya dikuasai Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam berpusat di Hanoi. Maulana Malik Ibrahim adalah Grand Master para Wali Songo, jika sasaran dakwahnya adalah pulau Jawa, sebagai basis kerajaan Hindu-Budha yang tersisa, terlalu naif memilih Champa sebagai markas pusat pergerakan baik menyangkut dukungan logistik, politik maupun ketentaraan. Sebagaimana dicatat sejarah, pada masa itu para Sultan dan Ulama, baik yang ada di Arab, Persia, India termasuk Cina yang sudah dipegang penguasa Islam memfokuskan penaklukkan kerajaan besar Majapahit sebagai patron terbesar Hindu-Budha Nusantara.
Kaisar Cina yang sudah Muslimpun mengirim Panglima Besar dan tangan kanan dan kepercayaannya, Laksamana Cheng-Ho untuk membantu gerakan Islamisasi Jawa. Sementara hubungan dakwah via laut pada saat itu sudah terjalin jelas menunjukkan hubungan antara Jawa-Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden sampai Mesir, yang diistilahkan Azra sebagai Jaringan Ulama Nusantara. Yang artinya, wilayah Acheh Jeumpa lebih mungkin berada di sekitar pusat gerakan dan lintasan jaringan tersebut daripada Champa Kambodia. Adalah hal yang mustahil, seorang Wali sekelas Maulana Malik Ibrahim, bapak dan pemimpin para Wali di Jawa, yang telah berhasil membangun jaringan di Nusantara, setelah 13 tahun di Champa tidak dapat membangun sebuah kerajaan Islam atau meninggalkan jejak-jejak kegemilangan peradaban Islam, atau hanya sebuah prarasti seperti pesantren, maqam atau sejenisnya yang akan menjadi jejaknya. Bahkan Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J.
Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,'' tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.
Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Menurut cacatan sejarah, beliau adalah salah seorang ulama yang dihormati di kalangan istana Pasai dan menjadi penasihat Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Sebelum bertolak ke tanah Jawa, ayahanda beliau, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang juga datang dari Persia atau Samarqan, tinggal dan menetap juga di Pasai. Jadi menurut analisis, beliau bertiga datang dari Persia atau Samarqan ke Kerajaan Pasai sebagai pusat penyebaran dakwah Islam di Nusantara, pada sekitar abad ke 13 Masehi, bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Pasai di bawah para Sultan keturunan Malik al-Salih, yang juga keturunan Ahlul Bayt. Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, adalah seorang ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami pula.
Adalah mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan pendidikannya di Champa Kambodia pada tahun-tahun itu, karena sejak tahun 1390 M atau sepuluh tahun sebelum kelahiran beliau, sampai dengan abad ke 16, Kambodia dibawah kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam sebagaimana dijelaskan terdahulu. Apalagi sampai saat ini belum di dapat jejak lembaga pendidikan para ulama di Champa. Namun keadaannya berbeda dengan Jeumpa Acheh, yang dikelilingi oleh Bandar-Bandar besar tempat pesinggahan para Ulam dunia pada zaman itu. Perlu digarisbawahi, kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan sekitarnya adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi pusat pendidikan dan pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana digambarkan terdahulu.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa ”Champa” yang dimaksud dalam sejarah pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal ”Puteri Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel), bukanlah Champa yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana dinyatakan Raffles, ”Champa” berada di Jeumpa Acheh dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah Samudra Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju.
Jika Jeumpa Acheh menjadi asal dari Puteri yang menjadi Permaisuri Maha Prabu Brawijaya V, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendidik para pejuang dan pendakwah Islam di Tanah Jawa yang berhasil meruntuhkan dominasi kerajaan-kerajaan Hindu. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat persinggahan dan kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang Grand Master gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah daerah yang menjadi bagian dari Kerajaan Pasai yang telah melahirkan banyak Ulama dan pendakwah di Nusantara. Maka tidak diragukan, secara tersirat bahwa Jeumpa dan tentunya Pasai memiliki peran besar proses penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Dan Kerajaan Pasai, sebagai pusat Islamisasi Nusantara, sangat berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, karena ia adalah satu-satunya penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa. Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti dengan mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit.
Maka ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai.
Rupanya para Grand Master terutama Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior para pendakwah, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya yang bernama Dwarawati atau Puteri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya, dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang Bapak Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan Puteri Jeumpa Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya.
Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim menikahkan iparnya Puteri Jeumpa berdasarkan ijtihad beliau setelah mengadakan penelitian panjang terhadap tradisi dan budaya orang Jawa yang sangat menghormati dan patuh bongkokan kepada Raja atau Pangeran yang selama ini dianggap sebagai titisan para Dewata, sebagaimana cerita-cerita pewayangan di Jawa. Jika ada seorang Raja atau Pangeran yang masuk Islam, maka akan mudah bagi perkembangan Islam. Karena Jawa adalah salah satu daerah yang sangat sulit diislamkan sampai saat itu, mengingat kuatnya dominasi Kerajaan Hindu Majapahit. Itulah sebabnya, ketika Puteri Jeumpa telah hamil, dia ditarik dari istana Majapahit, dihijrahkan ke wilayah Islam lainnya, kabarnya ke Kerajaan Melayu Palembang.
Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Puteri Jeumpa kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para Wali Songo yang sudah mapan mendeklarasikan sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orang-orang Jawapun dengan cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi.
Jadi prestasi terbesar Kerajaan Pasai adalah keberhasilannya mengembangkan Kerajaannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara, terutama keberhasilannya mengislamisasikan pulau Jawa yang telah coba dilakukan berabad-abad oleh para pendakwah dan pejuang Islam. Namun sayang fakta sejarah ini selalu ditutup-tutupi oleh para penjajah Belanda dan antek-anteknya di Jawa. Bahkan sebagian orang-orang Jawa tidak pernah menganggap bahwa para Wali Songo adalah alumni perguruan tinggi Islam yang sudah berkembang pesat di Acheh, baik di sekitar Pasai, Perlak, Jeumpa, Barus, Fansur dan lain-lainnya yang selanjutnya akan dibuktikan dengan tampilnya ulama-ulama besar dan berpengaruh di Nusantara asal Acheh seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, Maulana Syiah Kuala, Nuruddin al-Raniri dan lain-lainnya.
Sumber : http://www.acehforum.or.id
Langganan:
Postingan (Atom)
Seulamat Uroe Raya
Admin Blog Atjeh Pusaka mengucapkan Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H... Neu peu meu'ah lahee ngon batein...
-
PEUTRON ANEUK Oleh: TA Sakti Jameun ka maju sang dumpeue bereh Keu adat Aceh hansoele kira Buet peutron aneuk bacut lon cukeh La...
-
Allah... allah... allahu rabbi, bek dilee Neu bri kiamat donya/// Lee that but salah ka deungon keuji, sayang lon rabbi asoe neuraka/// N...
-
Atjeh Pusaka - Hadih Maja atau Nariet Maja adalah suatu ungkapan atau pribahasa didalam kehidupan masyarakat Aceh. Hadih Maja ini mengandun...