TJOET NYAK DHIEN, Srikandi Pemberani Aceh Dalam Perang Kolonial Belanda
Atjeh Pusaka - Berbicara masalah gender, Aceh dapat dijadikan contoh bagi daerah lain di Indonesia. Sejarah panjang yang dimiliki daerah ini membuktikan bahwa para wanita Aceh telah mendarmabaktikan dirinya dalam berbagai bidang, baik sebagai pemimpin di tingkat paling rendah sampai dengan pemimpin tertinggi di masyarakat. Dalam struktur masyarakat wanita mempunyai otonomi yang cukup, yang mana tampak pada sebutan po rumoh bagi wanita. (Sufi, 1997). Di bidang lain terlihat dari adanya wanita yang menjadi Sultanah (wanita kepala pemerintahan Kerajaan Aceh), laksamana (pemimpm angkatan perang), uleebalang (kepala kenegerian) dan tidak sedikit yang berperan sebapai pemimpin perlawanan terhadap penjajah.
Peran wanita di Aceh dalam bidang peperangan secara panjang lebar telah diuraikan oleh H.C. Zentgraff. Dia menyebut para wanita Aceh sebagai "de leidster van het verzet" (pemimpin perlawanan) dan grandes dames (wanita-wanita besar). Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh melebihi segala wanita yang lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita kebangsaan dan keagamaannya dan ia berada, baik di belakang layar maupun secara terang-terangan menjadi pemimpin perlawanan tersebut. la rela menerima hidup dalam kancah peperangan. Di balik tangan yang sifat lemah-lembut, kulit halus, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya di tangan wanita Aceh. Zentgraaff (1983: 95) menyatakan kelebihan yang dipunyai oleh wanita Aceh dengan pernyataan sebagai berikut:
"Dari pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang Belanda yang telah melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok Kepulauan Indonesia, bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh, dan kaum wanita Aceh yang melebihi kaum wanita bangsa lainnya, dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan, mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal bukanlah laki-laki lemah dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka".
Tjoet Nyak Dhien
Perang Kolonial Belanda di Aceh
Aceh yang merupakan propinsi yang paling ujung letaknya, di sebelah utara pulau Sumatra, bagian paling barat dan paling utara dari Kepulauan Indonesia. Secara astronomis, Aceh ini terletak di antara 950 13’ dan 980 17’ BT dan 20 8’ dan 50 40’ LU2 (JMBRAS, 1879). Daerah ini mencakup daerah seluas 55.390 Km. Dengan demikian, secara geografis, Aceh mempunyai letak yang sangat strategis. Daerah ini terletak di tepi Selat Malaka. Karena letaknya di tepi Selat Malaka, maka daerah ini penting pula dilihat dari sudut lalu lintas internasional sehingga merupakan pintu gerbang sebelah barat kepulauan Indonesia.
Sejak zaman Neolithikum, Selat Malaka merupakan terusan penting dalam migrasi bangsa di Asia, gerak ekspansi kebudayaan India dan sebagai jalan niaga dunia Selat Malaka adalah jalan penghubung antara dua pusat kebudayaan Cina dan India. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila wilayah sekitar Selat Malaka selalu mempunyai peranan penting sepanjang gerak sejarah Indonesia. Muncul dan berkembangnya kerajaan di sekitar wilayah ini tidak mungkin kita pisahkan dari letak georafisnya yang sangat strategis tersebut.
Karena keadaan geografis yang strategis ini membawa dampak Aceh banyak didatangi oleh berbagai bangsa asing dengan berbagai macam motif dan kepentingan, baik budaya, politis, maupun ekonomis. Dengan berbagai motif dan kepentingan tersebut akan dapat membawa dampak positif dan negatif pula bagi perkembangan sejarah Aceh itu sendiri.
Bangsa Asing lain yang berusaha menancapkan kuku kekuasaannya di bumi Aceh adalah Belanda. Rintisan permakluman perang Aceh oleh Belanda diumumkan oleh komisaris pemerintah yang merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda F.N. Nieuwenhuijn, diawali dengan penandatanganan Traktat Sumatra antara Belanda dan Inggris dalam tahun 1871, yang antara lain "memberi kebebasan kepada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatra", sehingga tidak ada kewajiban lagi bagi Belanda untuk menghormati hak dan kedaulatan Aceh yang sebelumnya telah diakui, baik oleh Belanda maupun lnggris seperti yang tercantum di dalam Traktat London yang ditandatangani pada tahun 1824.
Pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873 dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen - yang berlabuh di antara pulau Sabang dengan daratan Aceh - Belanda memaklumkan perang kepada Aceh. Mulai saat itu, Aceh tertimpa malapetaka dan Belanda sendiri menghadapi suatu peperangan yang paling dahsyat, terbesar, dan terlama semenjak kehadirannya di Nusantara
Namun demikian, permakluman perang tersebut tidak serta merta diikuti dengan kegiatan fisik militer karena Belanda masih menunggu terhimpunnya kekuatan perangnya yang sedang bergerak menuju Aceh dan kapal-kapal perang Belanda yang telah tiba di Aceh terus melakukan pengintaian dan provokasi di perairan Aceh. Selain itu, Belanda mengirim surat kepada Sultan yang meminta agar ia mengakui kedaulatan Belanda. Dinyatakan pula bahwa Aceh telah melanggar pasal-pasal perjanjian pada tahun 1857. Batas waktu yang diberikan 1 x 24 jam oleh Belanda kepada Sultan Aceh menunjukkan bahwa Belanda benar-benar akan menyerang. Jawaban yang diberikan Sultan jauh dari memuaskan bahkan ditegaskan bahwa di dunia tidak seorang pun yang berdaulat kecuali Allah semata (Said, 1961: 397).
Dihadapkan dengan kenyataan perang yang akan segera meletus, maka Aceh melakukan mobilisasi, baik di sekitar pantai yang berhadapan langsung dengan armada Belanda seperti di sekitar Ule Lheue, Pantai Ceureumen, Kuta Meugat, Kuala Aceh maupun di tempat strategis lainnya serta pusat-pusat kekuatan di Mesjid Raya, Peunayong, Meuraksa, Lam Paseh, Lam Jabat, Raja Umong, Punje, Seutuy, dan di sekitar Dalam (Kraton Sultan).
Kemudian, pantai Ceureumen pun menjadi lautan darah. Banyak anggota pasukan Belanda dan rakyat Aceh yang gugur. Menurut catatan para pejuang Aceh yang gugur diperkirakan 900 orang (Reid, 1969: 21-35). Walaupun demikian, penyerangan pertama Belanda ini dianggap gagal karena serangan ini tidak berhasil menundukkan Aceh. Di samping kuatnya perlawanan, kurangnya informasi tentang Aceh serta keadaan musim yang tidak menguntungkan menjadi sebab serangan pertama Belanda ini gagal.
J.H.R. Kohler sebagai panglima perang pun tewas tertembak oleh seorang anggota pasukan Aceh di dekat Masjid Raya. Belanda tidak dapat menguasai kraton. Mereka dipukul mundur dengan menderita kekalahan berat, 45 orang tewas termasuk 8 opsirya serta 405 orang luka-luka diantaranya 23 opsir. Pada tanggal 29 April 1873 pasukan Belanda ditarik kembali ke Batavia (Sofyan, 1990: 85).
Hal ini menunjukkan bahwa Belanda tidak tahu kondisi Aceh secara menyeluruh. Semula Belanda menduga Aceh dapat ditaklukkan dengan mudah seperti daerah-daerah lain di Indonesia. Menurut Belanda pada saat itu Aceh berada dalam masa kemunduran apabila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, baik dari segi politik maupun segi ekonomi. Tentang ini Kraijnhoof, misalnya, menyimpulkan bahwa situasi pemerintahan kesultanan Aceh lemah dan perlengkapan militer tidak berarti dibandingkan dengan Belanda. Oleh karena itu, Belanda berani menyerang Aceh. Namun kenyataanya perang Belanda di Aceh tidak hanya mencakup masalah ekonomi dan politik, tetapi ada segi-segi lain yang tidak diperhitungkan oleh Belanda, sehingga Belanda menelan kekalahan (Ahmad, dkk, 1993:4).
Kegagalan ekspansi pertama ini menyebabkan pemerintah Belanda melipatgandakan pasukannya untuk menundukkan Aceh. Untuk itu, Pemerintah Hindia Belanda memanggil seorang pensiunan jenderal, J. Van Swieten. la diangkat sebagai panglima perang pada agresi kedua ini dengan kekuatan 249 perwira dan 6.950 tentara (Sofyan, 1990: 28). Dipundaknya terdapat tugas berat untuk menyerang dan merebut Aceh dan kepadanya juga diberi wewenang mengadakan perjanjian dengan sultan. Selain menjadi panglima perang, ia diangkat pula sebagai Komisaris Pemerintah Hindia Belanda di Aceh.
