Kesultanan Aceh Darussalam 1496–1903
Sejarah
Kesultanan Aceh Darussalam
merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia.
Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera
dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan
pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H
atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya
yang panjang itu (1496
- 1903),
Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam
menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur
dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan
menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan
oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya
kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan
Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan
sekitarnya mencakup Daya, Pedir,
Lidie, Nakur. Selanjutnya pada
tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan
Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah
digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga
tahun 1537.
Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang
berkuasa hingga tahun 1571.
Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap
sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya
atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan
paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang
sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena
kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan
orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari
Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan
dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya
sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan
berikutnya.
Kesultanan Aceh mengalami
masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta
Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang
merupakan sumber timah
utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis
di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000
tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka
dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang
sama Aceh menduduki Kedah
dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin
Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan
perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul
Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke
Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu
Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan
Aceh.
Kemunduran
Kemunduran Aceh disebabkan
oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di
pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau,
Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan
kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Hal ini bisa ditelusuri
lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian
peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat
kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan
Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa
di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus
melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir
Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun
beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa
nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris
sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah,
mesjid raya,
Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan
ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam
mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Singkily melakukan
berbagai reformasi
terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal
ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa
penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal
perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada
masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan
Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan
mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang
saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles
dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang
kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol)
dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam
perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar
Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah
berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia
berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang
sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan
wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh
Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk
meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari
daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.
Sultan juga berusaha
membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda.
Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki
Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea.
Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk
Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis
dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden
Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan
serius. Kemunduran terus
berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk
kekuasaan.
Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku
Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan
ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan
seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum
moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima
Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.
Pada akhir November 1871,
lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk
perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan."
Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari
negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan
ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu
tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di
Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun
nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga
tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri
menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin
Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh
Perang Aceh
dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret
1873 setelah melakukan
beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda
menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil
mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada
Belanda agar merangkul para Ulèëbalang,
dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa
Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose
dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar
habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud
Syah akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta
ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima
Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul
pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama
keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau
lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.
Pemerintahan
Sultan Aceh
Sultan Aceh atau Sultanah
Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya
berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam
Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga
tahun 1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya
akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman
Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat
maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi
Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar
"Jiname Aceh" (mas kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai
seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi.
Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak
Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya,
Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông
Pande.
Lambang kekuasaan tertinggi
yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai
yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai
kekuatan hukum.
Perangkat Pemerintahan
Perangkat pemerintahan
Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan
pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
Ø Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri,
yang anggota-anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga
ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
Ø Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Maiikul Adil,
yang beranggolakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan
Rakyat sekarang.
Ø Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri
Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk
sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
Ø Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang
dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira
Departemen Perdagangan.
Ø Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan
perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb;
kira-kira Departemen Pertahanan.
Ø Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja
Panglima Wazir Mizan; kirakira Departemen Kehakiman.
Ø Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan
perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang
Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
Ø Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi
Kesultanan diantaranya
Ø Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
Ø Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
Ø Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang;
kira-kira Menteri Dalam Negeri.
Ø Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil
dan pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
Ø Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat
negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir
Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.
Ulèëbalang & Pembagian
Wilayah
Pada waktu Kerajaan Aceh
sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan
lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain
yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua
daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe,
disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap
daerah ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah
(1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung)
Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah.
Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan
Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe.
Berikut pembagian
tiga segi (Lhée Sagoe):
Sagoe
XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya
bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala
wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
Sagoe XXV
Mukim, yang Kepala Sagoenya
bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala
Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
Sagoe
XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya
bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala
Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat
Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian
gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid untuk melakukan
shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie. Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua
daerah memiliki hak otonom yang luas Ulèëbalang
yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori
adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap
Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan
Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di
pedalaman.
Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung. Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:
Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung. Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:
“ Demi Allah, kami sekalian
hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing
kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini
semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat
setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua
ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan
kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh,
kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat
dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik.
Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji
seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami
semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu
kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah
dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun.
Wassalam.” - Sumpah Ulee Balang
Dokumen sumpah itu kemudian
disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah
Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya
hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya,
dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai
penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya
menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.
Diakhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu,
melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan mesjid dan
tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa
melakukan ibadah haji.
Perekonomian
Aceh banyak memiliki
komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
Selain itu di ibukota juga
banyak terdapat pandai emas,
tembaga,
dan suasa yang mengolah barang
mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.]Namun
di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi
pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta
dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta
diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya
diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu
Rigas, Teunom, dan Meulaboh.
Kebudayaan
Arsitektur
Gunongan dan Kandang
Baginda (Balai Kembang Cahaya).
Tidak terlalu banyak
peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud
Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari
Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah
berubah menjadi Kraton Meuligoe yang digunakan sebagai Pedopo Gubernur Aceh.
Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena
ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya
Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli
telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada
masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng
Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman
Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan beserta Taman
Ghairah yang luas dipusat Kota Banda Aceh.
Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di
Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat.
Hikayat yang terkenal diantaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan
tokoh heroik Malem Dagang dalam settingan penyerbuan Malaka oleh Angkatan Laut
Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Bhikayat Malem Diwa, hikayat Banta Beuransah,
Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, hikayat Pocut Muhammad, hikayat Perang
Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah Abdullah Hadat dan hikayat Prang Sabi.
Salah satu karya
kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (taman para
raja) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Taj al-salatin (1603), Sulalat
al-Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula
penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah
Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia
Orang yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang
Berahi), Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan),
Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair
Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama
Para ulama Aceh banyak
terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tengga.
Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil
wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al
Baidlawy ke dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud
Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi
yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya
menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath
al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.
Militer
Militer
Pada masa Sultan Selim II
dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh.
Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam
sendiri dari kuningan.
Tradisi kesultanan
Ø Tradisi Meugang
Ø Tradisi Peusijuk
Ø Tradisi Tung Dara Baro
Ø Tradisi Minum Kopi
Ø Tradisi Kenduri Apam
Ø Tradisi Mano Meupa
Ø Tradisi Pelantikan Sultan Aceh
Gelar
Ø Sultan
Ø Sultanah
Ø Teungku
Ø Tuanku
Ø Pocut
Ø Teuku
Ø Cut
Ø Meurah
Pewaris Kesultanan Aceh
Keturunan atau keluarga
Kesultanan Aceh saat ini hidup sebagai rakyat biasa, mereka tinggal dirumah
yang sama seperti masyarakat pada umumnya, Tuanku Raja Yusuf merupakan salah
satu keturunan dari Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, saat ini beliau
bekerja sebagai pegawai negeri, beliau juga sering diundang untuk menghadiri
acara-acara penting yang berhubungan dengan Kesultanan Aceh.(Sumber Wikipedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.