A. Latar Belakang Berdirinya
Salah satu dari sederetan nama kerajaan Islam terbesar di Indonesia ialah kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini berdiri pada tanggal 12 Zulqaidah tahun 916 H /1511 M. bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Sebenarnya tatkala orang-orang Portugis mulai menginjakkan kaki di Malaka awal abad ke-16, Aceh masih merupakan kerajaan taklukan kerajaan Pidie, yang terletak di Sumatera Utara , akan tetapi berkat jasa Sultan Ali Mughiyat Syah Aceh akhirnya mampu melepaskan diri dari pengaruh Pidie dan menjadi kerajaan yang berdaulat penuh dan bahkan pada babak berikutnya Acehlah yang kemudian menjadi sentral kekuasaan di wilayah Sumatera Utara tersebut: Pasai, Daya termasuk pula Pidie yang dulunya menjadi kerajaan atasan Aceh.
Karena keberhasilannya, melepaskan Aceh dari pengaruh Pidie. maka Sultan Ali Mughiyah Syah yang juga terkenal dengan sebutan Sul tan Ibrahim menjadi penguasa pertama (1514-1528 M.) sekaligus sebagai pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Di bawah kepemimpinannya, Aceh terus melaju ke arah sukses yang semakin gemilang; baik dibidang konsolidasi politik, ekonomi atau ekspansi (perluasan wilayah). Dalam menjalankan ekspansinya, disamping bermotifkan politis, ekonomi juga tidak bisa dipungkiri adanya motif agama. Hal ini dapat dilihat ketika kerajaan yang baru keluar dari embrionya itu mengadakan penyerbuan ke Pidie vang telah bekerja sama dengan Portugis (non-Muslim).
Sepeninggal Sultan Ali Mughiyat Syah, jalannya pemerintahan dilanjutkan oleh Sultan Alauddin Ri'ayat Syah. Pada masanya ekspansi terus dilaksanakan sebagaimana pendahulunya. Untuk meluaskan wilayahnya ke Barus ia mengutus suami saudara perempuannya yang kemudian oleh Sultan diangkat sebagai Sultan Barus.
Setelah Sultan Alauddin Ri'ayat meninggal dunia, ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Husein. Padahal sebelumnya dua orang putranya yang lain masing-masing telah diangkat sebagai Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan sebutan Sultan Ghari dan Sultan Mughal sehingga tampilnya Sultan Husein menggantikan ayahnya itu menimbulkan rasa cemburu dan tidak suka saudara-saudaranya yang berkedudukan di Aru ataupun di Pariaman. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Sultan yang berkedudukan di Barus. Sebagai akibatnya maka terjadilah perlawanan dan ketiga Sultan tersebut terhadap Sultan Husein. Dalam pertempuran itu Sultan Husein gugur, demikian pula Sultan Aru. Sehingga yang tinggal hanyalah Sultan Panaman.
Semenjak kematian Sultan Alauddin kemudian diganti oleh sultan-sultan berikutnya, Aceh mengalami kemunduran; banyak daerah yang tadinya berada dibawah pengaruhnya meiepaskan diri akibat kurang intensifnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh sultan-sultan pengganti Alauddin dan pengaruh penetrasi Portugis. Baru setelah Sultan Iskandar Muda tampil sebagai penguasa Aceh keadaan bisa pulih seperti sedia kala, bahkan lebih memperluas lagi daerah taklukannya.
Salah satu dari sederetan nama kerajaan Islam terbesar di Indonesia ialah kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini berdiri pada tanggal 12 Zulqaidah tahun 916 H /1511 M. bersamaan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Sebenarnya tatkala orang-orang Portugis mulai menginjakkan kaki di Malaka awal abad ke-16, Aceh masih merupakan kerajaan taklukan kerajaan Pidie, yang terletak di Sumatera Utara , akan tetapi berkat jasa Sultan Ali Mughiyat Syah Aceh akhirnya mampu melepaskan diri dari pengaruh Pidie dan menjadi kerajaan yang berdaulat penuh dan bahkan pada babak berikutnya Acehlah yang kemudian menjadi sentral kekuasaan di wilayah Sumatera Utara tersebut: Pasai, Daya termasuk pula Pidie yang dulunya menjadi kerajaan atasan Aceh.
Karena keberhasilannya, melepaskan Aceh dari pengaruh Pidie. maka Sultan Ali Mughiyah Syah yang juga terkenal dengan sebutan Sul tan Ibrahim menjadi penguasa pertama (1514-1528 M.) sekaligus sebagai pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Di bawah kepemimpinannya, Aceh terus melaju ke arah sukses yang semakin gemilang; baik dibidang konsolidasi politik, ekonomi atau ekspansi (perluasan wilayah). Dalam menjalankan ekspansinya, disamping bermotifkan politis, ekonomi juga tidak bisa dipungkiri adanya motif agama. Hal ini dapat dilihat ketika kerajaan yang baru keluar dari embrionya itu mengadakan penyerbuan ke Pidie vang telah bekerja sama dengan Portugis (non-Muslim).
