Selasa, 20 November 2018
Jumat, 16 November 2018
Kadistanbun Aceh Mengikuti Kortekrenbang 2020 di 23 Kabupaten-Kota
Atjeh Pusaka - Banda Aceh | Bappeda Aceh menggelar forum Koordinasi Teknis Perencanaan Pembangunan (Kortekrenbang) tahun 2020 di seluruh Aceh.
Kegiatan Kortekrenbang 2020 dilakukan secara langsung dengan SKPK daerah ini bertujuan untuk mengajak SKPA dan SKPK di kabupaten/kota menyiapkan diri sejak n-2 (2018) untuk menghadirkan Musrenbang sebagai Milestone atau tonggak menghadirkan perencanaan 2020 yang berkualitas.
Melalui Kortekrenbang, juga mendorong kesamaan persepsi untuk terbangunnya singkronisasi antara SKPA dan SKPD sehingga dapat mencapai target RPJM.
“Pada Musrenbang, pembahasan usulan program/proyek/kegiatan sudah menggunakan pendekatan satuan lima, ” kata Azhari Hasan dalam paparannya.
Dijelaskan, dengan satuan lima dapat lebih rinci diketahui jenis belanja dan juga besaran belanja modal yang berguna bagi publik.
Juga dapat mengetahui lebih awal outcome dari program. Begitu pula antara perencanaan dan penganggaran akan lebih konsisten, serta terjamin perencanaan berbasis data sebagai syarat terwujudnya evident based planning.
“Sejak hari ini dan seterusnya akan digelar Kortekrenbang di seluruh kabupaten-kota, ” kata Azhari Hasan, saat menyampaikan sambutannya di Kortekrenbang, Bireuen, Senin (12/11).
Khusus hari ini Kortekrenbang digelar di Banda Aceh, Bireuen, dan Aceh Jaya. Berikutnya akan digelar beberapa kabupaten-kota lainnya secara bertahap.
Setelah di Bireuen, Kepala Bappeda akan kembali menghadiri acara yang sama di Lhokseumawe dan Aceh Utara.
Peserta Kortekrenbang adalah seluruh SKPK masing-masing daerah dan SKPA yang memiliki program/kegiatan prioritas, yang pencapaian sasarannya harus mendapat dukungan dari kab/kota..
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bireuen, Zulkifli dalam sambutannya mengingatkan pentingnya untuk melakukan upaya yang signifikan untuk mengefektifkan pengelolaan pada hasil dan dampak luar biasa guna menurunkan kemiskinan, meningkatkan pendapatan masyarakat serta menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran di Aceh.
“Karena itulah perlu tindaklanjut untuk menyusun perencanaan pembangunan tahun 2020 secara tepat waktu dan berkualitas,” kata Setda Kabupaten Bireuen sebelum membuka acara.
Kortekrenbang di Bireuen ikut juga diihadiri Kepala Dinas Pengairan, Mawardi dan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan, A Hanan. Usai acara, ketiganya mengunjungi lokasi D. I Mon Seuke Puleut dan D. I Alue Geurutut, Bireuen.
Acara Kortekrenbang dihadiri oleh 12 wakil SKPA dan SKPK masing-masing kabupaten. Untuk tahap pertama 12-15 November berlangsung di 11 kabupaten/kota yaitu di Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dan Pidie Jaya. Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Aceh Barat Daya. Juga Bireuen, Lhokseumawe, dan Aceh Utara. Tahap berikutnya akan berlangsung pada 27 November sd 7 Desember 2018.
Untuk tahap pertama Kepala Bappeda Aceh, Azhari Hasan menghadiri langsung Kortekrenbang di Bireuen, Lhokseumawe dan Aceh Utara 12-14 November 2018.
Artikel ini telah tayang di www.acehtrend.com dengan judul Bappeda Aceh Gelar Kortekrenbang 2020 di 23 Kabupaten-Kota
PLT GUBERNUR ACEH SAMPAIKAN PENDAPAT TERHADAP 2 RAQAN
Ayjeh Pusaka - Banda Aceh - Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah, menyampaikan pendapat tentang 2 Rancangan Qanun (Raqan) Aceh yaitu tentang himne aceh dan tentang perubahan ketiga atas qanun aceh nomor 2 tahun 2008 tentang tata cara pengalokasian tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan dana otonomi khusus, usul Inisiatif DPR Aceh di Gedung Utama DPRA, Rabu (13/11/2018).
Dalam pemaparannya ia mengatakan, secara yuridis berdasarkan pasal 248 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh, pemerintah aceh dapat menetapkan himne aceh sebagai pencerminan keistimewaan dan kekhususan yang diatur lebih lanjut dalam qanun aceh.
Pemerintahan Aceh berkeyakinan bahwa pembentukan rancangan qanun aceh ini telah melalui proses panjang yang penuh dinamika, untuk itu Pemerintahan Aceh memberi penghargaan dan apresiasi kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pembentukan rancangan qanun ini, termasuk penghargaan kepada saudara Mahrisal Rubi sebagai pemenang sayembara himne aceh dengan judul “Aceh Mulia".
Terhadap rancangan qanun ini telah dilaksanakan rapat fasilitasi di kementerian dalam negeri pada tanggal 11 maret 2018 dengan mengikutsertakan unsur dari Direktorat terkait di Kemendagri, unsur Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, unsur Kementerian Hukum dan Ham, lembaga terkait dan Pemerintahan Aceh. dalam rapat fasilitasi tersebut tim Pemerintahan Aceh telah sepakat untuk menyempurnakan beberapa pasal hasil koreksi Pemerintah Pusat.
Selanjutnya menindaklanjuti hasil rapat fasilitasi tersebut pada tanggal 18 oktober 2018. Badan Legislasi DPR Aceh dan tim Pemerintahan Aceh beserta para tenaga ahli dan pencipta Himne Aceh juga sudah melaksanakan rapat finalisasi perbaikan dan penyempurnaan rancangan qanun Aceh tersebut beserta lampirannya.
Oleh karena itu, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 80 tahun 2015 tentang pembentukan produk hukum daerah dan qanun Aceh nomor 5 tahun 2011 tentang tata cara pembentukan qanun, maka pasca persetuJuan bersama Gubernur Aceh dan DPR Aceh dalam masa persidangan ini, Pemerintahan Aceh dapat segera memproses tahapan selanjutnya, berupa permintaan nomor register di Kementerian Dalam Negeri. Sehingga, dapat ditetapkan menjadi qanun Aceh dan diundangkan dalam lembaran Aceh serta dapat diimplementasikan.
Pemerintahan Aceh juga mengucapkan terima kasih serta mengapresiasi atas laporan hasil pembahasan tim monev TDBH Migas dan Otsus DPR Aceh terhadap rancangan qanun Aceh tentang perubahan ketiga atas qanun aceh nomor 2 tahun 2008 tentang tata cara pengalokasian tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan dana otonomi khusus. (ADR)
Senin, 12 November 2018
STNK Mati Tidak Diperpanjang 2 Tahun, BPKB Juga Hangus
Atjeh Pusaka - Jakarta - Pemilik kendaraan yang lalai membiarkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) mati, dan tidak diperpanjang selama dua tahun, maka motor atau mobilnya bakal dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi (Regident) kendaraan bermotor (ranmor). Dengan begitu, kendaraan bakal menjadi 'bodong' dan tidak bisa dioperasikan.
Dijelaskan Kompol Bayu Pratama Gubunagi, Kasi STNK Subdit Regident Ditlantas Polda Metro Jaya, peraturan ini sudah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009.
"Iya, BPKB dan STNK dihapus (jika surat kendaraan mati tidak diperpanjang selama dua tahun). Jika sudah dihapus, berarti kan tidak berlaku," jelas Bayu saat berbincang dengan Liputan6.com melalui sambungan telepon, Rabu (24/10/2018).
Lanjut Bayu, jika sudah dihapus dari registrasi dan identifikasi (Regident) kendaraan bermotor (ranmor), maka tidak bisa diurus kembali bagaimanapun caranya. Hal tersebut, sesuai dengan ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012, yang berakibat kendaraan bermotor tidak dapat dioperasionalkan.
"Di aturannya ditulis tidak dapat diregistrasi (ulang). Tapi, butuh sosialisasi dahulu nanti masyarakat kaget kendaraannya dihapus. Maka dari itu, di masa sekarang, kita pushterus informasi ke masyarakat."
Berlaku Sejak 2009
Sejatinya, menurut Kompol Bayu Pratama Gubunagi, Kasi STNK Subdit Regident Ditlantas Polda Metro Jaya, peraturan ini sudah resmi atau sudah diberlakukan sejak 2009. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009.
"Dari 2009 aturannya sudah ada, cuma saat ini sedang diintensifkan dan dioptimalkan untuk bisa dilaksanakan. Sejak peraturan diberlakukan 2009, aturan ini belum dilaksanakan, dan ini bukan barang baru," jelas Kompol Bayu.