Sejak itulah pemerintah Belanda dengan bermacam-macam siasat politiknya berusaha menaklukkan seluruh Aceh seperti yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Pembesar kerajaan, panglima dan rakyat Aceh yang masih mencintai kemerdekaan mengungsi ke pedalaman dan mengadakan perlawanan. Pada waktu Seulimum jatuh pada tahun 1879 dapat dikatakan seluruh Aceh Tiga Sagi berada dalam kekuasaan Belanda dan pemerintahan sipil pun berjalan dengan lancar (Jakub, 1952: 21).
Kaum pejuang mundur ke daerah yang masih merdeka Sultan. Muhammad Daud yang masih kecil itu serta pengiringnya mengungsi ke pedalaman di Keumala, daerah Pidie, sedangkan rakyat pejuang mundur ke Gunung Biram Lamtamot, di kaki Gunung Seulawah. Mereka tidak mau menyerah, biar mati dalam hutan, asal jangan ditangkap musuh. Namun perlawanan secara teratur tidak ada lagi.
Kaum pejuang yang berada di kaki Gunung Selawah tersebut lama kelamaan tidak sabar dan menderita terus-menerus dalam hutan menahan gigitan nyamuk Malaria dan kekurangan makanan. Oleh karena itu, muncullah kemudian dua golongan di kalangan kaum pejuang tersebut, ada yang terpaksa menyerah pulang ke kampung halaman karena tidak tahan menderita lebih lama. Ada pula yang mendaki Seulawah menuju daerah Pidie mencari bantuan untuk meneruskan perjuangan.
Dengan demikian, dalam kondisi yang amat genting di mana kraton, mesjid raya, wilayah lainnya dikuasai Belanda sata semangat pejuang yang mulai menurun amatlah tepat kalau kemudian muncul kepemimpinan Tgk Sjech Muhammad Saman Dia seorang pejuang yang mendengungkan perang di jalan Allah, Perang Sabil. Siapa pun yang mati di medan perang, maka disebut mati syahid, surgalah ganjarannya. Pada akhirnya, perang dikumandangkan menyebar ke seluruh wilayah Aceh. Seluruh lapisan masyarakat bahu-membahu mengangkat senjata untuk mengusir Belanda dari bumi Aceh.
Masa Remaja hingga Masa Dewasa
Cut Nyak Dhien dilahirkan pada tahun 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI mukim, Aceh Besar. la merupakan seorang putri uleebalang yang berdarah pahlawan, Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI mukim, bagian wilayah XXV mukim. Teuku Nanta Seutia berasal dari keturunan Machoedoem Sati, seorang perantau dari daerah Sumatera Barat. la diperkirakan datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir (1711-1733).
Machoedoem Sati kemudian berpindah ke muara sungai Woyla, perbatasan daerah Pidie, kampung itu bernama Kuala Bhee dan menetap di sana. Atas jasajasanya pada Sultan Aceh, Machoedoem Sati diberi kekuasaan di VI mukim untuk turun temurun dan namanya diganti menjadi Nanta Seutia Raja. la kemudian memiliki dua orang putera yang diberi nama Teuku Nanta Seutia dan Teuku Cut Mahmud.
Teuku Nanta Setia yang kemudian menjadi penerus uleebalang VI mukim. la adalah ayah Cut Nyak Dhien, sedangkan Teuku Cut Mahmud menikah dengan adik raja Meulaboh Cut Mahani. Hasil perkawinan ini lahirlah 4 orang putera, salah seorang diantaranya adalah Teuku Umar (yang kemudian menjadi suami ke 2 Cut Nyak Dhien setelah suami pertama syahid). Oleh karena itu bukanlah suatu kebetulan kalau dalam tubuh Nyak Dhien bersemi semangat kepahlawan yang luar biasa.
Seperti lazimnya pada masyarakat bangsawan di Aceh, perjodohan antara sesama kerabat bangsawan menjadi hal yang lumrah. Di saat Cut Nyak Dhien menginjak 12 tahun, ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak saudara laki-laki dari pihak ibunya yang bernama Teuku Ibrahim. Putra Teuku Po Amat, uleebalang Lam Nga XIII mukim Tungkop, Sagi XXVI mukim Aceh Besar. Teuku Ibrahim anak seorang uleebalang, tetapi juga disebabkan ia seorang pemuda yang taat kepada agama, berpandangan luas, seorang alim yang memperoleh pendidikan agama dari Dayah Bitay.