Sepeninggal Sultan Ali Mughiyat Syah, jalannya pemerintahan dilanjutkan oleh Sultan Alauddin Ri'ayat Syah. Pada masanya ekspansi terus dilaksanakan sebagaimana pendahulunya. Untuk meluaskan wilayahnya ke Barus ia mengutus suami saudara perempuannya yang kemudian oleh Sultan diangkat sebagai Sultan Barus.
Setelah Sultan Alauddin Ri'ayat meninggal dunia, ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Husein. Padahal sebelumnya dua orang putranya yang lain masing-masing telah diangkat sebagai Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan sebutan Sultan Ghari dan Sultan Mughal sehingga tampilnya Sultan Husein menggantikan ayahnya itu menimbulkan rasa cemburu dan tidak suka saudara-saudaranya yang berkedudukan di Aru ataupun di Pariaman. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Sultan yang berkedudukan di Barus. Sebagai akibatnya maka terjadilah perlawanan dan ketiga Sultan tersebut terhadap Sultan Husein. Dalam pertempuran itu Sultan Husein gugur, demikian pula Sultan Aru. Sehingga yang tinggal hanyalah Sultan Panaman.
Semenjak kematian Sultan Alauddin kemudian diganti oleh sultan-sultan berikutnya, Aceh mengalami kemunduran; banyak daerah yang tadinya berada dibawah pengaruhnya meiepaskan diri akibat kurang intensifnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh sultan-sultan pengganti Alauddin dan pengaruh penetrasi Portugis. Baru setelah Sultan Iskandar Muda tampil sebagai penguasa Aceh keadaan bisa pulih seperti sedia kala, bahkan lebih memperluas lagi daerah taklukannya.
B. Masa Kejayaannya
Setelah sekian lama Aceh Darussalam tampil di pentas kesejarahanNasional dan setelah matang dengan berbagai ujian sejarah (secara alamiah) maka sampailah ia pada suatu masa yang membuat orang merasa silau memandangnya atau menaruh hormat oleh karenanya. Itulah masa keemasan; masa kejayaan yang merupakan buah perjuangan dari titian roda sejarah.
Adalah Sultan Iskandar Muda yang telah menghantarkan Aceh Darussalam kebabak kegemilangannya sekaligus mengembalikan daerah-daerah yang telah meiepaskan diri dari pengaruh Aceh akibat pertikaian antar pewaris tahta sepeninggal Sultan Alauddin Ri'ayat Syah di akhir abad ke-16 Masehi serta adanya serangan Portugis yang berkedudukan di Malaka.
Tampilnya Sultan Iskandar Muda (1607 - 1638 M.) menandai aktifnya kembali Aceh, terutama dalam usaha membendung penetrasi dan campur tangan pedagang asing. Dalam upaya ia menempuh jalan mempersulit dan memperketat perijinan bagi pedagang asing yang hendak mengadakan kontak dengan Aceh. Ia hanya memberi kesempatan salah satu nama yang lebih menguntungkan raja antara Inggris dan Belanda. Pernah ia memperkenankan kemudian Belanda untuk berdagang di Tiku, Pariaman dan Barus tetapi hanya berjalan masing-masing dua tahunan.
Sultan Iskandar Muda, yang memerintah hampir 30 tahun lamanya, disamping telah berhasil menekan arus perdagangan yang dijalankan oleh orang Eropa juga telah mampu membenahi dan mengadakan konsulidasi di berbagai sektor; baik ekonomi, politik, sosial budaya dan kehidupan beragama.
Di bidang politik misalnya, ia telah behasil mempersatukan seluruh lapisan masyarakat, yang disebut dengan kaum; seperti kaum Lhoe Reotoih (kaum Tigaratus), kaum Tok Batee (orang-orang Asia), kaum orang Mante, Batak Karo, Arab, Persia dan Turki, kaum Ja sandang (orang-orang mindi) dan kaum Imam peucut (Imam Empat). Begitu pula pada masanya telah tersusun sebuah Undang-undang tentang tata pemerintahan yang diberi nama Adat Makuta Alam; hukum adat ini didasarkan pada hukum Syara.
Dibukanya Bandar Aceh menjadi Pelabuhan Internasional merupakan langkahnya yang progresif dalam upaya memakmurkan perekonomian negeri, sebab dengan open sistem tersebut segala hasil kekayaan Aceh, terutama lada, bisa secara mudah memperoleh pasaran walaupun pada akhirnya menjadi bumerang bagi Aceh itu sendiri.
