Mantan Panglima GAM Linge, Marzuki AR atau yang akrab disapa Wien Rimba Raya . Foto/SERAMBINEWS.COM/ZAINAL ARIFIN M NUR
Atjeh Pusaka
Mantan Panglima GAM Linge, Marzuki AR atau yang akrab disapa Wien Rimba Rayamengatakan peringatan 10 tahun perjanjian MoU Helsinki tahun ini hanya sebatas kegiatan seremonial yang sia-sia.
Karena tidak ada upaya untuk menegaskan penyelesaian poin dari UUPA setelah sepuluh tahun, seharusnya dihadapan wakil presiden Yusuf Kalla dan tamu undangan asing, Gubernur Aceh mempertegas dan memberi target untuk menyelesaikan semua isi UUPA.
Karena tidak ada upaya untuk menegaskan penyelesaian poin dari UUPA setelah sepuluh tahun, seharusnya dihadapan wakil presiden Yusuf Kalla dan tamu undangan asing, Gubernur Aceh mempertegas dan memberi target untuk menyelesaikan semua isi UUPA.
“Sebagai mantan kombatan GAM, saya kecewa melihat peringatan Mou Helsinki kali ini yang hanya seromonial dan nostalgia para tokoh perdamaian, sehingga hanya menghabiskan uang rakyat”, ujar Win Rimbaraya.
Ia melihat di usia 10 tahun perdamaian, Aceh kehilangan moment bahkan hilang “ceudah” dan “beuhe”. Artinya, tidak ada lagi kecerdasan dalam merealisasikan UUPA dan berani bersuara lantang memperjuangkan UUPA.
Win juga mengaku kecewa, karena dalam acara seremonial dalam 3 hari itu, tidak ada tokoh dari kombatan GAM yang ditunjuk sebagai pembicara atau keynote spiker.
Padahal kombatan GAM merupakan ujung tombak terwujudnya perdamaian di Aceh. Karena semuanya bersedia turun gunung demi damai Aceh.
Mantan menteri pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Zakaria Saman berbincang dengan mantan ketua Aceh Monitoring Mission (AMM) Pieter Feith pada gala dinner jelang konferensi Internasional Peringatan 10 Tahun Perjanjian MoU Helsink/ SERAMBI/M ANSHAR
SEREMONI pembukaan International Conference 10 Tahun Perdamaian Aceh tadi malam dihadiri puluhan tamu undangan. Di antara undangan VIP terlihat antara lain Pieter Feith, tokoh yang dipercaya oleh Uni Eropa dan perwakilan Asia Tenggara untuk memimpin Aceh Monitoring Mission (AMM) jelang perdamaian. Juga hadir Francisco Fontan Pardo perwakilan European Union (Mission to Asean).
Selain dua tokoh utama dari luar negeri, tak ketinggalan pula tokoh eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Zakaria Saman atau yang akrab disapan Apa Karya juga hadir dalam kegiatan tadi malam. Mengenakan kemeja putih, Apa Karya duduk semeja dengan anggota DPR RI asal Aceh Nasir Djamil dan anggota DPD RI Sudirman atau Haji Uma.
Sebelum pembukaan, Apa Karya didatangi sejumlah tokoh, menyalami dan berbincang-bincang. Saat Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Alhaythar, Pieter Feith, dan sejumlah tokoh lainnya memasuki Anjong Mon Mata, Apa Karya pun berdiri. Spontan ia bersalaman dengan Pieter Feith. Keduanya berbicara serius sambil tersenyum lebar, bak dua sahabat yang bernostalgia setelah lama tidak berjumpa.
Selain dua tokoh utama dari luar negeri, tak ketinggalan pula tokoh eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Zakaria Saman atau yang akrab disapan Apa Karya juga hadir dalam kegiatan tadi malam. Mengenakan kemeja putih, Apa Karya duduk semeja dengan anggota DPR RI asal Aceh Nasir Djamil dan anggota DPD RI Sudirman atau Haji Uma.
Sebelum pembukaan, Apa Karya didatangi sejumlah tokoh, menyalami dan berbincang-bincang. Saat Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Alhaythar, Pieter Feith, dan sejumlah tokoh lainnya memasuki Anjong Mon Mata, Apa Karya pun berdiri. Spontan ia bersalaman dengan Pieter Feith. Keduanya berbicara serius sambil tersenyum lebar, bak dua sahabat yang bernostalgia setelah lama tidak berjumpa.
Setelah 10 menit perbincangan, Serambi pun mendekati Apa Karya, menanyakan apa yang dibicarakan dengan Pieter Feith. Apa Karya mengaku, ia bicara singkat dengan Pieter Feith, hanya sekadar mengenang sejarah yang tak bisa dilupakan, yakni saat dirinya dijumpai Pieter Feith di sebuah hutan di Aceh.