Lanjut Bayu, dengan sudah dihapusnya kendaraan dari daftar regident ranmor, maka benar-benar tidak bisa dilakukan pendaftaran atau registrasi kembali, bagaimana pun caranya. Jadi, kendaraan benar-benar akan menjadi bodong dan tidak bisa dioperasikan di jalan raya.
"Setelah dihapuskan tidak bisa diregistrasi kembali," tegas Kompol Bayu.
Kendaraan bermotor yang sudah dinyatakan dihapus, tidak dapat diregistrasi kembali sesuai ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012, yang berakibat kendaraan bermotor tidak dapat dioperasionalkan.
Sumber: https://m.liputan6.com/otomotif/
Jumat, 09 November 2018
Special Islamic Days
UPCOMING ISLAMIC EVENT
20 Nov, 2018
12 RABI'UL AWAL 2018
2018 Islamic Events 1439 - 1440 H
April, 13
Shab e Meraj 2018
Friday, 27th Rajab 1439h
May, 01
Shab e Barat 2018
Tuesday, 15th Shaban 1439h
May, 16
Ramadan 2018
Wednesday, 1st Ramadan 1439h
June, 04
Laylat al Qadr
Monday, 20th Ramadan 1439h
June, 15
Eid al Fitr 2018
Friday, 1st Shawwal 1439h
August, 19
Hajj 2018
Sunday, 8th Dhul Hijjah 1439h
August, 21
Eid al Adha 2018
Tuesday, 10th Dhul Hijjah 1439h
September, 11
Muharram
Tuesday, 1st Muharram 1440h
September, 19
Ashura
Wednesday, 9th Muharram 1440h
2019 Islamic Events 1440 - 1441 H
April, 03
Shab e Meraj 2019
Wednesday, 27th Rajab 1440h
April. 20
Shab e Barat 2019
Saturday, 15th Shaban 1440h
May, 06
Ramadan 2019
Monday, 1st Ramadan 1440h
June, 01
Laylat al Qadr 2019
Saturday, 27th Ramadan 1440h
June, 04
Eid al Fitr 2019
Tuesday, 1st Shawwal 1440h
August, 08
Hajj 2019
Thursday, 7th Dhul Hijjah 1440h
August, 11
Eid al Adha 2019
Sunday, 10th Dhul Hijjah 1440h
August, 31
Muharram 2019
Saturday, 1st Muharram 1441h
September, 08
Ashura 2019
Sunday, 9th Muharram 1441h
November, 09
12 Rabi ul Awal 2019
Saturday, 12th Rabi Al-Awwal 1441h
Sumber: https://www.islamicfinder.org/special-islamic-days/
Kamis, 08 November 2018
Bab Tragedi Kemanusiaan di Aceh - Episode: Tragedi Cot Pulot Jeumpa
Tragedi Cot Pulot Jeumpa Februari 1955
Atjeh Pusaka - Saya punya keyakinan, orang-orang tua
di Cot Pulot Jeumpa Aceh Besar tidak bisa melupakan tragedi Cot Pulot, Jeumpa
dan Leupeung yang terjadi tahun 1955. Tragedi terbesar pada masa orde lama ini diawali dari bentakan militer
Indonesia yang menyeret warga berdiri berjejer di pantai.
Dalam amuk kemarahan yang membara-bara, prajurit TNI mengiring anak-anak, pemuda dan orangtua ke pantai Samudera Indonesia. Mereka diperintahkan menghadap lautan lepas. Beberapa detik kemudian, tanpa ampun, moncong senjata otomatis memuntahkan ratusan peluru. Puluhan tubuh pria tewas membasahi pasir. Dalam sejarah kelam, fakta ini dikenal dengan peristiwa Cot Pulot Jeumpa di Gampông Cot Pulot dan Gampông Jeumpa Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar pada Februari 1955.
Insiden yang meluluhlantakan nilai-nilai kemanusiaan diawali dari sehari sebelumnya sebuah truk militer membawa berdrum-drum minyak dan 16 tentara melintasi Cot Pulot. Mendekat jembatan Krueng Raba Leupung, tentara Darul Islam yang dipimpin oleh Pawang Leman menghadang. Pawang Leman adalah mantan camat setempat yang pada zaman revolusi Indonesia berpangkat mayor.
Tembakan beruntun menyebabkan truk terbakar. Semua prajurit Batalyon B anak buah Kolonel Simbolon dan anggota Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib berguguran dijilat kobaran api. Tentara Darul Islam menyebut pasukan Republik Indonesia dengan Tentara Pancasila. Esoknya, satu peleton (berkekuatan 20-40) Tentara Republik merazia pelaku. Razia dari rumah ke rumah tidak membawa hasil. Kekesalan tentara sudah di ubun-ubun. Anak-anak hingga kakek yang ditemukan di jalan atau tempat bekerja digiring ke pantai.
Penembakan pertama pada Sabtu, 26 Februari 1955 yang dilakukan oleh Batalyon 142 terhadap 25 petani di Cot Pulot. Penembakan kedua pada Senin, 28 Februari 1955 oleh Batalyon 142 terhadap 64 nelayan di Jeumpa. Penembakan ketiga pada tanggal 4 Maret 1955 di Kruengkala. Akibatnya 99 jiwa meregang nyawa dengan rincian di Cot Jeumpa 25 jiwa, di Pulot Leupung 64 dan Kruengkala 10 jiwa. Usia termuda yang wafat yakni 11 tahun dan paling tua berusia 100 tahun. Pembantaian ini sebagai balas dendam terhadap rekan-rekannya yang ditembak oleh tentara Darul Islam. Indonesia menutup rapat-rapat pembantai warga sipil yang pertama dilakukan di Aceh oleh negara.
Koran Peristiwa
Suasana kekalutan itu semakin gempar dengan pemberitaan surat kabar Peristiwa pada awal Maret 1955. Isi koran yang terbit di Kutaradja ini dikutip oleh berbagai media ibu kota di Jakarta dan internasional. Peristiwa memuatnya dengan judul enam kolom di halaman pertama. Disebutkan pada tanggal 26 Februari 1955 kira-kria jam 12 siang WSu (Waktu Sumatera) sepasukan alat-alat negara menangkap seluruh lelaki penduduk Cot Jeumpa yang didapati di rumah. Mereka dikumpulkan di pinggir laut. Lalu tanpa periksa, seluruh pria itu ditembak hingga semua rebah bermandikan darah.
Peristiwa mewartakan pada tanggal 28 Februari 1955, kira-kira jam 12 siang WSu, orang berpakain seragam menembak mati 64 warga Leupung. Mereka ditangkap di rumah, sedang melempar jala, memancing dan lain-lain. Kemudian dikumpulkan di pinggir laut. Peristiwa memberitakan, mayat-mayat yang bergelimpangan itu dikuburkan dalam dua lubang besar. Peristiwa memuat nama korban lengkap dengan umur dan tempat tinggal
Tentu militer Indonesia menolak publikasi Peristiwa. Komandan Tentara Teritorium I Bukit Barisan Pada tanggal 10 Maret 1955 memberi penjelasan kejadian sebagai berikut. Pada tanggal 22 Februari 1955 sepasukan tentara yang ditempatkan di Lhong berangkat pagi-pagi jam 06.30 WSu, 16 tentara dari Peleton 32 Batalyon 142 menuju Kompi II di Lhok Nga untuk mengambil bahan makanan dan bensin. Pada sorenya satu satu truk membawa perbekalan dan bensin menuju Lhoong.
Ibarat membungkus bangkai, pasti tercium bau. Pemimpin Redaksi Peristiwa Achmad Chatib Aly (sering disingkat menjadi Acha) melakukan investigasi yang luar biasa. Koran yang terbit di Jalan Merduati No. 98 Kutaradja menjadi tumpuan warga untuk mengetahui hal-hal yang coba disamar-samarkan itu. Kala itu, militer Indonesia memblokir jalan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Acha tidak kehilangan akal dengan menyewa boat nelayan. Tugas jurnalistik ditunaikan dengan baik. Seminggu kemudian, Peristiwa edisi 3 Maret 1955 memuat laporan bernas di halaman satu dengan judul “Bandjir Darah di Tanah Rentjong”. Peristiwa edisi 10 Maret 1955 mencantumkan daftar warga yang ditembak oleh Batalyon 142, Peleton 32 dengan memakai senjata Bren, 2 mobil, 2 jeep, 2 truk.
Tak ayal, berita ini dikutip oleh beberapa harian yang terbit di Jakarta seperti Indonesia Raya. kemudian dikutip oleh media terbitan luar negeri sepeti New York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat atau Asahi Simbun yang terbit di Jepang. Warga Aceh di Jakarta melancarkan protes keras kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar mengirim misi menyelidiki kasus itu.
Berdasarkan pemberitaan Peristiwa yang dirintis pada awal tahun 1954, Hasan Tiro yang tinggal di New York Amerika Serikat mengetahui sepak terjang Indonesia. Diplomat cerdas ini menilai eksekusi massa itu adalah genosida. Hasan Tiro yang dicabut paspor diplomatik Indonesia pada tahun 1954 semakin yakin, Aceh yang diibaratkan sebagai bagian dari puluhan kamar yang berteduh dalam rumah bernama Indonesia sudah waktunya dipertanyakan.