Setelah sekian lama Aceh Darussalam tampil di pentas kesejarahanNasional dan setelah matang dengan berbagai ujian sejarah (secara alamiah) maka sampailah ia pada suatu masa yang membuat orang merasa silau memandangnya atau menaruh hormat oleh karenanya. Itulah masa keemasan; masa kejayaan yang merupakan buah perjuangan dari titian roda sejarah.
Adalah Sultan Iskandar Muda yang telah menghantarkan Aceh Darussalam kebabak kegemilangannya sekaligus mengembalikan daerah-daerah yang telah meiepaskan diri dari pengaruh Aceh akibat pertikaian antar pewaris tahta sepeninggal Sultan Alauddin Ri'ayat Syah di akhir abad ke-16 Masehi serta adanya serangan Portugis yang berkedudukan di Malaka.
Tampilnya Sultan Iskandar Muda (1607 - 1638 M.) menandai aktifnya kembali Aceh, terutama dalam usaha membendung penetrasi dan campur tangan pedagang asing. Dalam upaya ia menempuh jalan mempersulit dan memperketat perijinan bagi pedagang asing yang hendak mengadakan kontak dengan Aceh. Ia hanya memberi kesempatan salah satu nama yang lebih menguntungkan raja antara Inggris dan Belanda. Pernah ia memperkenankan kemudian Belanda untuk berdagang di Tiku, Pariaman dan Barus tetapi hanya berjalan masing-masing dua tahunan.
Sultan Iskandar Muda, yang memerintah hampir 30 tahun lamanya, disamping telah berhasil menekan arus perdagangan yang dijalankan oleh orang Eropa juga telah mampu membenahi dan mengadakan konsulidasi di berbagai sektor; baik ekonomi, politik, sosial budaya dan kehidupan beragama.
Di bidang politik misalnya, ia telah behasil mempersatukan seluruh lapisan masyarakat, yang disebut dengan kaum; seperti kaum Lhoe Reotoih (kaum Tigaratus), kaum Tok Batee (orang-orang Asia), kaum orang Mante, Batak Karo, Arab, Persia dan Turki, kaum Ja sandang (orang-orang mindi) dan kaum Imam peucut (Imam Empat). Begitu pula pada masanya telah tersusun sebuah Undang-undang tentang tata pemerintahan yang diberi nama Adat Makuta Alam; hukum adat ini didasarkan pada hukum Syara.
Dibukanya Bandar Aceh menjadi Pelabuhan Internasional merupakan langkahnya yang progresif dalam upaya memakmurkan perekonomian negeri, sebab dengan open sistem tersebut segala hasil kekayaan Aceh, terutama lada, bisa secara mudah memperoleh pasaran walaupun pada akhirnya menjadi bumerang bagi Aceh itu sendiri.
Di sisi lain kemajuan telah diperoleh oleh Aceh dalam bidang ilmu pengetahuan dan keagamaan. B. Schiere dalam bukunya "Indonesian Sociological Studies" mengatakan : 'Aceh adalah pusat perdagangan Muslim India dan ahli fikirnya (kaum cendediawan dan ulama-ulama) berkumpul sehingga Aceh menjadi pusat kegiatan studi Islam.
Lembaga-lembaga kajian ilmiah tersebut terdiri atas :
1. Balai Sertia Ulama' (jawatan pendidikan)
2. Balai Jama'ah Himpunan Ulama' yang merupakan studi club yang
beranggotakan para ahli agama.
3. Balai Sertia Hukama' (Lembaga Pengembangan Ilmu Pengetahuan).
Adapun lembaga pendidikan yang terdapat di sana, meliputi :
1. Meunasah (Ibtidaiyah)
2.
Kangkang (Tsanawiyah), untuk tingkat ini belajarnya di masjid dan yang
dipelajari adalah kitab-kitab Ilmu Hisab, Al-Qur'an, Ilmu Falaq,Fiqih
dan Hadits.
3. Daya (Aliyah), tingkat ini berpusat di masjid-masjid besar.
4. Daya Teuku Cik (Perguruan Tmggi), di sini diajarkan Tafsir, Tasauf dan lain sebagainya.
Ilmu Tasauf (mistisisme) adalah salah satu kajian keagamaan yang mendapat perhatian oleh Pihak Sultan sehingga pada masanya tercatat banyak ahli sufi, diantaranva: Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri. Untuk yang terakhir ini kurang mendapat simpati dari Sultan Iskandar Muda.
