Atjeh
Pusaka - Jakarta
Senator asal Aceh, Drs H
Tengku Ghazali Abbas Adan mengingatkan pemerintah pusat, Kementerian Agraria
dan Tata Ruang (ATR) / Badan Pertanahan Nasional (BPN) mendorong Pemerintah
Provinsi Aceh, merespon tuntutan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk
mengalokasikan tanah pertanian sesuai dengan MoU Helsinki.
“Dalam MoU Helsinki, mereka
akan menerima tanah di Aceh, bukan di daerah lain. Masih banyak tanah kosong di
Aceh. Tanah itu untuk kehidupan mereka.Sayangnya, sampai sekarang MoU itu belum
terjadi,” ujar Tengku Ghazali lewat siaran persnya yang diterima atjeh
pusaka hari senin, 15/6/2015
Politikus senior yang juga Senator Aceh priode 2014-2019, Alumni Universitas Islam Negeri Aceh, Syarif Hidayatullah. menegaskan,
Pemerintah RI harus mengalokasikan tanah pertanian kepada Pemerintah Aceh guna
memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat.
“Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah
pertanian yang pantas, pekerjaan atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah
Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja,” demikian butir MoU, ujar Ghazali
Abbas yang juga mantan anggota DPR RI selama 2 (dua) priode itu.
Pria kelahiran Pidie tanggal
15 Oktober 1951 ini melanjutkan, akhir-akhir ini terjadi gejolak di Aceh.
Kembali terjadi tembak-menembak. Mantan kombatan menuntut keadilan kepada
pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Sebagian mereka memang masih
terlantar. Pembagian tanah masalah krusial di sana. Pemerintah pusat harus
mendorong pemerintah provinsi agar menjadikannya prioritas.
“Saya sangat memohon kepada Kementerian ATR / BPN memberikan
lampu hijau, agar pemerintah provinsi Aceh merespon tuntutan mereka. Umumkan
kepada mereka tuan-tuan, mantan kombatan menerima sekian hektar tanah. Supaya
tidak ada lagi alasan kita bertindak tak adil kepada mereka. Kalau tidak,
alasan mereka bisa macam-macam. Kalau begini terus menerus, keamanan di Aceh
akan terganggu. Kembali terjadi gejolak atas nama ketidakadilan,” ujarnya saat
rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, kemarin.
Dikatakan, sebenarnya tidak semuanya mantan Kombatan
GAM menuntut. Sebagian tidak menuntut butir MoU seperti jadi tentara, polisi.
Tapi, mentalitas sebagian mereka begitu. Bagi mereka, MoU mirip Al Qur’an. Apa
pun tuntutan mereka, MoU pegangan sebagai landasan.
“Saya berkali-kali menjelaskan kepada mereka, MoU
bukan Al Qur’an, juga bukan undang-undang, tapi mereka enggak menggubris.
Mereka selalu menyalahkan pemerintah pusat. Sedikit-sedikit Jakarta tidak
ikhlas, begitu bahasa mereka. Tapi bahasa saya, Aceh kaya tapi mengapa
rakyatnya masih tetap miskin? Setelah MoU, kenapa tidak terangkat kesejahteraan
mereka? Salah siapa?
Saya anti-militeristik ketika konflik Aceh terjadi
dulu, tapi saya dituduh orang GAM, bukan orang RI. Tahun 2004, saya nyalon DPD
RI, tapi dipaksa coret. Saya tetap kritisi mereka,” ujar Ghazali Abbas.
Dalam kesempatan tersebut, Inspektur
Wilayah II Kementerian ATR/ BPN, Erna Muchniarty Mochtar SH MSi juga
menjelaskan, ini sebenarnya kewenangan Pemerintah Provinsi Aceh, bagaimana
menyejahterakan rakyat Aceh melalui MoU.
“Pak Ghazali pun bisa mengusulkan kepada pemerintah provinsi Aceh agar
mantan kombatan ikut transmigrasi lokal agar mereka minimal dapat dua hektar
tanah. Mungkin ini jalan yang terbaik, kami akan mendorong ke situ,” tegas
Erna. (AP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.