Berhasilkah Hasan Tiro menempatkan kasus Cot Jeumpa, Pulot dan Leupeung dalam agenda PBB? Beberapa surat kabar terbitan Medan Sumatera Utara seperti Lembaga, Tangkas, dan Warta Berita menulis kasus yang dilapor oleh Hasan Tiro tertera dalam agenda PBB. “Bila kemudian tak dibicarakan di PBB itu lain soal. Kejadian di Aceh itu sudah jadi perhatian internasional,” tulis Zakaria M. Passe di Majalah Tempo edisi 24 Oktober 1987.
Kekerasan oleh negara pada tahun 1955 terulang lagi di Aceh pada era reformasi seperti pembantaian di Beutong Ateueh, Simpang KKA, Bumi Flora dan lain-lain. Pembantaian demi pembantaian menjadi pelajaran agar hal-hal ini mesti dicegah dengan membangun konstruksi komunikasi. Tidak ada manusia yang bisa mencegah gempa bumi dan tsunami. Namun sebaliknya, masyarakat bisa mencegah konflik bersenjata.
Pada dimensi lain, peran media seperti yang dilakukan oleh Pak Acha melalui koran Peristiwa dalam merawat ingatan generasi muda masa kini dan depan tetap mendapat porsi tersendiri. Korban kekerasan tidak bisa melupakan masa-masa pahit yang dialaminya. Korban kekerasan berpeluang untuk memaafkan masa lalu sambil mencoba berdamai dengan masa kini untuk merajut masa depan. Sedangkan bagi masyarakat, masa lalu adalah cermin untuk tidak mengulangi kesalahan lalu. Jika masa lalu diibaratkan seperti spion roda empat yang berukuran kecil dan diletakan di sisi kiri dan kanan serta dilirik sejenak saja, maka kaca depan kendaraan adalah masa kini dan masa depan yang mesti ditatap serius.
Penulis :
Murizal Hamzah
Dalam amuk kemarahan yang membara-bara, prajurit TNI mengiring anak-anak, pemuda dan orangtua ke pantai Samudera Indonesia. Mereka diperintahkan menghadap lautan lepas. Beberapa detik kemudian, tanpa ampun, moncong senjata otomatis memuntahkan ratusan peluru. Puluhan tubuh pria tewas membasahi pasir. Dalam sejarah kelam, fakta ini dikenal dengan peristiwa Cot Pulot Jeumpa di Gampông Cot Pulot dan Gampông Jeumpa Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar pada Februari 1955.
Insiden yang meluluhlantakan nilai-nilai kemanusiaan diawali dari sehari sebelumnya sebuah truk militer membawa berdrum-drum minyak dan 16 tentara melintasi Cot Pulot. Mendekat jembatan Krueng Raba Leupung, tentara Darul Islam yang dipimpin oleh Pawang Leman menghadang. Pawang Leman adalah mantan camat setempat yang pada zaman revolusi Indonesia berpangkat mayor.
Tembakan beruntun menyebabkan truk terbakar. Semua prajurit Batalyon B anak buah Kolonel Simbolon dan anggota Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib berguguran dijilat kobaran api. Tentara Darul Islam menyebut pasukan Republik Indonesia dengan Tentara Pancasila. Esoknya, satu peleton (berkekuatan 20-40) Tentara Republik merazia pelaku. Razia dari rumah ke rumah tidak membawa hasil. Kekesalan tentara sudah di ubun-ubun. Anak-anak hingga kakek yang ditemukan di jalan atau tempat bekerja digiring ke pantai.
Penembakan pertama pada Sabtu, 26 Februari 1955 yang dilakukan oleh Batalyon 142 terhadap 25 petani di Cot Pulot. Penembakan kedua pada Senin, 28 Februari 1955 oleh Batalyon 142 terhadap 64 nelayan di Jeumpa. Penembakan ketiga pada tanggal 4 Maret 1955 di Kruengkala. Akibatnya 99 jiwa meregang nyawa dengan rincian di Cot Jeumpa 25 jiwa, di Pulot Leupung 64 dan Kruengkala 10 jiwa. Usia termuda yang wafat yakni 11 tahun dan paling tua berusia 100 tahun. Pembantaian ini sebagai balas dendam terhadap rekan-rekannya yang ditembak oleh tentara Darul Islam. Indonesia menutup rapat-rapat pembantai warga sipil yang pertama dilakukan di Aceh oleh negara.
Koran Peristiwa
Suasana kekalutan itu semakin gempar dengan pemberitaan surat kabar Peristiwa pada awal Maret 1955. Isi koran yang terbit di Kutaradja ini dikutip oleh berbagai media ibu kota di Jakarta dan internasional. Peristiwa memuatnya dengan judul enam kolom di halaman pertama. Disebutkan pada tanggal 26 Februari 1955 kira-kria jam 12 siang WSu (Waktu Sumatera) sepasukan alat-alat negara menangkap seluruh lelaki penduduk Cot Jeumpa yang didapati di rumah. Mereka dikumpulkan di pinggir laut. Lalu tanpa periksa, seluruh pria itu ditembak hingga semua rebah bermandikan darah.
Peristiwa mewartakan pada tanggal 28 Februari 1955, kira-kira jam 12 siang WSu, orang berpakain seragam menembak mati 64 warga Leupung. Mereka ditangkap di rumah, sedang melempar jala, memancing dan lain-lain. Kemudian dikumpulkan di pinggir laut. Peristiwa memberitakan, mayat-mayat yang bergelimpangan itu dikuburkan dalam dua lubang besar. Peristiwa memuat nama korban lengkap dengan umur dan tempat tinggal
Tentu militer Indonesia menolak publikasi Peristiwa. Komandan Tentara Teritorium I Bukit Barisan Pada tanggal 10 Maret 1955 memberi penjelasan kejadian sebagai berikut. Pada tanggal 22 Februari 1955 sepasukan tentara yang ditempatkan di Lhong berangkat pagi-pagi jam 06.30 WSu, 16 tentara dari Peleton 32 Batalyon 142 menuju Kompi II di Lhok Nga untuk mengambil bahan makanan dan bensin. Pada sorenya satu satu truk membawa perbekalan dan bensin menuju Lhoong.
Ibarat membungkus bangkai, pasti tercium bau. Pemimpin Redaksi Peristiwa Achmad Chatib Aly (sering disingkat menjadi Acha) melakukan investigasi yang luar biasa. Koran yang terbit di Jalan Merduati No. 98 Kutaradja menjadi tumpuan warga untuk mengetahui hal-hal yang coba disamar-samarkan itu. Kala itu, militer Indonesia memblokir jalan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Acha tidak kehilangan akal dengan menyewa boat nelayan. Tugas jurnalistik ditunaikan dengan baik. Seminggu kemudian, Peristiwa edisi 3 Maret 1955 memuat laporan bernas di halaman satu dengan judul “Bandjir Darah di Tanah Rentjong”. Peristiwa edisi 10 Maret 1955 mencantumkan daftar warga yang ditembak oleh Batalyon 142, Peleton 32 dengan memakai senjata Bren, 2 mobil, 2 jeep, 2 truk.
Tak ayal, berita ini dikutip oleh beberapa harian yang terbit di Jakarta seperti Indonesia Raya. kemudian dikutip oleh media terbitan luar negeri sepeti New York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat atau Asahi Simbun yang terbit di Jepang. Warga Aceh di Jakarta melancarkan protes keras kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar mengirim misi menyelidiki kasus itu.
Berdasarkan pemberitaan Peristiwa yang dirintis pada awal tahun 1954, Hasan Tiro yang tinggal di New York Amerika Serikat mengetahui sepak terjang Indonesia. Diplomat cerdas ini menilai eksekusi massa itu adalah genosida. Hasan Tiro yang dicabut paspor diplomatik Indonesia pada tahun 1954 semakin yakin, Aceh yang diibaratkan sebagai bagian dari puluhan kamar yang berteduh dalam rumah bernama Indonesia sudah waktunya dipertanyakan.
Berhasilkah Hasan Tiro menempatkan kasus Cot Jeumpa, Pulot dan Leupeung dalam agenda PBB? Beberapa surat kabar terbitan Medan Sumatera Utara seperti Lembaga, Tangkas, dan Warta Berita menulis kasus yang dilapor oleh Hasan Tiro tertera dalam agenda PBB. “Bila kemudian tak dibicarakan di PBB itu lain soal. Kejadian di Aceh itu sudah jadi perhatian internasional,” tulis Zakaria M. Passe di Majalah Tempo edisi 24 Oktober 1987.
Kekerasan oleh negara pada tahun 1955 terulang lagi di Aceh pada era reformasi seperti pembantaian di Beutong Ateueh, Simpang KKA, Bumi Flora dan lain-lain. Pembantaian demi pembantaian menjadi pelajaran agar hal-hal ini mesti dicegah dengan membangun konstruksi komunikasi. Tidak ada manusia yang bisa mencegah gempa bumi dan tsunami. Namun sebaliknya, masyarakat bisa mencegah konflik bersenjata.