Dapat dibayangkan betapa gemilang Aceh Darussalam di masa keemasan yang dibimbing dan diarahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Ini merupakan suatu indikasi betapa suatu usaha itu bila diupayakan dengan segenap perhatian dan keseriusan akan membuahkan hasil yang cukup gemilang. Maka wajar jika Aceh saat itu menjadi batu sandungan bagi imperium Barat yang berusaha mencengkeram seluruh wilayah Nusantara secara utuh ; baik itu Belanda, Inggns maupun Portugis.
Sungguh sangat disayangkan, diakhir masa jabatannya, ketetapan sistem yang pernah ia berlakukan terhadap pedagang-pedagang asing (dalam hal ini Belanda) itu terpaksa menjadi longgar karena kekalahan yang didentanya ketika mengadakan serangan ke Malaka pada tahun 1629 akibatnya ia menjalin hubungan dengan Belanda sebagai mitra kerja menghadapi Portugis di Malaka.
Ilmu Tasauf (mistisisme) adalah salah satu kajian keagamaan yang mendapat perhatian oleh Pihak Sultan sehingga pada masanya tercatat banyak ahli sufi, diantaranva: Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri. Untuk yang terakhir ini kurang mendapat simpati dari Sultan Iskandar Muda.
Dapat dibayangkan betapa gemilang Aceh Darussalam di masa keemasan yang dibimbing dan diarahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Ini merupakan suatu indikasi betapa suatu usaha itu bila diupayakan dengan segenap perhatian dan keseriusan akan membuahkan hasil yang cukup gemilang. Maka wajar jika Aceh saat itu menjadi batu sandungan bagi imperium Barat yang berusaha mencengkeram seluruh wilayah Nusantara secara utuh ; baik itu Belanda, Inggns maupun Portugis.
Sungguh sangat disayangkan, diakhir masa jabatannya, ketetapan sistem yang pernah ia berlakukan terhadap pedagang-pedagang asing (dalam hal ini Belanda) itu terpaksa menjadi longgar karena kekalahan yang didentanya ketika mengadakan serangan ke Malaka pada tahun 1629 akibatnya ia menjalin hubungan dengan Belanda sebagai mitra kerja menghadapi Portugis di Malaka.
C. Masa Kemunduran
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia pada tahun 1636 ia digantikan seorang menantunya, Sultan Iskandar Tsani yang memerintah selama kurang lebih 5 tahun yaitu sejak 1636-1641. Sultan Aceh pengganti Sultan Iskandar Muda ini mempunyai sikap yang berbeda sama sekali dengan sultan sebelumnya dalam menanggapi kaum Kolonialis. Ia sangat lunak dan kompromistis, baik terhadap Belanda, Inggris ataupun Portugis. Ini berbeda dengan sikap Sultan Iskandar Muda vang begitu ketat terhadap orang asing.
Semenjak Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Tsani, tandatanda kemunduran mulai tampak. Hal ini disebabkan oleh adanya campur tangan orang asing yang mendapat kesempatan dari sultan secara longgar. Kemunduran Aceh ini semakin terasa setelah Sultan Iskandar Tsani wafat dan digantikan isterinya, Sultanah Tajul Alam Syafituddin Syah, yang memerintah pada tahun 1641-1675. Roda pemerintahan yang dulu begitu kokoh kini nampak ringkih dan goyah. Wilayah Aceh yang meliputi daerah-daerah tidak dapat lagi dikuasai oleh Sultanah sehingga Nampak seolah-olah tidak ada lagi kekuatan untuk mempertahankannya. Banyak daerah bawahan yang melepaskan diri dari kekuasaan Aceh.
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia pada tahun 1636 ia digantikan seorang menantunya, Sultan Iskandar Tsani yang memerintah selama kurang lebih 5 tahun yaitu sejak 1636-1641. Sultan Aceh pengganti Sultan Iskandar Muda ini mempunyai sikap yang berbeda sama sekali dengan sultan sebelumnya dalam menanggapi kaum Kolonialis. Ia sangat lunak dan kompromistis, baik terhadap Belanda, Inggris ataupun Portugis. Ini berbeda dengan sikap Sultan Iskandar Muda vang begitu ketat terhadap orang asing.
Semenjak Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Tsani, tandatanda kemunduran mulai tampak. Hal ini disebabkan oleh adanya campur tangan orang asing yang mendapat kesempatan dari sultan secara longgar. Kemunduran Aceh ini semakin terasa setelah Sultan Iskandar Tsani wafat dan digantikan isterinya, Sultanah Tajul Alam Syafituddin Syah, yang memerintah pada tahun 1641-1675. Roda pemerintahan yang dulu begitu kokoh kini nampak ringkih dan goyah. Wilayah Aceh yang meliputi daerah-daerah tidak dapat lagi dikuasai oleh Sultanah sehingga Nampak seolah-olah tidak ada lagi kekuatan untuk mempertahankannya. Banyak daerah bawahan yang melepaskan diri dari kekuasaan Aceh.