“Waktu itu, keputusan Helsinki, GAM, dan Jakarta, tidak boleh teken dulu kalau belum berjumpa dengan pasukan yang masih berada di gunung atau di dalam hutan. Jadi, Pieter Feith waktu itu pergi dengan helikopter mencari saya atas arahan Wali Nanggroe. Jadi jumpalah kami di gunung dan sempat bicara selama tiga jam. Pulang Pieter Feith dari situlah baru diteken,” kata Apa Karya seraya menambahkan sudah sekitar empat tahun mereka tidak berjumpa.
Perintah untuk menjumpai dirinya saat itu dilakukan Pieter Fieth sebagai arahan sebelum penandatanganan MoU Helsinki. Pertemuan itu, kata Apa Karya dimaksudkan untuk meminta persetujuan dari pasukan GAM yang masih berjuang di gunung. “Karena jika tidak dilakuakn begitu akan sangat bahaya, di sana diteken, pasukan tidak terima. Saya ingat sekali Piter Feith datang denga Helikopter bersama rombongan dan mencari-cari tanda yang sudah kami beri untuk mendarat, saya bicara dengannya pakai bahasa Sweden saat itu,” kata Apa Karya mengenang.
Perjumpaan itu, sebut Apa Karya, sebagai keputusan terakhir sebelum kesepakatan damai ditanda tangani di Helsinki, Finlandia. Setelah Pieter Feith bicara selama tiga jam dengan dirinya, Piter Feith bersama rombongan langsung kembali ke Helsinki untuk melanjutkan perundingan.
Pasukan Bang Din Minimi di dalam hutan Aceh Timur
Eks GAM Aceh Timur Tuntut Janji “Angin Surga” Dalam MoU Helsinki Kepada Pemerintah Aceh
Konflik di Aceh telah lama berakhir, penandatanganan MoU RI-GAM telah membuahkan sebuah solusi yakni Perdamaian.
Dalam hal ini pemerintah Indonesia menyepakati beberapa tuntutan GAM diantaranya yakni dukungan pemerintah indonesia dalam segi pemberdayaan ekonomi bagi para Mantan TNA maupun Tapol,/Napol GAM.
Hal tersebut tertuang dalam isi MoU,dimana pemerintah indonesia berjanji akan mendukung pelaksanaan Reintegrasi mantan TNA dan Tapol- napol GAM ke tengah masyarakat dengan berbagai dukungan dukungan dana bantuan usaha dan penyediaan rumah, lahan pertanian maupun pembukaan peluang pekerjaan.
Namun janji dalam MoU tersebut di nilai oleh para mantan combatan dan tapol-napol GAM hanyalah sebuah angin surga pemerintah dan jika janji tersebut memang ada direalisasi hanya sebatas para pimpinan GAM.
Seperti di ungkapkan oleh Musliadi alias krengkeng mantan combatan GAM Wilayah Peudawa Idi, Dirinya merasa kecewa terhadap realisasi isi MoU Helsinki yang juga janji pemerintah RI akan memberi lapangan kerja untuk para mantan TNA juga Tapol GAM.
Namun hingga telah 10 tahun perdamaian di Aceh berlalu dirinya dan rekan-rekan eks TNA lainnya tidak memiliki pekerjaan apapun meski telah beberapa kali berupaya meminta pekerjaan pada pimpinan pemerintahan aceh yang saat ini dipimpin oleh para pimpinan GAM yang juga juru runding dalam Penandatangan MoU Helsinki.
Menurut musliadi yang juga mantan napol GAM yang ditahan atas kasus Bom Plaza Medan Mall di sumut, kehidupan dirinya bersama rekan-rekannya tidak berbeda jauh ketika konflik,namun sayangnya hanya sebahagian kecil mantan combatan yang hidup berkecukupan pasca perdamaian.
“ Usia perdamaian sudah 10 tahun tapi kami mantan TNA,jangankan mau diberi rumah ataupun lahan pertanian, peluang lapangan pekerjaan pun tidak diberikan oleh pemerintah,apa arti perdamaian jika toh semua janji pemerintah tidak pernah di realisasi Cuma “Angin Surga”, ujar musliadi kepada wartawan Senin (17/11).
Ketika ditanya mengenai munculnya kelompok eks combatan TNA bersenjata seperti Din minimi yang berlatar belakang menuntut keadilan dalam perdamaian kepada Pemerintahan Aceh yang juga pimpinan GAM.
Musliadi menyatakan dirinya sangat setuju dengan aksi yang dilakukan oleh kelompok tersebut yang juga adalah mantan TNA GAM ketika Aceh masih konflik.
“Meunyoe Pemerintahan Aceh ato pimpinan GAM hana geupakoe mantan teuntra dilapangan maka akan le timoh kelompok laen lom yang beut senjata lake keadilan dalam perdamaian di Aceh”.
(Kalau Pemerintahan Aceh atau Pimpinan GAM tidak memperhatikan nasib mantan Teuntara GAM dilapangan maka akan banyak tumbuh kelompok lain lagi yang angkat senjata tuntut keadilan dalam perdamaian di Aceh), ungkap Musliadi yang telah memiliki 3 orang anak .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.