Pada dimensi lain, peran media seperti yang dilakukan oleh Pak Acha melalui koran Peristiwa dalam merawat ingatan generasi muda masa kini dan depan tetap mendapat porsi tersendiri. Korban kekerasan tidak bisa melupakan masa-masa pahit yang dialaminya. Korban kekerasan berpeluang untuk memaafkan masa lalu sambil mencoba berdamai dengan masa kini untuk merajut masa depan. Sedangkan bagi masyarakat, masa lalu adalah cermin untuk tidak mengulangi kesalahan lalu. Jika masa lalu diibaratkan seperti spion roda empat yang berukuran kecil dan diletakan di sisi kiri dan kanan serta dilirik sejenak saja, maka kaca depan kendaraan adalah masa kini dan masa depan yang mesti ditatap serius.
Penulis :
Murizal Hamzah
PELAKU USAHA DIMINTA TINGKATKAN KUALITAS PRODUK
Atjeh Pusaka - Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, mengajak pelaku usaha di Aceh untuk memanfaatkan perubahan kebijakan impor yang kini diterapkan oleh Pemerintah Cina dengan meningkatkan kualitas produk yang layak ekspor di pasar global.
Ajakan tersebut disampaikan oleh Nova dalam Forum Export – Import Indonesia dan China yang diadakan diselenggarakan secara paralel dengan China International Import Expo 2018 (CIIE) di Shanghai, Cina pada Selasa (6/10/2018).
“Ini adalah satu momentum yang sangat besar dan harus dimanfaatkan dengan baik oleh para pengusaha kita di Aceh, mengingat sumber daya alam dan produk buatan Indonesia sangat diminati oleh pasar Tiongkok,” kata Nova.
Plt Gubernur yang didampingi oleh sejumlah pengusaha, mengatakan bahwa kondisi ekonomi Cina yang sangat stabil merupakan peluang bagi pelaku usaha Aceh untuk melakukan penetrasi pasar Cina dan global.
“Ini adalah kesempatan emas bagi Aceh mengingat lokasinya strategis berada pada jalur program inisiatif One Belt One Road yang dicacangkan oleh Presiden Xi Jinping sejak 2013,” ujar Nova dalam forum yang dihadiri oleh ratusan pengusaha Cina dari berbagai sektor serta para perwakilan pemerintah kedua negara.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, ikut menjelaskan potensi dan kondisi ekonomi Indonesia di depan ratusan pengusaha China dalam Forum Ekspor di Shanghai, China.
Selain menghadiri Forum Export – Import Indonesia dan China, Nova Iriansyah juga menyaksikan langsung penandatanganan kerjasama antara Samana Citra Agung dengan Jiangsu Pengfei Group China, terkait pembangunan Pabrik Semen di Laweung Pidie.
Selain itu, Nova juga menggelar silaturrahmi dengan mahasiswa Aceh di Wuhan University Cina serta membahas kemungkinan kerjasama di bidang pendidikan dengan kampus tersebut. (ADR)
Rabu, 07 November 2018
TPI LAMPULO KINI PUNYA KANTOR STASIUN KARANTINA IKAN
Atjeh Pusaka - Banda Aceh – Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementrian Kelautan (KKP) RI resmi membuka kantor Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Hasil Perikanan Aceh di TPI Lampulo.
Peresmian tersebut ditandai dengan pengguntingan Pita oleh Ir. Rina, M.Si, disaksikan oleh Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekda Aceh, Taqwallah dan Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dr. Herman Khairon, Selasa (06/11/2018).
Taqwallah dalam sambutannya mengatakan, kehadiran Kantor Stasiun KIPM akan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat terutama para nelayan.
“Masyarakat tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mengurus setifikat kesehatan ikan dan mutu hasil perikanan, dan lain sebagainyam karena sudah ada disini,” kata Taqwallah
Pemerintah Aceh kata Taqwallah sangat mendukung dibukanya Kantor Stasiun Karantina Ikan tersebut sehingga kualitas ikan dapat terjaga serta mencegah masuk dan tersebarnya Hama dan Penyakit Ikan.
“Kita berharap dengan hadirnya kantor ini, mutu dan keamanan ikan Aceh lebih terjaga, sehingga mampu menghadirkan citra yang baik bagi ekspor ikan Indonesia,” ujar Taqwallah.
Sementara itu, Kepada BKIPM, Ir. Rina, M.Si mengatakan, saat ini memiliki lima Kantor Stasiun Karantina Ikan, Kantor Stasiun Karantina Ikan di TPI lampulo merupakan yang ke enam.
Stasiun tersebut kata Rina untuk menjaga keluar masuknya ikan dari Aceh, karena banyak produk ikan Aceh yang dilabel bukan atas hasil laut Aceh. Karena itu keberadaan Kantor tersebut akan membantu menelusuri asal ikan dan juga menjaga kualitas ikan.
Hal serupa juga disampaikan Dr. Herman Khairon, Selain mendatangkan pelayanan dan meningkatkan hasil mutu perikanan, Kantor Stasiun KIPM juga akan memberikan kemudahan para pengusaha perikanan karena akan meningkatkan harga jual ikan.
Pada kesempatan tersebut, Herman juga mengatakan bahwa Kantor Stasiun KIPM Aceh sudah layak menjadi balai. Karena itu ia akan menyampaikan hal tersebut kepada pemerintah pusat. (ADR)
DISKOMINFO ACEH KEMBALI LATIH PENGELOLA WEB GAMPONG
Atjeh Pusaka - Banda Aceh - Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Aceh menggelar workshop literasi teknologi informasi. Workshop yang bertema peningkatan sumber daya manusia tentang literasi teknologi informasi untuk pengelola Web Admin Gampong atau Desa berlangsung di Hotel Seventeen Banda Aceh, Selasa (06/11/2018).
Dalam sambutannya Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian Aceh Marwan Nusuf, B.HSc, MA, yang dibacakan oleh Sekretaris Dinas Masrimin S.Sos. MM, mengatakan dari 6.491 gampong telah dibuatkan domain websitenya dan ada beberapa Gampong lagi yang belum ada, berarti hanya sedikit lagi domain website gampong yang terdapat seluruh Aceh itu sudah ada. Dari website tersebut, dari domain website yang telah ada hanya 40% website admin gampong itu sudah aktif.
"Manfaatkan kegiatan ini dengan serius dan sungguh-sungguh, sehingga dapat bermanfaat buat peserta khususnya dan juga instansi tempat bertugas," pintanya.
Ia melanjutkan, dengan diadakan kegiatan workshop, para peserta dapat mengimplementasikan secara baik saat mengelola website sehingga informasi yang disampaikan ke publik sesuai dengan UU Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik sehingga bermanfaat bagi pengembangan dan publikasi kegiatan instansi.
"Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 Tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel serta pelayanan publik yang berkualitas dan terpercaya, meningkatkan keterpaduan dan efisiensi sistem Pemerintahan berbasis elektronik diperlukan tata kelola
dan manajemen sistem Pemerintahan berbasis elektronik secara nasional", Jelasnya.
Tujuan dari Pemerintah Aceh membuat domain website gampong, sebutnya, agar seluruh gampong-gampong yang ada di Aceh dapat memberitakan desanya, sekaligus memperlihatkan tentang keterbukaan informasi publik dalam pengelolaan dana yang dikelola oleh gampong masing-masing, ujarnnya.
"Kepada narasumber agar dapat memberikan referensi kepada peserta tentang Sistem Informasi dan Teknologi informasi agar mudah di pahami dan diresapi oleh peserta workshop," tutupnya. (jl/wd)
Selasa, 06 November 2018
Sejarah Penentuan Kalender Islam (Hijriyah)
Atjeh Pusaka - Pada tahun 638 Masehi, 'Umar bin Al Khattab yang saat itu menjadi khalifah melihat sebuah masalah. Diceritakan bahwa Abu Musa al Asy'ari menulis kepada Umar: "Surat-surat sampai kepada kami dari Amirul Mu'minin, tetapi kami bingung bagaimana menjalankannya. Kami membaca sebuah dokumen tertanggal Sya'ban, namun kami tidak tahu ini untuk tahun yang lalu atau tahun ini." (Syaikh Abdurrahman al Jabarti, 1825).
Umar kemudian mengumpulkan para shahabat dan mereka yang bertugas di pusat pemerintahan. Diceritakan dari Ibnu Abbas bahwa semenjak Nabi datang ke Madinah, tidak ada tahun yang digunakan dalam penanggalan, demikian juga saat Abu Bakar menggantikan beliau sebagai khalifah, dan juga di empat tahun pertama pemerintahan Umar bin Khattab. Umar, dalam pertemuan tersebut berkata: "Perbendaharaan negara semakin banyak. Apa yang kita bagi dan sebarkan selama ini tidak memiliki catatan tanggal yang pasti. Bagaimana kita bisa mengatasi ini?"