Demikian halnya dalam masalah ekonomi yang kian terasa tidak stabil akibat ulah pedagang-pedagang asing yang kian terasa kuasanya dan sudah mulai menerapkan politik adu dombanya. Sementara situasi dalam negeri sudah nampak tidak sehat karena para kapitalis semakin meraja lela dalam penguasaan di bidang materi tanpa ambil peduli suasana perekonomian kerajaan yang sedang dilanda resesi berat. Terpaksa Sultanah mengambil tindakan menjalin kerja sama dengan Belanda. Langkah ini dilakukan semata-mata untuk mempertahankan Aceh dari gilasan dan serbuan kaum Kolonialis sebagaimana yang terjadi di Malaka. Dasar niat untuk memonopoli sudah bersarang di hati Belanda semenjak mereka menginjakkan kakinya di bumi Nusantara ini, maka sikap Sultanah tersebut dijadikan suatu momentum untuk lebih menancapkan cengkeraman kuku imperialismenya. hal ini terbukti dengan berbagai fasilitas dan kesempatan yang diberikan kepada mereka. maka akhirnya Belanda mendirikan kantor Dagang mereka di Padang dan Salida.
Walaupun tindakan Belanda itu telah diperingatkan oleh Sultanah, namun rupanya mereka sudah tidak menghiraukan.Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin Syah wafat tahun 1675 dan digantikan oleh sultan wanita Nurul Alam Nakiatuddin (tak jelas asalusulnya) yang memerintah mulai tahun 1675-1678. Kehadirannya tak juga bisa mengentaskan kerajaan dari berbagai kemelut yang ada. Begitu pula ketika digantikan oleh puterinya Raja Sertia, Aceh tetap dirundung kemelut yang berkepanjangan.
Baru setelah ulama-ulama dan tokoh masyarakat Aceh melancarkan perlawanan terhadap kompeni pada tahun 1873-1904, seperti Habib Abdurrahman, Teuku Umar dan ïsterinya, Cik Di Tiro. Panglima Polim dan lain-lain, Aceh naik lagi kharismanya. Ada dua faktor penting yang mengakibatkan kemunduran kerajaanAceh Darussalam: masing-masing faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern, yang pertama diakibatkan oleh lemahnya sultan-sultan pengganti Sultan Iskandar Muda dalam mengendalikan jalannya pemerintahan, yang menjadi sebab lepasnya daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh Aceh dan berusaha berdiri sendiri-sendin sehingga lebih memudahkan pihak luar untuk memecah belah persatuan.
Kedua,
banyaknya kaum kapitalis dalam negeri yang tidak pedulikan lagi
kesulitan-kesulitan yang dialami oleh kerajaan terutama di bidang
ekonomi akibat dan sistem perekonomian yang diterapkan kaum kolonial.
Kenyataan ini kemudian menyeret Aceh mengambil sikap kompromi dengan
Kompeni.
Faktor ekstern, adanya campur tangan orang-orang Asing ; baik secara langsung atau tidak langsung. Kenyataan ini berawal dari kegagalan Aceh menyerang Portugis yang berkedudukan di Malaka pada masa akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sebagi akibatnya ia terpaksa memberi kelonggaran kepada Belanda untuk berdagang di wilayah Aceh karena telah membantunya dalam pen\ erangan Malaka. Campur tangan ini berlanjut terus tanpa bisa ditolaknya oleh pewaris-pewaris tahta berikutnya sampai pada akhirnya Aceh minta perlindungan kepada Kompeni.
Faktor ekstern, adanya campur tangan orang-orang Asing ; baik secara langsung atau tidak langsung. Kenyataan ini berawal dari kegagalan Aceh menyerang Portugis yang berkedudukan di Malaka pada masa akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sebagi akibatnya ia terpaksa memberi kelonggaran kepada Belanda untuk berdagang di wilayah Aceh karena telah membantunya dalam pen\ erangan Malaka. Campur tangan ini berlanjut terus tanpa bisa ditolaknya oleh pewaris-pewaris tahta berikutnya sampai pada akhirnya Aceh minta perlindungan kepada Kompeni.
D. Sistem Politiknya
Berbicara mengenai sistem politik di kerajaan Aceh Darussalam bisa diklasifïkasikan, paling tidak menjadi dua; periode sebelum Sultan Iskandar Muda (1514-1607) dan periode semenjak bertahtanya ke belakang. Untuk periode awal, sebelum Iskandar Muda sistem perpolitikan Aceh Darussalam masih belum terorganisir secara baik dan rapih mengingat kondisinya baru saja terlepas dari pengaruh Pidie sehingga konsentrasi lebih tercurahkan untuk pembenahan militer dalam upaya mempertahankan keberadaannya dari berbagai kemungkinan bahaya yang datang dari dalam maupun dari luar (termasuk pengaruh Kolonialis).