Pernikahan mereka dilangsungkan secara meriah. Teuku Nanta mendatangkan penyair terkenal Do Karim untuk membawakan syairnya dihadapan para undangan. Syair-syair yang dibawakannya mengandung ajaran-ajaran agama yang sangat berguna bagi pegangan hidup. Setelah Cut Nyak Dhien dan Teuku Ibrahim merasa sudah cukup siap mandiri membiayai rumah tangganya mereka pindah ke rumah yang telah disediakan oleh Teuku Chik Nanta untuk mereka.
Pecahnya perang Aceh melawan kolonial Belanda 1873 menggerakkan seluruh rakyat Aceh untuk berjuang mengusir kolonial. Sultan Aceh, uleebalang-uleebalang beserta rakyatnya bersama-sama mempertahankan Aceh dan serangan Belanda Masjid raya dan kraton dipertahankan mati-matian oleh pasukan Aceh. Akhirnya, masjid raya jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 6 Januari 1874. Kraton terusmenerus dihujani oleh peluru dan dapat dikuasai oleh Belanda pada tanggal 31 Januari 1874.
Selama berkecamuknya peperangan Teuku Chik Ibrahim meninggalkan Cut Nyak Dhien di Lam Padang untuk berjuang. Oleh karena itu, Teuku Chik Ibrahim jarang berada di rumah. Bersama dengan Teuku Imeum Leung Bata maju ke perbatasan VI mukim dan berusaha menaklukkan Meuraxa. Belanda semakin gencar untuk menundukkan daerah-daerah lainnya di luar Kraton dan Mesjid Raya.
Pasukan Belanda bergerak terus menuju wilayah IX mukim dan pasti akan menuju ke VI mukim. Berbulan-bulan Teuku Chik Ibrahim tidak bertemu dengan Cut Nyak Dhien. Kedatangannya ingin mengabarkan bahwa Cut Nyak Dhien dan rakyat VI mukim harus meninggalkan Lam Padang mengungsi ke tempat yang aman dan menyiapkan bekal karena akan melakukan perjalanan panjang. Pada tanggal 29 Desember 1875 rombongan Cut Nyak Dhien meninggalkan Lam Padang.
Pasukan Teuku Nanta dan Teuku Chik Ibrahim yang bermaksud mempertahankan VI mukim akhirnya harus menyingkir akibat serangan Belanda yang dipimpin oleh Van Der Hayden. Akhirnya, daerah VI mukim berhasil dikuasai oleh Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1878 dalam suatu pertempuran di Lembah Beurandeun Gle' Taron, kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim, Teuku Ibrahim dan beberapa pengikutnya syahid. Menurut Szkely Lulofs (1951) penyebab peristiwa itu, selain persenjataan Belanda yang lebih unggul, juga karena adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang yang bernama Habib Abdurrahman (Hazil, 1952: 4142; Sufi, 1994: 84).
Kekecewaan dan kesedihan sebagai akibat ditinggal suaminya dan darah kepahlawanan yang mengalir dari keluarganya menjadi dasar yang kuat bagi perjuangan Cut Nyak Dhien, bahkan ia pernah berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut bela terhadap kematian suaminya (Hazil, 1952: 43).
Adalah suatu hal yang tepat apabila kemudian datang laki-laki yang bersedia, membantu Cut Nyak Dhien membalaskan dendamnya kepada Belanda dengan melakukan perjuangan dalam peperangan. Setelah beberapa bulan menjanda, ia dipinang oleh Teuku Umar yang kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri. Teuku Umar yang berjiwa muda, keras dan jalan pikirannya yang tidak mudah diduga-duga, berbeda dengan Cut Nyak Dhien yang lembut, agung, bijaksana, tabah dan sabar. Dua pribadi yang bertolak belakang. Mulanya Cut Nyak Dhien menolak pinangan itu, tetapi karena Teuku Umar memberi restu apabila Cut Nyak Dhien ikut dalam peperangan secara langsung, ketimbang di rumah saja.
Bersatunya dua kesatria ini mengobarkan kembali semangat juang rakyat Aceh. Kekuatan yang telah terpecah kembali dipersatukan. Belanda di Kutaraja mendengar juga pernikahan antara Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Uleebalang yang memihak Belanda merasa kecut juga mendengar pernikahan mereka. Adapun Tgk Chik di Tiro dan kawan-kawan seperjuanganya amat mendukung pernikahan mereka. Apalagi mereka berdua terjun langsung ke dalam medan peperangan.