Setelah melalui berbagai usulan tentang titik acuan dimulainya penanggalan atau kalender hijriyah, akhirnya diputuskan bahwa tahun terjadinya peristiwa Hijrah menjadi tahun pertama kalender islam. Sebelumnya diusulkan tahun lahir Nabi atau tahun wafat beliau. Tetapi semuanya dianggap kurang tepat.
Negeri islam yang semakin besar wilayah kekuasaannya menimbulkan berbagai persoalan administrasi. Surat menyurat antar gubernur atau penguasa daerah dengan pusat ternyata belum rapi karena tidak adanya acuan penanggalan. Masing-masing daerah menandai urusan muamalah mereka dengan sistem kalender lokal yang seringkali berbeda antara satu tempat dengan laiinnya. Dengan ditetapkannya sistem kalender hijriyah yang memiliki tahun oleh Khalifah Umar bin Khattab, akhirnya sebagian permasalahan pencatatan ini menjadi teratasi.
Nama-nama bulan dalam kalender Islam
Sistem penanggalan yang dipakai sudah memiliki tuntunan jelas di dalam Al Qur'an, yaitu sistem kalender bulan (qomariyah). Nama-nama bulan yang dipakai adalah nama-nama bulan yang memang berlaku di kalangan kaum Quraisy di masa kenabian. Namun ketetapan Allah menghapus adanya praktek interkalasi (Nasi'). Praktek Nasi' memungkinkan kaum Quraisy menambahkan bulan ke-13 atau lebih tepatnya memperpanjang satu bulan tertentu selama 2 bulan pada setiap sekitar 3 tahun agar bulan-bulan qomariyah tersebut selaras dengan perputaran musim atau matahari. Karena itu pula, arti nama-nama bulan di dalam kalender qomariyah tersebut beberapa di antaranya menunjukkan kondisi musim. Misalnya, Rabi'ul Awwal artinya musim semi yang pertama. Ramadhan artinya musim panas.
Praktek Nasi' ini juga dilakukan atau disalahgunakan oleh kaum Quraisy agar memperoleh keuntungan dengan datangnya jamaah haji pada musim yang sama di tiap tahun di mana mereka bisa mengambil keuntungan perniagaan yang lebih besar. Praktek ini juga berdampak pada ketidakjelasan masa bulan-bulan Haram. Pada tahun ke-10 setelah hijrah, Allah menurunkan ayat yang melarang praktek Nasi' ini:
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram..." [At Taubah (9): 36]
"Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah... " [At Taubah (9): 37]
Dalam satu tahun ada 12 bulan dan mereka adalah:
- Muharram
- Shafar
- Rabi'ul Awal
- Rabi'ul Akhir
- Jumadil Awal
- Jumadil Akhir
- Rajab
- Sya'ban
- Ramadhan
- Syawal
- Dzulqa'idah
- Dzulhijjah
Sedangkan 4 bulan Haram, di mana peperangan atau pertumpahan darah di larang, adalah: Dzulqa'idah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Peristiwa Hijrah sebagai tonggak Kalender Islam
Masalah selanjutnya adalah menentukan awal penghitungan kalender islam ini. Apakah akan memakai tahun kelahiran Nabi Muhammad saw., seperti orang Nasrani? Apakah saat kematian beliau? Ataukah saat Nabi diangkat menjadi Rasul atau turunnya Al Qur'an? Ataukah saat kemenangan kaum muslimin dalam peperangan?
Ternyata pilihan majelis Khalifah 'Umar tersebut adalah tahun di mana terjadi peristiwa Hijrah. Karena itulah, kalender islam ini biasa dikenal juga sebagai kalender hijriyah. Kalender tersebut dimulai pada 1 Muharram tahun peristiwa Hijrah atau bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Peristiwa hijrah Nabi saw. sendiri berlangsung pada bulan Rabi'ul Awal 1 H atau September 622 M.
Pemilihan peristiwa Hijrah ini sebagai tonggak awal penanggalan islam memiliki makna yang amat dalam. Seolah-olah para sahabat yang menentukan pembentukan kalender islam tersebut memperoleh petunjuk langsung dari Allah. Seperti Nadwi yang berkomentar:
"Ia (kalender islam) dimulai dengan Hijrah, atau pengorbanan demi kebenaran dan keberlangsungan Risalah. Ia adalah ilham ilahiyah. Allah ingin mengajarkan manusia bahwa peperangan antara kebenaran dan kebatilan akan berlangsung terus. Kalender islam mengingatkan kaum muslimin setiap tahun bukan kepada kejayaan dan kebesaran islam namun kepada pengorbanan (Nabi dan sahabatnya) dan mengingatkan mereka agar melakukan hal yang sama."Sumber: https://www.al-habib.info/
Senin, 05 November 2018
Tari Saman Aceh Yang di Sukai Dunia
Video Orang Bule sedang belajar Tari Saman
Selengkapnya tentang Tarian Tradisional Saman Aceh, bisa dibaca dibawah ini:
Sabtu, 03 November 2018
Bab Tragedi Kemanusiaan di Aceh - Episode: TRAGEDI BEUTONG ATEUH
MENGUAK TRAGEDI BEUTONG ATEUH
Atjeh Pusaka - Selain menguras habis kekayaan alam Aceh, rezim Suharto juga melancarkan genosida atas Muslim Aceh. Yang terkenal adalah masa DOM atau Operasi Jaring Merah (1989-1998). Banyak peneliti DOM sepakat jika kekejaman rezim ini terhadap Muslim Aceh bisa disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan Milisi Serbia terhadap Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang sangat luas, sekujur tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang berabad-abad hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis Suharto serendah-rendahnya.
Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja.
Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim Suharto, sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.
Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.
Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala Orde Baru. Para presiden setelah Suharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun malah tetap abadi dan berkembang penuh inovasi.
Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercerabutnya teror dan kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh’, Feri mengawali dengan kalimat, “Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang.
Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan…”
Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah tragedi, menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun juga nyaris di seluruh wilayah Aceh. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat kaya raya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!
Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan “SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga. Tak heran jika hutan Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan terakhir.
Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan langsung dengan sungai Beutong terlihat jelas.
Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni bela diri, dan juga berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.
Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.
Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. “Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini,” tulis Feri Kusuma.
Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia. Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke dalam partai politik mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang lain. Sebab itu, Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya. Ia dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan Gerombolan Jubah Putih.
Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini membuatnya menolak “pesantren sogokan” tersebut. Hal ini membuat hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi GAM pada 1992 dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.
Ketika Habibie menggantikan Suharto dan menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini rupanya tidak berkenan di hati tentara hasil didikan rezim Suharto.
Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama saja dengan kelompok-kelompok bersenjata Aceh yang tidak mau menerima Pancasila. Sebab itu keberadaannya harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini. Para tentara Suharto itu lupa, berabad-abad sebelum Pancasila lahir, berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah negeri merdeka dan berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang diamandemen di tahun 2002.
Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat dan Brimob mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh. Walau warga setempat curiga, karena pengalaman membuktikan, di mana aparat bersenjata hadir dalam jumlah banyak, maka pasti darah rakyat tumpah, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa. Firasat warga sipil terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga terjadi insiden penembakan terhadap warga yang tengah mencari udang. Satu luka dan yang satu lagi berhasil menyelamatkan diri masuk hutan. Teror ini meresahkan warga.
Sedari subuh keesokan harinya, Jumat pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diam-diam mendekati pesantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senjata api sudah terisi amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan Bribom sudah berada di seberang sungai dekat pesantren. Dengan alasan mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya hanya 100 meter di timur pesantren. Satu jam kemudian, pasukan tersebut mulai bergerak ke pesantren. Dengan seragam tempur lengkap dengan senjata serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat kamuflase berwarna hijau dan hitam, mereka mengepung pesantren dan berteriak-teriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka.
Menjelang waktu sholat Jumat, para santri biasa berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna mendengar segala nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan dari tentara yang menyebut-nyebut namanya, Bantaqiah pun datang bersama seorang muridnya. Aparat bersenjata itu tidak sabaran. Mereka merangsek ke dalam dan memerintahkan semua santri laki-laki untuk berkumpul di lapangan dengan berjongkok menghadap sungai.
Aparat dengan suara keras dan mengancam meminta agar Bantaqiah menyerahkan senjata apinya. Tengku Bantaqiah bingung karena memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya pacul dan parang yang sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan. Aparat tidak percaya dengan semua keterangan Bantaqiah. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren dijadikan bukti oleh aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi dengan GAM. Padahal itu antene radio biasa.
“Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan,” tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul “Jubah Putih di Beutong Ateuh”.
Melihat anaknya terjatuh, secara refleks Bantaqiah berlari mendekatinya hendak menolong. Tiba-tiba tentara memberondongnya dengan senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah dan puteranya syahid. Dengan membabi-buta, aparat murid dari Jenderal Suharto ini mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung syahid bertumbangan. Tanah Aceh kembali disiram darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah, yang berada di tengah rimba.
Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri langsung terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Para tentara mengguyur jurang itu dengan tembakan. Nasib para santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat dugaan, para santri ini dibantai aparat Suharto dan dibuang ke jurang.