Berbicara mengenai sistem politik di kerajaan Aceh Darussalam bisa diklasifïkasikan, paling tidak menjadi dua; periode sebelum Sultan Iskandar Muda (1514-1607) dan periode semenjak bertahtanya ke belakang. Untuk periode awal, sebelum Iskandar Muda sistem perpolitikan Aceh Darussalam masih belum terorganisir secara baik dan rapih mengingat kondisinya baru saja terlepas dari pengaruh Pidie sehingga konsentrasi lebih tercurahkan untuk pembenahan militer dalam upaya mempertahankan keberadaannya dari berbagai kemungkinan bahaya yang datang dari dalam maupun dari luar (termasuk pengaruh Kolonialis).
Disamping itu usaha ekspansi terus dilakukan untuk memperluas wilayah. Berbeda halnya ketika Sultan Iskandar Muda menduduki tahta kesultanan Aceh, beliau disamping menjalankan ekspansi juga begitu antusias untuk menata rapih sistem politk, terutama yang berkaitan dengan konsulidasi atau pemantapan wilayah yang sudah dikuasinya. Langkah ini beliau tempuh mengingat betapa sistem pemerintahan yang mantap dan terkonsulidasi secara seksama akan menciptakan stabilitas yang sehat. Ada dua sistem yang beliau tempuh dalam upaya stabilitas kesultanan Aceh pada saat itu: sistem politik internat (yang menyangkut kepentingan dalam negeri) dan sistem ekstemal (yang berhubungan dengan negeri Asing).
Kaitannya dengan sistem politik internal, pada masanya telah tersusun struktur pemerintahan secara rapi yang secara koordinatif menghubungkan antara pusat dengan daerah-daerah. Wilayah inti kerajaan Aceh (Aceh Raya) terbagi atas wilayah sagoe dan wilayah pusat kerajaan.Tiap sagoe terbagi menjadi beberapa Mukim sagoe XXV mukim (meliputi Aceh Barat). sagoe XXII mukim (berada di bagian Tengah sebelah Selatan) dan sagoe XXVI mukim (terletak di bagian Timur). Masing-masing sagoe terbagi lagi menjadi wilayah vang lebih kecil setingkat distrik.Kemudian masing-masing distrik terbagi atas mukim-mukim (yang dikepalai oleh seorang imam) sedang masing-masing mukim ini terbagi lagi menjadi gampong-gampong (yang dikepalai oleh seorang Keucik).
Tiap-tiap sagoe dikepalai oleh Panglima Sagoe atau sering disebut dengan Hulubalang Besar yang bergelar Teuku sedang untuk masing-masing distrik dikepalai oleh Hulubalang (Uleebalang) yang bergelar Datuk. Para hulubalang, kecuali hulubalang Pusa, mempunyai kekuasaan yang otonom sifatnya; baik dalam mengatur tata pemerintahan wilayahnya sampai kepada pewarisan tahtanya. Sultan disini hanya berfungsi sebagai simbol pemersatu dari masing-masing sagi yang dikepalai langsung oleh para hulubalang.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, sultan dibantu oleh seorang Mangkubumi yang membawahi empat mantri hari-hari (penasihat raja). Disamping itu raja juga dibantu oleh Syahbandaaar untuk mengurusi keuangan istana, Kepala Krueng (dibantu Dawang Krueng)untuk
mengurusi
lalu lintas di muara sungai, Panglima Losot sebagai penarik cukai
barang-barang eksport-import dan Krani sebagai sekretaris istana.
Jabatan-jabatan tinggi istana ini kemudian di abad ke-17 dan ke-18 lebih
disempurnakan lagi, antara lain:
1. Hulubalang Rama Setia, sebagai Pengawal Pribadi Istana
2. Kerkum Katib al-Muluk, Sekretaris Istana
3. Raja Udah na Laila, sebagai Kepala bendaharawan istana dan perpajakan
4. Sri Maharaja Laila, sebagai Kepada Kepolisian; dan
5. Laksamana Panglima Paduka Sirana, sebagai Penvakapan.
Sistem pergantian raja di Aceh pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem di kerajaan-kerajaan lain. Hanya saja di Aceh sistemnya agak longgar, artinya tidak selalu terikat pada putra laki-laki saja tetapi wanita, kemenakan atau istri raja yang meninggal pun bisa. Sedangkan sistem politik yang bersifat eksternal ( yang berkenaan dengan orang-orang Asing ), beliau mengambil jalan keras dan mengadakan pengetatan terhadap mereka. Sayangnya pewaris istana sesudah beliau tidak lagi menempuh jalan yang beliau terapkan, mereka cenderung lebih bersifat kompromistis mungkin langkah ini mereka tempuh karena terpaksa.