Bukti dari ampuhnya persatuan kedua pejuang Aceh ini adalah dapat direbut kembali wilayah VI mukim dari tangan Belanda. Cut Nyak Dhien dapat pulang ke kampung halamannya lagi. Ketika itu ayah Cut Nyak Dhien, Nanta, sudah sangat tua. Oleh karena itu, Cut Rayut diangkat menjadi uleebalang pengganti Nanta. Namun sesungguhnya, pengangkatan ini hanya sekedar kamuflase saja. Dengan diangkatnya Cut Rayut sebagat uleebalang, Cut Nyak Dhien akan bebas menjalankan politik dalam perjuangan Aceh. Kemudian, Cut Nyak Dhien kembali membangun rumah tangganya dengan Teuku Umar di Lampisang. Rumah ini menjadi markas pertemuan para tokoh pejuang dan alim ulama yang mengobarkan semangat jihad fisabilillah.
Selama Cut Nyak Dhien mendampingi Teuku Umar banyak hal yang dapat dijadikan sebagai sebuah pengalaman yang menarik. Teuku Umar adalah sosok pejuang rakyat yang unik, ia dicintai rakyat tetapi la pernah dibenci juga. Taktik Teuku Umar di dalam peperangan menghadapi Betanda tergolong "aneh" bagi orang lain dan juga Cut Nyak Dhien. la pernah membantu Belanda, atas permintaan Gubernur Aceh Loging Tobias, untuk membebaskan Kapal Inggris yang terdampar kemudian disita oleh Teuku Imam Muda Raja Tenom.
Namun pada saat itu terjadi penyerangan terhadap awak kapal yang dilakukan oleh anak buah Teuku Umar. Sesudah peristiwa tersebut Teuku Umar kembali ke Lampisang dan ia tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Karena itu Belanda kembali bersatu dengan pejuang Aceh, tetapi pejuang Aceh tidak yakin tekad baik Teuku Umar. Persoalan ini selesai setelah kapal Nisiero baru dapat diselesaikan setelah Belanda membayar tebusan sebesar 100.000 dollar kepada Raja Tenom (Reid, 1969: 218-249).
Kejadian lain adalah ketika pada tanggal 14 Juni 1886 Teuku Umar kembali mengadakan serangan terhadap kapal Hok Canton. Kapal ini berlabuh di pantai Rigaih. Waktu itu Hansen beserta istrinya dan juru mudi Faya ditawan. Karena Hansen meninggal, maka istrinya dan Faya dibawa ke gunung. Belanda berusaha untuk mencari kontak dengan Teuku Umar, tetapi tidak ada hasilnya. Sekali lagi Gubemur Aceh menyerahkan tebusan sebesar 25.000 dollar (Sartono Kartodirdjo, 1977: 219-220). Kali ini uang itu diberikan kepada Teuku Umar. Oleh Teuku Umar, uang itu dibagi-bagikan kepada para pejuang Aceh sebagai bukti kesetiannya kepada Aceh.
Teuku Umar kemudian menjalankan tugas dari Belanda untuk merebut daerah-daerah yang masih dikuasai oleh pejuang Aceh, yang berhasil dijalankan dengan baik oleh Teuku Umar. Namun dalam kenyataannya, apa yang dilakukan oleh Teuku Umar tersebut merupakan sebuah sandiwara besar yang dibuatnya bersama dengan istrinya, Cut Nyak Dhien.
Oleh karena itu, setelah tidak beberapa lama kemudian (kurang lebih 3 tahun), Teuku Umar pada tanggal 29 Maret 1896 ia kembali membawa pasukannya untuk bergabung kembali dengan pejuang Aceh beserta perlengkapan persenjataan pemberian Belanda. Mengetahui tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Teuku Umar, Belanda mencabut jabatan sebagai panglima perang, gelar kebesaran "Johan Pahlawan" dan menyatakan perang terhadap Teuku Umar. Rumahnya di Lampisang dibakar dan dihancurkan oleh Belanda.
Akhirnya, Teuku Umar beserta Cut Nyak Dhien pergi ke daerah Barat Aceh dan bertempur habis-habisan melawan Belanda. Selama itu pula Belanda terus mengejar keberadaan pasukan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar berniat menyerang kedudukan Belanda di Meulaboh. Ternyata rencana Teuku Umar ini telah diketahui oleh pihak Belanda. Belanda menanti pasukan Teuku Umar di daerah Suak Ujung Kalak Meulaboh. Di daerah ini kemudian menjadi daerah pertempuran. Teuku Umar sahid tertembak peluru dari pihak Belanda. Jenazahnya dibawa oleh pasukan Aceh ke daerah lain (Ibrahim, 1996: 68). Kematian Teuku Umar didengar oleh Cut Nyak Dhien. Walaupun Teuku Umar telah sahid, Cut Nyak Dhien tidak menyerah kepada Belanda. la bertekad untuk melanjutkan perjuangan Teuku Umar.