Sore hari, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad yang ada. Para perempuan digiring menuju mushola yang ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi penguburan. Aparat bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren. Mereka merusak dan menghancurkan semua yang ada, mereka membakar kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-Quran dan surat Yasin yang ada di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah, aparat bersenjata didikan Suharto ini, kemudian kembali ke barak dengan sejumlah truk, meninggalkan warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan berdoa.
Setelah tragedi tersebut, warga Beutong Ateuh hanya bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap daya dan upaya, para santri yang tersisa—kebanyakan perempuan tua dan anak-anak kecil—membangun kembali pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan dengan segala keterbatasan. Sampai kini, pesantren ini belum memiliki cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitab-kitab kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain seperti seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan sebagainya yang musnah terbakar. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun pelaku pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diseret ke pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur’an dan surat Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran. Mungkin tengah menanti hukum Allah SWT atas ulah mereka. Sama seperti guru mereka: Jenderal Suharto.
Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di antara jutaan tragedi kekejaman rezim Suharto terhadap Muslim Aceh. Anehnya, sampai detik ini tidak ada satu pun pejabat pemerintah, sipil maupun militer, yang terlibat kejahatan HAM sangat berat atas Muslim Aceh. (sumber: Koalisi NGO HAM Aceh)
Bab Tragedi Kemanusiaan Di Aceh - Edisi: Tragedi Rumoh Geudong
MENGUAK MISTERI RUMOH GEUDONG
Atjeh Pusaka - Diantara sederet kisah luka di Aceh, Rumoh Geudong (Pos Sattis, -Kopassus) memang memiliki sebuah kisah dan sejarah tersendiri bagi rakyat Aceh. Ditengah isu politik pada masa akan dicabutnya Daerah Operasi Militer (DOM) pada tanggal 7 Agustus 1999 saat jendral Wiranto menjabat, semakin terbuka peluang atas pengungkapan berbagi kasus kejahatan HAM yang terjadi di Aceh.
Rumoh Geudong terletak di desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie, atau berjarak 125 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Kabupaten Pidie ini menempati posisi Lintang Utara 4,39-4,60 derajat dan Bujur Timur 95,75-96,20 derajat.
Menurut alkisah dari penuturan ahli waris Rumoh Geudong ini dibangun pada tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, putera seorang hulubalang yang tinggal di Rumoh Raya sekitar 200 meter dari Rumoh Geudong. Pada masa penjajahan oleh Belanda, rumah tersebut sering digunakan sebagai tempat pengatur strategi perang yang diprakarsai oleh Raja Lamkuta bersama rekan-rekan perjuangannya.
Namun, Raja Lamkuta akhirnya tertembak dan syahid saat digelarkan aski kepung yang dilakukan oleh tentara marsose di Pulo Syahi, Keumala berkat adanya informasi yang di dapat dari informan (cuak, dalam bahasa Aceh). Jasadnya Raja Lamkuta dikuburkan dipemakaman raja-raja di Desa Aron yang tidak jauh dari Rumoh Geudong.
Tidak berhenti begitu saja perjuangan Raja Lamkuta, adiknya Teuku Cut Ahmad akhirnya mengambil alih lagi ketika baru berusia 15 tahun untuk memimpin perjuangan terhadap Belanda, namun beliau juga syahid ditembak oleh Belanda yang mengepung Rumoh Geudong.
Pada masa-masa berikutnya, Rumoh Geudong ditempati secara berturut-turut oleh Teuku Keujren Rahman, Teuku Keujren Husein, Teuku Keujren Gade. Selanjutnya pada masa Jepang masuk dan menjajah Indonesia hingga merdeka, rumah tersebut ditempati oleh Teuku Raja Umar (Keujren Umar) anak dari Teuku Keujren Husein. Setelah Teuku Raja Umar meninggal, rumah ini ditempati anaknya Teuku Muhammad.
Pengurusan Rumoh Geudong sekaran ini dipercayakan kepada Cut Maidawati anaknya dari Teuku A. Rahman. Teuku A. Rahman mewarisi rumah tersebut berdasarkan musyawarah keluarga, dari ayahnya yang bernama Teuku Ahmad alias Ampon Muda yang merupakan anak Teuku Keujren Gade.
Laksana Peti Mati
Sebelum Rumoh Geudong digunakan sebagai pos militer (Pos Sattis) sejak April 1990. Masih menurut ahli waris, penempatan sejumlah personal aparat militer pada saat itu hanya sementara, tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sebenarnya pemilik Rumoh Geudong merasa keberatan, namun para anggota Kopassus yang terlanjur menjadikan rumah tersebut menjadi pos militer sekaligus “rumah tahanan” dan tidak mau pindah lagi.
Baru pada tahun 1996, dibuatlah sebuah surat pinjam pakai rumah yang ditanda tangani Muspika setempa, tetapi sayang tanpa ada tanda tangan pemilik rumah. Rumah ini juga terkenal angker karena dihuni oleh makhlus halus, sehingga para anggota aparat yang bertempat disitu sering diganggu.
Memang ikhwal adanya sebuah peti mati yang berisikan kain kafan berlumuran darah di Rumoh Geudong cukup membuat mistis para penghuninya. Dari peti mati inilah sering keluar makhlus halus yang berwujud harimau. Menurut penuturan dari pemilik rumah ini, kain kafan yang berlumuran darah dalam peti tersebut merupakan milik nenek dari hulubalang pemilik Rumoh Geudong yang meninggal dunia karena diperlakukan secara kejam oleh Belanda.
Ada gangguan yang memang dirasakan oleh para aparat di tempat itu, misalnya aparat yang beragama non muslim yang tidur di rumah atas (rumah Aceh), secara tiba-tiba ‘diturunkan’ ke rumah bawah. Pada tahun 1992, sempat terjadi juga penembakan yang dilakukan oleh seorang anggota Kopassus yang menembak mati temannya sendiri karena ia bermimpi didatangi harimau yang menyuruhnya menembak temannya itu.
Karena beberapa peristiwa ini sering mengganggu, aparat militer hanya bertahan beberapa bulan saja di Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron dan kemudian terpaksa pindah ke Desa Amud. Namun, karena alasan kurang strategis untuk sebuah pos operasi militer, anggota Kopassus memindahkan lagi posnya dari Amud ke Rumoh Geudong dengan meminta bantuan seorang ulama terkenal, Abu Kuta Krueng untuk memindahkan makhlus halus yang sering menghantui mereka yang berada di dalam peti mati melalui sebuah acara ritual kenduri (hajatan kecil).
Sebelum Ditarik Kopassus Masih Menculik
Selasa 18 agustus 1998, Dua anggota Kopassus masih mencoba menculik keluarga salah seorang korban di Desa Nibong, Ujong Rimba, Kecamatan Mutiara, kendati pasukannya sudah akan ditarik dari Pidie ke Lhokseumawe. Korban penculikan itu adalah keluarga Mohammad Yunus Ahmad, korban penculikan, 28 Maret 1998 lalu yang hingga kini belum kembali. Rumah Yunus di Desa Nibong, didatangi dua anggota Koppasus yang mengendarai mobil Toyota Kijang bernomor polisi BK 1655 LR.
Kopassus semula hendak mengangkut istri Yunus, Ny Zaubaidah Cut (37 tahun). Zaubaidah kebetulan tak ada di rumah. Karena kecewa, Kopassus yang dari Pos Sattis Bilie Aron itu, mengambil ibu Ny. Zaubidah dan seorang anak Yunus yang masih berusia 15 tahun. Karena belum berhasil membawa Ny Zaubaidah, dua anggota Kopassus itu memarkir mobilnya di simpang jalan Blang Malu menunggu kedatangan Ny Zaubaidah.
Penduduk yang mengetahui penculikan ibu, anak dan rencana penculikan Ny Zubaidah, menunggu Ny Zaubaidah di persimpangan lainnya dan mencegat perempuan itu pulang ke rumah. Penduduk kemudian membawa Ny Zaubaidah ke Sub Den-POM, Sigli. Kepala Sub Detasemen Polisi Militer (POM) Sigli Lettu CPM Hartoyo, menelepon Koramil Mutiara agar mobil Kijang Kopassus itu ditahan.
Dua anggota Koramil Mutiara dengan sepeda motor menahan dua anggota Kopassus itu. Petugas Koramil itu kemudian menggiring mobil Kijang Kopassus hingga ke Markas Koramil Mutiara. Namun, sebelum petugas POM datang ke Koramil Mutiara, kedua angota Kopassus sudah kabur. "Saya akan cari mereka itu. Saya belum tahu namanya. Bisa jadi mereka oknum, atau cuak-cuak itu," kata Hartoyo.***
Tak Ada Lagi Jerit Kesakitan Di Rumoh Geudong
Warga sekitar Rumoh Geudong (rumah gedung), markas Kopassus yang dipakai sebagai tempat penahanan dan penyiksaan terhadap masyarakat Aceh, tidak lagi mendengar teriakan kesakitan dan menyaksikan penyiksaan yang dilakukan Kopassus. Perasaan lega masyarakat itu muncul seiring ditariknya pasukan ABRI dari seluruh wilayah Aceh.