Sistem pergantian raja di Aceh pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem di kerajaan-kerajaan lain. Hanya saja di Aceh sistemnya agak longgar, artinya tidak selalu terikat pada putra laki-laki saja tetapi wanita, kemenakan atau istri raja yang meninggal pun bisa. Sedangkan sistem politik yang bersifat eksternal ( yang berkenaan dengan orang-orang Asing ), beliau mengambil jalan keras dan mengadakan pengetatan terhadap mereka. Sayangnya pewaris istana sesudah beliau tidak lagi menempuh jalan yang beliau terapkan, mereka cenderung lebih bersifat kompromistis mungkin langkah ini mereka tempuh karena terpaksa.
E. Partisipasi dan Peran serta Ulama
Ulama, di kerajaan Aceh, mempunyai posisi yang sangat terhormat. Hal ini terjadi karena disamping kerajaan yang berpusat di Banda Aceh itu memakai Islam sebagai landasan geraknya, juga disebabkan adanya perhatian yang serius dari para raja yang berkuasa di Aceh dalam memandang betapa pentingnya ulama dan ilmu yang dimilikinya untuk mengendalikan (media kontrol) jalannya pemerintahan yang Baidatun thayyibatim wa Rabbun Ghafiir serta mendapat ridla-Nya. Sesuai dengan Firman Allah : atau hadits Nabi v ang menyatakan bahwa terdapat dua golongan yang apabila keduanya baik maka menjadi baik pula manusia, akan tetapi apabila keduanya rusak maka rusaklah manusia, mereka itulah ulama dan umara' (pemerintah).
Suatu bukti bahwa kerajaan memberikan perhatian yang lebih terhadap keberadaan ulama. yaitu dengan ditempatkannya ulama pada posisi teras kerajaan; baik sebagai Mangkubumi atau pejabat lainnya. Mungkin masih segar dalam ingatan kita dari sederetan pahlawanpahlawan Nasional yang berasal dari Propinsi Aceh, seperti Habib Abdurrahman, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Panglima Polim, Cik Di Tiro, mereka secara keseluruhan adalah pejabat-pejabat teras kerajaan, ada yang sebagai Mangkubumi seperti Habib Abdurrahman, sebagai Kepala sagi (Hulubalang Besar) seperti Teuku Umar dan sebagainya.
Disinyalir bahwa terdapat suatu wilayah di Aceh yang secara khusus diserahkan pengelolaan dan penguasaannya kepada ulama, yaitu Masjid Raya dan sekitarnya. Di sana Sultan tidak memerintah langsung tetapi dilimpahkan kepada Hakim tertinggi kerajaan Teuku Kadli Malikul Adil dan Panglima Masjid Raja. Ini menunjukkan betapa besar perhatian kerajaan terhadap keberadaan ulama. Indikasi lain yang bisa kita jadikan titik pandang untuk melihat peran ulama di Aceh Darussalam. ïalah adanya lembaga-Iembaga yang sengaja diberi restu oleh sultan untuk menghimpun para ulama dalam mendiskusikan berbagai masalah keagamaan, seperti Balai Jama'ah Himpunan Ulama dan Balai Setia Hukama'.
Dari uaraian di atas, maka jelaslah bahwa peranan dan partisipasi ulama sangat intensif sehingga wajar apabila di Aceh, kota Serambi Mekkah, ini muncul ulama-ulama besar dengan berbagai karya ilmiahnya yang berbobot, seperti: Hamzah Fansuri, Nurrddin ar-Raniri, Syamsuddin as-Sumantrani dan Abdur Rauf as-Singkili.
Ulama, di kerajaan Aceh, mempunyai posisi yang sangat terhormat. Hal ini terjadi karena disamping kerajaan yang berpusat di Banda Aceh itu memakai Islam sebagai landasan geraknya, juga disebabkan adanya perhatian yang serius dari para raja yang berkuasa di Aceh dalam memandang betapa pentingnya ulama dan ilmu yang dimilikinya untuk mengendalikan (media kontrol) jalannya pemerintahan yang Baidatun thayyibatim wa Rabbun Ghafiir serta mendapat ridla-Nya. Sesuai dengan Firman Allah : atau hadits Nabi v ang menyatakan bahwa terdapat dua golongan yang apabila keduanya baik maka menjadi baik pula manusia, akan tetapi apabila keduanya rusak maka rusaklah manusia, mereka itulah ulama dan umara' (pemerintah).