Sejak terjunnya Cut Nyak Dhien ke arena peperangan secara langsung, bukan hanya ratusan korban yang timbul, tetapi ribuan jiwa dan jutaan uang. Sebagai pemimpin ia tidak pernah merasa lelah dan takluk. la seorang yang fanatik dan tabah. Mampu merasakan pahit perjuangan bersama-sama dengan pengikutnya. Masuk dan keluar belantara, naik dan turun gunung hingga ia uzur dan rabun tetap rencong terselip di pinggangnya dan siap terhunus untuk musuhnya.
Cut Nyak Dhien juga mendapat dukungan yang begitu besar dari temanteman seperjuangan, setiap saat ia selalu memberikan semangat untuk memerangi kaphe kompeni melalui fatwa yang dikeluarkannya. Senandung syair-syair perang sabil selalu dikumandangkannya. Cut Nyak Dhien didukung oleh uleebalang Meulaboh, Datuk-datuk, penghulu dan lain-lain. Mulai dari yang tinggi sampai rakyat biasa dapat dipengaruhi oleh Cut Nyak Dhien supaya memihaknya. Tulisan C. Van der Pal (Said, 1961) menyatakan bahwa:
"Apa yang mereka lakukan adalah pada pokoknya karya Cut Nyak Dhien sendiri. Serangan-serangan kelewang yang hebat-hebat dialami oleh Belanda umumnya digerakkan oleh pejuang-pejuang atas perintah Cut Nyak Dhien sendiri. Untuk selanjutnya segala perjuangan yang ada di Aceh, terutama di Aceh Besar adalah menurut petunjuknya".
Teuku Mayet di Tiro dan Cut Gambang anak dan menantunya yang hingga Cut Nyak Dhien berada dalam pembuangan tetap melakukan gerilya di hutan belantara Tangse dan mati syahid dalam pernyerbuan Betanda dibawah komando Schmidt di bulan Agustus 1910. Banyak lagi pejuang-pejuang lainnya yang menjadi Pendukung perjuangan Cut Nyak Dhien.
Sebaliknya Belanda juga tidak henti-hentinya mengejar kemanapun gerilyawan Cut Nyak Dhien dan pengikutnya diperkirakan berada serta, terus diadakan penggerebekan dan penyerbuan-penyerbuan. Cut Nyak Dhien berusaha keras untuk menghindarkan diri dan setiap usaha tentara Belanda untuk menangkapnya dengan cara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Tempat persembunyiannya tidak pernah diketahui oleh masyarakat biasa, banyak ketentuan-ketentuan yang diberlakukan, diantaranya penyamaran dan memakai anak-anak kecil sebagai mata-mata. Persembunyiannya hanya terbuat dari gubuk yang ditutupi dedaunan, dilarang pemakaian api karena dapat memberikan petunjuk dengan adanya kepulan asap. Tempat menuju ke persembunyiannya dibuat menyesatkan, untuk menjaga keselamatan diadakan penjagaan oleh pengikutpengikutnya secara bergantian.
Sebagai seorang yang telah terbiasa oleh suasana perang mulai dari pengalaman orang tua dan suaminya Teuku Cik Ibrahim dan Teuku Umar, dan juga beberapa orang saudaranya yang lain, memberikan rasa dendam dan ketegaran yang cukup mengakar di dalam batinnya. Cut Nyak Dhien adalah seorang ibu dan seorang pemimpin di mata rakyat, memberikan ketenteraman dan harapan-harapan di dalam hati rakyat untuk sebuah kemerdekaan dan kedamaian.
Ada dua orang Belanda yang cukup terkenal pada masa perjuangan Cut Nyak Dhien yaitu Van Heutsz dan Van Daalen. Banyak sudah korban berjatuhan, selama Van Heutsz memimpin tentara di Aceh (1898-1904), kerugian yang diderita oleh rakyat Aceh telah berjumlah 20.600 orang. Pada tanggal 8 Februari 1904 Van Daalen melakukan perjalanan panjang (long march) selama 163 hari ke pedalaman Aceh. la disertai 10 brigade marsose. Tujuannya untuk menumpas habis perlawanan rakyat Aceh yang masih aktif di Tanah Gayo (Aceh Tengah dan Aceh Tenggara). Selama perjalanan itu beberapa daerah pejuang Aceh berhasil ditaklukan.