"Kami sudah tak sanggup lagi mendengar dan menyaksikan orang-orang disiksa di Rumoh Geudong itu. Kalau malam, tidur kami sering terganggu karena mendengar jeritan-jeritan orang yang disiksa. Atau mendengar lagu-lagu dari tape yang diputar keras-keras waktu penyiksaan," kata seorang warga Desa Aron, tempat marksa Kopassus itu berada. Kepergian Kopassus dari Aron disambut gembira masyarakat sekitar. Namun begitu, pemilik Rumoh Geudong mengeluh. Kopassus meninggalkan tagihan jutaan rupiah untuk rekening telepon.
"Mereka suruh kami menagih pembayarannya sama bupati," kata pemilik rumah itu. Selama operasi Jaring Merah dilancarkan di wilayah itu, Pemda Pidie sudah cukup banyak mengeluarkan dana untuk biaya operasional Kopassus. Dana yang sebenarnya milik rakyat Pidie itu dipakai Kopassus untuk membayar rekening telepon, listrik, sewa rumah, kendaraan, dan sebagainya. "Tragisnya dana milik rakyat itu dipakai Kopassus untuk membunuh, menyiksa dan memperkosa rakyat," ujar seorang warga. ***
Berakhirnya Tanda Luka
Pos Sattis atau lebih dikenal dengan Rumoh Geudong menjadi ‘neraka’ bagi masyrakat Pidie. Meledaknya pengungkapan kejahatan kemanusiaan di rumah yang mempunyai luas tanah 150 x 80 meter yang tidak jauh dari jalan raya Banda Aceh - Medan sungguh telah mengores luka berat. Tidak hanya masyarakat di luar Aceh, bahkan bagi masyarakat Aceh pun kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat negara (Pa’i, -istilah TNI/Polri bagi rakyat Aceh) telah melampaui akal sehat mereka.
Menurut keterangan masyarakat setempat, sejak Maret 1998 sampai DOM dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 (sekitar lima bulan, sebelum rumah itu dibakar massa), Rumoh Geudong telah dijadikan tempat tahanan sekitar lebih dari 50 orang laki-laki dan perempuan yang dituduh terlibat dalam Gerakan Pengacau Keamanan - Aceh Merdeka (GPK-AM). Namun, dari penuturan seorang korban, ketika korban yang sempat ditahan di Pos Sattis selama tiga bulan, dia telah menyaksikan 78 orang dibawa ke pos dan mengalami penyiksaan-penyiksaan. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh yang telah disiksa atau pun dieksekusi di tempat ini jika kembali dihitung mulai tahun 1990 sejak pertama kali Pos Sattis digunakan sampai tahun 1998.
Saat Tim Komnas HAM melakukan penyisiran dan penyelidikan ke Rumoh Geudong, tim juga menemukan berbagai barang bukti seperti kabel-kabel listrik, balok kayu berukuran 70 cm yang sebagian telah remuk serta bercak-bercak darah pada dinding-dinding rumah.
Selain itu, tim juga melakukan penyisiran dengan penggalian tanah di halaman Rumoh Geudong yang diduga dijadikan tempat sebagai tempat kuburan massal. Setelah dilakukan penggalian, tim hanya menemukan tulang jari, tangan, rambut kepala dan tulang kaki serta serpihan-serpihan tulang lainnya dari kerangka manusia.
Bagi masyarakat Aceh, kebencian terhadap Rumoh Geudong menjadikan mereka sangat mudah disulut provokasi oknum-oknum yang punya kepentingan untuk memusnahkan bukti kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang pernah terjadi di rumah itu.
Tepat tanggal 12 Agustus 1998, sekitar 30 menit setelah Tim Komnas HAM yang dipimpin oleh Baharudin Lopa meninggalkan lokasi rumah tersebut dalam rangka mencari bukti-bukti kebenaran, akhirnya dibakar oleh massa. Tentu hal ini sangat disayangkan, karena telah hilangnya bukti penanda sejarah atau monumen historis adanya kekejaman dan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi di tempat ini.
Namun, lain lagi menurut ahli waris Rumoh Geudong. Pembakaran rumah tersebut ternyata sejak tahun 1945, pernah dicoba bakar oleh sekelompok orang, lagi-lagi hasil itu gagal karena tiba-tiba muncul tiga ekor harimau dari rumah dan menyerang para pelakunya. Dan entah kenapa setelah dijadikan sebagai Pos Sattis oleh aparat, Rumoh Geudong malah justru dapat dibakar.
Menurut penuturan terakhir dari ahli waris, Teuku Djakfar Ahmad: “Mungkin Rumoh Geudong itu sendiri yang ‘minta dibakar’, karena tak ingin sejarahnya ternoda. Kalau dibikin monumen, mungkin orang hanya ingat Rumoh Geudong sebagai tempat pembantaian. Sedangkan sejarah perjuangannnya bisa-bisa dilupakan orang.”
Inilah kisah tragis Rumoh Geudong, pada masa Belanda dan Jepang, rumah besar ini justru menjadi pusat perjuangan membela agama dan merebut kemerdekaan Indonesia. Semoga kisah ini menjadi sebuah sejarah yang tidak pernah dilupakan oleh rakyat Aceh, kenangan yang telah membekas menjadi satu pelajaran yang bisa diambil untuk anak cucu nantinya. (sumber: Koalisi NGO HAM Aceh)
Anjangsana ke BPSDM Aceh, STKS Bandung minta MoU segera terlaksana
Atjeh Pusaka - Banda Aceh - Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Aceh menerima kunjungan dari pihak Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. Anjangsana tersebut membahas rencana MoU di bidang kesejahteraan sosial yang bakal dilakukan Pemerintah Aceh dengan STKS dalam waktu dekat.
Mewakili Kepala BPSDM Aceh, Khudri, S. Ag selaku Kepala Bidang Pengembangan SDM dan Kerjasama menuturkan kedatangan pihak STKS Bandung ke BPSDM Aceh merupakan tindak lanjut dari penjajakan nota kesepahaman yang dilakukan Kepala BPSDM Aceh awal September lalu.
"Saya mewakili Kaban sangat berterimakasih atas kedatangan bapak ibu sekalian. Mohon maaf karena pak Kaban belum dapat berhadir. Namun untuk diketahui kedatangan mereka ini didasari oleh rencana perjanjian kerjasama yang dilakukan kaban," ujar Khudri saat menerima kunjungan tersebut sembari mempersilahkan pihak STKS untuk mempresentasikan kampus mereka di Ruang Rapat BPSDM Aceh, Jumat (26/10/2018).
Kepala STKS Bandung Dr. Dwi Heru Sukoco, M. Si mengatakan dalam rencana kerjasama tersebut, pihaknya menawarkan beberpa jenis kerjasama. Diantaranya, kata Heru, kerjasama di bidang edukasi untuk menghasilkan para pekerja sosial profesional.
"Ini dapat kita lakukan melalui Program Pendidikan Sarjana Terapan Pekerjaan Sosial dan Magister Spesialis-1 Pekerjaan Sosial," ujarnya.
Selain di bidang pendidikan, kata Heru, kami juga menawarkan kerjasama di beberapa bidang lain seperti penyusunan naskah akademik, pengembangan panti sosial, penyusunan Standar Operasional Prosedur PMKS dan Pedoman Pelayanan.
"Selain itu juga masih banyak kerjasama-kerjasama yang dapat kami lakukan baik dengan pihak Pemda maupun instansi terkait lainnya," jelasnya.
Ia berharap dalam waktu dekat BPSDM Aceh akan segera melakukan tindak lanjut terkait kerjasama tersebut.
"Semoga, nantinya Pemerintah Aceh dapat mengabulkan beberapa kerjasama tadi supaya Aceh memiliki kapasitas pekerja sosial yang profesional," pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Dinas Sosial Aceh Devi Riansyah, A. KS., M. Si yang ikut serta dalam menerima kunjungan tersebut menyebutkan pihaknya bersedia melakukan koordinasi lebih lanjut dengan berbagai pihak terkait agar kerjasama tersebut dapat segera terwujud.
"Faktanya hari ini kita memang kekurangan para Pekerja Sosial Profesional. Jadi melalui kerjasama ini, kita berharap akan terlahir Para Pekerja Sosial yang berkualitas tidak hanya di Provinsi tetapi juga merata ke seluruh kabupaten/kota di Aceh," harapnya. (ADR)
Jumat, 02 November 2018
SEPTEMBER 2018, ACEH INFLASI 0,32 PERSEN
Atjeh Pusaka - Banda Aceh - Pada bulan Oktober 2018 di Kota Banda Aceh terjadi inflasi sebesar 0,32 persen, Kota Lhokseumawe inflasi sebesar 0,50 persen, sedangkan Kota Meulaboh mengalami deflasi sebesar 0,17 persen. Secara agregat untuk Aceh dari 3 kota itu, pada bulan September 2018 mengalami inflasi sebesar 0,32 persen.