Suatu bukti bahwa kerajaan memberikan perhatian yang lebih terhadap keberadaan ulama. yaitu dengan ditempatkannya ulama pada posisi teras kerajaan; baik sebagai Mangkubumi atau pejabat lainnya. Mungkin masih segar dalam ingatan kita dari sederetan pahlawanpahlawan Nasional yang berasal dari Propinsi Aceh, seperti Habib Abdurrahman, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Panglima Polim, Cik Di Tiro, mereka secara keseluruhan adalah pejabat-pejabat teras kerajaan, ada yang sebagai Mangkubumi seperti Habib Abdurrahman, sebagai Kepala sagi (Hulubalang Besar) seperti Teuku Umar dan sebagainya.
Disinyalir bahwa terdapat suatu wilayah di Aceh yang secara khusus diserahkan pengelolaan dan penguasaannya kepada ulama, yaitu Masjid Raya dan sekitarnya. Di sana Sultan tidak memerintah langsung tetapi dilimpahkan kepada Hakim tertinggi kerajaan Teuku Kadli Malikul Adil dan Panglima Masjid Raja. Ini menunjukkan betapa besar perhatian kerajaan terhadap keberadaan ulama. Indikasi lain yang bisa kita jadikan titik pandang untuk melihat peran ulama di Aceh Darussalam. ïalah adanya lembaga-Iembaga yang sengaja diberi restu oleh sultan untuk menghimpun para ulama dalam mendiskusikan berbagai masalah keagamaan, seperti Balai Jama'ah Himpunan Ulama dan Balai Setia Hukama'.
Dari uaraian di atas, maka jelaslah bahwa peranan dan partisipasi ulama sangat intensif sehingga wajar apabila di Aceh, kota Serambi Mekkah, ini muncul ulama-ulama besar dengan berbagai karya ilmiahnya yang berbobot, seperti: Hamzah Fansuri, Nurrddin ar-Raniri, Syamsuddin as-Sumantrani dan Abdur Rauf as-Singkili.
F. Hasil Karya llmiah
Terdapat beberapa karya ilmiah yang telah diciptakan oleh para ulama di Aceh Darussalam, antara lain:
1. Karya Hamzah Fansuri :
a. Syarah al-Asiqin
b. Asrar al-arifien fi bayani 'ilmi al-suluk wa at-tauhid.
c. Ruba'i al-muhaqqiqin
d. Kasyf as-sirri at-tajalli as-subhani
e. Muntahi
f. Miftahu al-asrar dan
g. Sya'ir - sya'irnya : Sya'ir burung pinggai, sya"ir Perahu, sya'ir Sidang Fakir dan sya'ir Dagang.
2. Karya-karya Syamsuddin as-Sumantrani :
a. Mir'atu al-mukminin
b. Mir'atu al-muhaqqiqin
c. Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri
d. Jauhar al-haqa'iq
e. Mir'atu al-imah dan
f. Tanbihu at-tullab fi ma'rifati al-malik al-wahhab
3. Karya-karya Nuruddin ar-Raniri :
a. Asraru al-insan fi ma'rifati ar-ruh wa ar-Rahman
b. Sirat al-Mustaqim
c. Durratu al-Fara'id wa Syarh al-aqa'id
d. Hidayatu al-habib fi at-Targhib wa at-Tartib
e. Bustanu as-Salatin fi Dzikri al-a\\A\alin wa al-Akhirin
f. Nubda'u fi Da wail-Ziil
g. Ma'a Sahabihi
h. Lata'ifu al-Asrar
i. Akhbaru al-Akhirat fi Ahvvali al-Qiyaniah
j . Hillu az-zilli
k. Ma al-Hayat li Ahli al-Mamat
l. Jawahiru al-Ulumi fi Kkasyfi al-Ma'lum
m. Umdatu al-I'tiqad
n. Syifa'u al-Qulub
o. Hujjatu as-Siddiq li Daf'i az-Zindiq
p. Fathu al-Mubin ala al-Mulhidin
q. Kifayatu as-Salah dan
r. Muhimmadatu al-I'tiqadi
4. Karya-karya Abdur-Rauf as-Singkili :
a. Mir'atu at-Tullab fi Tasyri al-Ma'rifata al-Ahkami as-Syari'atili Malik al-Wahhab
b. Kifayatu al-Muhtajin
c. Daqiqu al-Huruf
d. Bayanu Tajalli
e. Umdatu al-Muhtadiin
f. Mavvaiz al-Badi'i (terjemahan)
g. Sya'ir Ma'rifat dan
h. Tafsir al-Qur'an dalam bahasa Melayu (jawi)
Sumber : http://achehlamseujarah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.