Akibatnya ruang gerak gerilyawan semakin terbatas, meskipun demikian semangat perlawanan Cut Nyak Dhien tidak pernah padam, tetapi pendukungnya semakin melemah kekuatannya, baik secara fisik maupun mental. Secara fisik terlihat dengan situasi yang serba kekurangan bahan makanan dan obat-obatan. Untuk memperoleh makanan gerilyawan tidak lagi bebas berkeliaran di desa-desa karena setiap gerak-gerik yang mencurigakan ditangkap oleh marsose. Mereka hanya memakan daun dan umbi-umbian yang ada di dalam hutan, dan berteduh pada gubuk-gubuk darurat yang siap untuk ditinggalkan guna menghindari pengejaran kompeni.
Mental mereka juga mengendur dengan adanya penghacuran-penghacuran yang dilaksakan oleh kompeni terhadap kubu-kubu pertahanan tanpa meninggalkan satu manusia pun tersisa. Selain itu, sering pula dilakukan penyandraan terhadap istri dan anak-anak mereka agar, gerilyawan itu menyerahkan diri, dan mop seperti ini tampanya sangat mengena.
Cut Nyak Dhien menderita bersama pengikut-pengikutnya tanpa apapun yang dialaminya. Harta benda habis pada suatu penyerbuan yang tiba-tiba dari pihak Belanda di bulan April 1905.
Selama enam tahun Cut Nyak Dhien memimpin perjuangan bersama pengikutnya. Kerentaan karena usia, penyakit encok, dan rabun melemahkan tubuhnya. Sumber makanan yang tidak pasti karena benar-benar telah habis. Penderitaan yang begitu berat membuat iba Pang Laot selaku panglimanya. Suatu saat pernah disampaikannya perasaan ini kepada Cut Nyak Dhien untuk menghentikan perlawanan. Kemarahan, kemurkaan, dan caci maki yang diterima oleh Pang laot dari Cut Nyak Dhien, dengan suara keras dan murka Cut Nyak Dhien berkata: Lebih baik aku mati di rimba ini daripada menyerah kepada kafir.
Walaupun demikian Pang Laot dengan berat hati mengkhianati Cut Nyak Dhien. la memutuskan untuk melapor kepada Belanda. Pang Laot memunculkan diri di bivak Belanda yang dipimpin oleh Letnan Van Vuuren. Kehadirannya memunculkan kecurigaan, tetapi karena Pang Laot datang untuk berunding dan menyerahkan Cut Nyak Dhien, maka Letnan Van Vuuren menyambut baik kedatangannya. Van Vuuren membawa Pang Laot kepada atasannya Van Veltman. Perundingan diadakan, Pang Laot bersedia menyerahkan Cut Nyak Dhien dengan syarat Cut Nyak Dhien harus dijaga sebaik-baiknya, perundingan pun disepakati.
Atas kesepakatan bersama Pang Laot mencari Cut Nyak Dhien ke Pameue. Pada tanggal, 23 Oktober 1905 Van Veltman mengerahkan pasukannya sebanyak 6 brigade (satu brigade sebanyak 20 bayonet). Pencariaan pertama masih mengalami kegagalan. Pada suatu tempat di dalam rimba yang diperhitungkan gubuk milik Cut Nyak Dhien diadakan penyergapan. Walaupun kedatangan pasukan marsose yang mengejutkan pasukan Cut Nyak Dhien yang tinggal sedikit jumlahnya masih sempat melakukan perlawanan. Perlawan yang tidak berimbang dan tergesa-gesa mengakibatkan banyaknya timbul korban. Panglima Habib Panjang yang saat itu ditugaskan Cut Nyak Dhien menjaga disitu tewas ketika hendak menyelamatkan anak buahnya (Said, 1961).
Perjalanan untuk pencarian Cut Nyak Dhien dilanjutkan, Pang laot dan Van Veltman memutuskan untuk mencarinya ke hutan-hutan Beutong. Untuk menempuh tempat ini tidaklah mudah harus naik turun gunung dan melewati hutan-hutan besar. Tiga hari lamanya perjalanan baru mencapai Beutong. Itu pun Van Veltman dan pasukannya tidak menemukan apa-apa, semua jejak telah dihapus. Pang Laot mengusulkan untuk menunggu hingga bekal habis.
Pada 7 Nopember 1905, di saat seorang anak kecil kurir Cut Nyak Dhien tertangkap oleh Pang laot, maka terungkaplah dimana pondok persembunyian Cut Nyak Dhien. Gerak cepat Van Veltman memerintahkan anak buahnya untuk menyerang pondok tersebut. Saat itu Cut Nyak Dhien sedang bersama Cut Gambang. Perlawanan tetap dilakukan, Cut Gambang sempat melarikan diri dengan luka di dadanya (Said, 1961).