Hal tersebut disampaikan oleh Kabid Statistik Distribusi Kenda Paryatno pada acara press release di Aula Kantor Statistik Aceh, Kamis, 01/11/2018.
Menurut Kenda Inflasi yang terjadi di Provinsi Aceh (Gabungan 3 Kota) disebabkan oleh meningkatnya indeks harga konsumen untuk kelompok-kelompok pengeluaran seperti Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan inflasi sebesar 0,74 persen, Perumahan, Air, Listrik,Gas dan Bahan Bakar inflasi sebesar 0,44 persen, Kesehatan inflasi sebesar 0,41 persen, Sandang inflasi sebesar 0,37 persen, Pendidikan, Rekreasi & Olah Raga inflasi sebesar 0,15 persen, Bahan Makanan inflasi sebesar 0,04 persen, dan Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau inflasi sebesar 0,03 persen.
Komponen Inti untuk Provinsi Aceh pada Oktober 2018 mengalami inflasi sebesar 0,23 persen, komponen yang Harganya Diatur Pemerintah inflasi sebesar 0,70 persen, dan komponen Bergejolak mengalami inflasi sebesar 0,20 persen.
Nilai ekspor Provinsi Aceh Agustus 2018 sebesar 14.047.391 USD. Pada bulan Agustus 2018 jumlah penumpang yang tercatat di bandar udara Sultan Iskandar Muda mencapai 107.741 orang. Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di Provinsi Aceh pada bulan Agustus 2018 sebesar 53,35 persen
NTP Provinsi Aceh, Oktober 2018 sebesar 94,39 Inflasi Pedesaan, Oktober 2018 sebesar 0,53 persen. Selama Oktober 2018, di tingkat petani dan penggilingan terjadi kenaikan rata-rata harga gabah kualitas GKP.
Ditempat yang sama Kabid Statistik Produksi Irnanto mengatakan pada triwulan III tahun 2018, produksi industri manufaktur besar dan sedang (IBS) memperlihatkan penurunan sebesar -5,15 persen jika dibandingkan dengan produksi triwulan ll tahun 2018 (q to q). Dibandingkan dengan tahun 2017 (y on y), produksi industri manufaktur besar dan sedang pada triwulan III tahun 2018 mengalami peningkatan produksi yang cukup besar yaitu 48,51 persen.
Produksi industri manufaktur mikro dan kecil (IMK) triwulan III tahun2 018 mengalami pertumbuhan yaitu sebesar - 3,82 persen dibandingkan dengan produksi triwulan 1| tahun 2018 (q to q).
Dibandingkan tahun sebelumnya (y on y), produksi industri manufaktur mikro dan kecil pada triwulan Ill tahun 2018 mengalami pertumbuhan sebesar 1,69 persen.
Ia menambahkan Luas panen dan produksi padi di indonesia tahun 2018 dimana padi di Provinsi Aceh periode Januari sampai September 2018 sebesar 242,4 ribu hektar. Dengan memperhitungkan potensi sampai Desember 2018, maka luas panen tahun 2018 adalah 297,3 ribu hektar.
Produksi padi di Provinsi Aceh periode Januari-September 2018 sebesar 1.38 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Berdasarkan potensi produksi sampai Desember 2018, maka diperkirakan total produksi padi tahun 2018 sebesar 1,7 juta ton GKG.
Jika produksi padi dikonversikan menjadi beras denganmenggunakan angka konversi GKG ke beras tahun 2018, maka produksi padi tersebut setara dengan 973 ribu ton beras. (ADR)
PLT GUBERNUR MINTA SEKTOR PERTANIAN DAN PERKEBUNAN DI PRIORITASKAN
Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah
Atjeh Pusaka - Banda Aceh - Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, meminta para stakeholder terkait baik di tingkat provinsi mau pun di kabupaten/ kota, untuk memberikan perhatian serius terhadap pengembangan sektor pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Dengan majunya sektor itu akan mendukung kuatnya perekonomian Aceh dan nasional.
“Pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan merupakan salah satu andalan bagi pendapatan daerah dan nasional. Karena itu, Pemerintah Aceh dalam lima tahun ke depan tetap menjadikan sektor ini sebagai salah satu program prioritas,” kata Nova di Banda Aceh, Kamis, 01/11/2018, dalam pandangannya terkait akan digelarnya Jambore Penyuluh Pertanian Ke-2 di Meulaboh, pada 4-6 November mendatang.
Nova mengatakan, salah satu misi Pemerintah Aceh adalah Aceh Meugoe dan Aceh Troe. Misi itu adalah untuk mendukung sektor pertanian dan perkebunan, di mana 30 persen dari luas daratan Aceh adalah lahan pertanian dan perkebunan. Di samping itu, dari sekitar 5,2 juta penduduk Aceh, 70 persen di antaranya tinggal di pedesaan dan 70 persen dari mereka bekerja sebagai petani.
“Aceh memiliki tanah atau lahan yang luas dan subur, sehingga memungkinkan dilakukan pengembangan berbagai komoditi unggulan pada sektor pertanian, hortikultura dan perkebunan,” kata Nova.
Agar produksi komoditi unggulan daerah itu maksimal, menurut Nova, pengembangan komoditi harus dilakukan berdasarkan potensi wilayah masing-masing. Sebagai contoh untuk komoditi perkebunan, wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah prioritas pada tanaman kopi.
Selanjutnya Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara untuk cocok untuk kakao. Adapun wilayah barat mulai dari Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Selatan, Subulussalam, dan Aceh Singkil sebagai wilayah prioritas utama untuk sawit. Selain itu sawit juga prioritas untuk wilayah timur yaitu Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Selain tiga komoditi utama tersebut ada juga cengkeh yang tumbuh dengan baik di Aceh Besar, Sabang dan Simeulue.
Untuk mewujudkan pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan sebagai ‘denyut nadi’ perekonomian rakyat, setiap tahunnya anggaran untuk pembangunan sektor itu terus bertambah. Dengan demikian, diharapkan lambat laun sektor itu benar-benar menjadi salah satu motor penggerak utama ekonomi masyarakat Aceh.
Karena itu, menurut Plt Gubernur, Aceh Meugoe dan Aceh Troe harus dimaknai melalui peningkatan produksi dan produktivitas hasil dengan mengelola sumberdaya alam dan sumber daya manusia melalui intensifikasi dan ektensifikasi menggunakan inovasi teknologi dan mekanisasi. Dengan cara itu, target memajukan sektor pertanian pangan, hortikultura dan perkebunan pada akhirnya akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani akan tercapai.
Keberhasilan yang dicapai petani dalam peningkatan produksi, kata Nova, tidak terlepas dari kerja keras penyuluh pertanian dalam melakukan pengawalan dan pendampingan. Karena itu, Nova memberikan apresiasi dan penghargaan yang tinggi kepada penyuluh pertanian baik PNS, THL-TBPP, penyuluh pertanian swadaya, pimpinan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) kecamatan dan petugas teknis lapangan terkait lainnya yang sudah melaksanakan peran strategis dalam melalui pendampingan bagi petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan kelembagaan ekonomi petani.
Namun, Nova berharap penyuluh pertanian untuk tidak terpaku pada peningkatan produksi. “Penyuluh pertanian harus mengembangkan dan memberdayakan petani, meningkatkan akses sosial yang dapat memberikan informasi pasar dan teknologi serta dapat menghasilkan produk yang bermutu juga mampu mengembangkan diri untuk menjadi pengelola usaha agribisnis yang handal dan mandiri,”
Nova berharap, Jambore Penyuluh Pertanian Ke-2 nanti, dapat dimanfaatkan penyuluh di seluruh Aceh sebagai ajang pertukaran informasi, inovasi, dan teknologi yang nantinya dapat diterapkan untuk membantu petani di daerah masing-masing.
“Jambore itu juga kita harapkan menjadi ajang unjuk tangkas keterampilan penyuluh, dan kemampuan mereka dalam mengikuti perkembangan informasi terbaru di bidang pertanian,” kata Nova.
Jambore Penyuluh Pertanian itu kata Nova, harus dijadikan wadah meningkatkan silaturahmi, semangat kebersamaan dan ajang kompetensi antarpenyuluh. Para penyuluh diharapkan benar-benar memanfaatkan acara tersebut untuk menambah wawasan dan pengetahuan di bidang pertanian. (ADR)
Langganan:
Postingan (Atom)
Seulamat Uroe Raya
Admin Blog Atjeh Pusaka mengucapkan Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H... Neu peu meu'ah lahee ngon batein...
-
PEUTRON ANEUK Oleh: TA Sakti Jameun ka maju sang dumpeue bereh Keu adat Aceh hansoele kira Buet peutron aneuk bacut lon cukeh La...
-
Allah... allah... allahu rabbi, bek dilee Neu bri kiamat donya/// Lee that but salah ka deungon keuji, sayang lon rabbi asoe neuraka/// N...
-
Atjeh Pusaka - Hadih Maja atau Nariet Maja adalah suatu ungkapan atau pribahasa didalam kehidupan masyarakat Aceh. Hadih Maja ini mengandun...