Cut Nyak Dhien sudah begitu uzur, matanya rabun, berjalan pun hanya ditandu oleh pengawalnya. Amarahnya begitu memuncak kepada Pang Laot dan Kompeni. Caci maki dan sumpah serapah dilontarkan Cut Nyak Dhien kepada keduanya. Van Veltman menberikan rasa hormat kepada Cut Nyak Dhien, tetapi Cut Nyak Dhien merasa ini tidak ada artinya sama sekali, karena ia merasa lebih baik mati dari pada harus tunduk kepada kompeni.
Sesuai dengan kesepakatan antara Pang Laot, Letnan Van Vuuren dan Kapten Van Veltman maka Cut Nyak Dhien dibawa ke Kutaradja. Cut Nyak Dhien diperlakukan sebagaimana layaknya seorang Puteri bangsawan dengan makanan, pakaian, dan pelayanan yang baik. Simpati rakyat tidak pernah berkurang kepadanya. Dalam tahanan di Kutaradja berganti-gantian rakyat menjenguknya. Hal ini pula yang menimbulkan kecemasan kepada pemerintah kolonial. Van Daalen yang saat itu sebagai Gubernur Belanda di Kutaradja tidak menghendaki suasana ini karena dianggap akan membahayakan, karena kemungkinan antara rakyat dengan Cut Nyak Dhien masih dapat dilakukan. Disebabkan hal di atas pada tahun 1907 Cut Nyak Dhien diasingkan ke Sumedang. Pada tanggal 6 November 1908 Cut Nyak Dhien meninggal dalam pengasingan jauh dari keluarga dan rakyat yang dicintainya.
Hari Hari Terakhir Tjoet Nyak Dhien Di Pengasingan
Sumedang, 6 November 1908
Atjeh Pusaka - HARI itu.. tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan titipan pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua renta, rabun serta menderita encok, seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tampak tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.
Belakangan karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria tidak menempatkannya di penjara, melainkan memilih tempat disalah satu
rumah tokoh agama setempat. Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta penderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 6 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan itu.
Perjalanan sangat panjang telah ditempuh perempuan itu sebelum akhirnya beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatan yang sangat buruk, perempuan tua itu nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannya pun terbatas hanya berdzikir atau mengajar mengaji ibu-ibu dan anak-anak setempat yang datang berkunjung. Sesekali mereka membawakan pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang santun itu, yang belakangan karena pengetahuan ilmu-ilmu agamanya disebut dengan Ibu Perbu.
Hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintai. Gadis kecil cantik dan cerdas dipanggil Cut Nyak dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat di Lam padang tahun 1848. Ayahnya adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia, keturunan perantau Minang pendatang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.
Tumbuh dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat membuat gadis kecil Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Di usianya yang ke 12 dia kemudian dinikahkan orangtuanya dengan Teuku Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII.
Suasana perang yang meggelayuti atmosfir Aceh pecah ketika tanggal 1 April 1873 F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh. Sejak saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh, dan Tjoet Nyak tentu ada disana. Diantara tebasan rencong, pekik perang wanita perkasa itu dan dentuman meriam, dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan dibakar tentara Belanda...
“..Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh ! Lihatlah !! Saksikan dengan matamu Masjid kita dibakar !! Tempat Ibadah kita dibinasakan !! Mereka menentang Allah !! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kaphe (kafir) Belanda !!". Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata (Szekely Lulofs, 1951:59).
Dua tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.
Tetapi bagi Tjoet Nyak, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar, atau Teungku Ibrahim Lamnga suaminya, bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia ayahnya, atau para lelaki Aceh. Perang Aceh adalah milik semesta rakyat.. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Nyak, dia tetap mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.
Bertahun-tahun kemudian, segala energi dan pemikiran putri bangsawan itu hanya dicurahkan kepada perang mengusir penjajah.. Berpindah dari satu tempat persembunyian ke persembunyian yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain, kurang makan dan kurangnya perawatan membuat kondisi kesehatannya merosot. Kondisi pasukanpun tak jauh berbeda.
Makam Cut Nyak Dhien di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat
Perjuangan Tjoet Nyak Dhien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing hingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.
Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berbicara tentang persamaan hak yang bernama emansipasi perempuan.
Tjoet Nyak, "The Queen of Aceh Battle", wanita perkasa, pahlawan yang sebenarnya dari suatu realita jamannya.. berakhir sepi di negeri seberang.. Innalillahi wainna ilaihi raji'un. (dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.