Atjeh Pusaka - Kesultanan Benua Tamiang merupakan kerajaan Islam tertua di Aceh, Indonesia,
setelah Kesultanan Perlak. Belum ditemukan data dan sumber yang pasti tentang
kapan masuknya Islam, proses perkembangannya, hingga mulai terbentuk Kesultanan
Benua Tamiang yang telah dipengaruhi oleh sistem politik yang berasaskan Islam.
Berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu masa awal pembentukan Negeri
Tamiang sebagai cikal bakal berdirinya Kesultanan Benua Tamiang.
Bukti adanya Negeri Tamiang adalah bersumber dari
data-data sejarah, seperti dalam Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang
mencatat Negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakertagama yang
menyebut "Tumihang", serta benda-benda peninggalan budaya yang
terdapat pada situs Tamiang.
Pada tahun 960, di wilayah Aceh Timur telah berkuasa
seorang raja di Negeri Tamiang bernama Tan Ganda. Negeri ini berpusat di Bandar
Serang jaya. Bandar ini pernah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan
Raja Tan Ganda meninggal. Anak Raja Tan Ganda, Tan Penuh berhasil melarikan
diri dari serangan itu. Ketika kondisi Negeri Tamiang telah aman, ia
memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu Bandar Bukit Karang,
di dekat Sungai Simpang Kanan.
Sejak saat pemindahan itu, maka mulai berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan raja-rajanya sebagai berikut: Tan Penuh (1023-1044); Tan Kelat (1044-1088); Tan Indah (1088-1122); Tan Banda (1122-1150); dan Tan Penok (1150-1190). Sepeninggalan Tan Penok, karena tidak mempunyai anak kandung, maka anak angkatnya bernama Pucok Suloh diangkat sebagai raja yang menggantikan dirinya.
Sejak saat pemindahan itu, maka mulai berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan raja-rajanya sebagai berikut: Tan Penuh (1023-1044); Tan Kelat (1044-1088); Tan Indah (1088-1122); Tan Banda (1122-1150); dan Tan Penok (1150-1190). Sepeninggalan Tan Penok, karena tidak mempunyai anak kandung, maka anak angkatnya bernama Pucok Suloh diangkat sebagai raja yang menggantikan dirinya.
Sejak saat itu, Kerajaan Bukit Karang dikuasai oleh
Dinasti Suloh, dengan rara-rajanya sebagai berikut:
Pada akhir pemerintahan Raja Po Dinok (1330), sebuah rombongan para da‘i yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Kedatangan para da‘i itu tidak mendapat respon positif oleh Raja Po Dinok. Ia menyerang rombongan tersebut yang menyebabkan dirinya tewas di medan perang. Sejak saat itulah, Islam mulai berkembang di Tamiang.
- Raja Pucok Suloh (1190-1256);
- Raja Po Pala (1256-1278);
- Raja Po Dewangsa (1278-1300); dan
- Raja Po Dinok (1300-1330).
Pada akhir pemerintahan Raja Po Dinok (1330), sebuah rombongan para da‘i yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Kedatangan para da‘i itu tidak mendapat respon positif oleh Raja Po Dinok. Ia menyerang rombongan tersebut yang menyebabkan dirinya tewas di medan perang. Sejak saat itulah, Islam mulai berkembang di Tamiang.
Masa
Kesultanan Benua Tamiang
Proses islamisasi di Tamiang berlangsung relatif
singkat. Setelah masuknya rombongan da‘i ke Tamiang dan melakukan dakwah
keagamaan, banyak rakyat Tamiang yang kemudian memeluk Islam. Berdasarkan
kesepakatan antara Sultan Ahmad Bahian Syah dengan para bangsawan dan rakyat
Tamiang yang telah memeluk Islam, maka ditunjuklah Sultan Muda Setia sebagai
Sultan I di Kesultanan Benua Tamiang (1330-1352). Dengan demikian, kesultanan
ini mulai berdiri pada tahun 1330. Pusat pemerintahan kesultanan ini letaknya
kini di Kota Kualasimpang.
Di akhir pemerintahan Sultan Muda Setia (1352),
Kesultanan Benua Tamiang diserang oleh Kerajaan Majapahit. Mangkubumi Muda
Sedinu ternyata mampu mengatasi serangan tersebut, meski kondisi Kesultanan
Benua Tamiang sempat porak-poranda.
Atas kemampuannya tersebut, Mangkubumi Muda Sedinu
dipercaya menggantikan kedudukan Sultan Muda Sedia pada tahun 1352, namun bukan
dalam kedudukannya sebagai sultan, hanya sebagai pemangku sultan saja. Pada
masa pemerintahan Muda Sedinu ini, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke
Pagar Alam (kini letaknya sekitar daerah Simpang Jenih) karena alasan keamanan
dan pertahanan. Pemerintahan Muda Sedinu berakhir pada tahun 1369.
Tahta kekuasaan kesultanan kemudian beralih ke
Sultan Po Malat sebagai Sultan II (1369-1412). Pada masanya, serangan Majapahit
masih berlanjut hingga menyebabkan kegiatan penyebaran Islam di kesultanan ini
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penggantinya, Sultan Po Tunggal atau
Sultan III (1412-1454) juga tidak dapat berbuat banyak. Kegiatan yang dapat
dilakukan oleh Sultan Po Tunggal hanya mengkoordinir kekuatan baru dan menyusun
pemerintahan kembali.
Keadaan baru dapat kembali stabil pada masa
pemerintahan Sultan Po Kandis atau Sultan IV (1454-1490). Pada masanya, pusat
pemerintahan kesultanan dipindahkan dari Pagar Alam ke Kota Menanggini (kini
bernama Karang Baru). Kegiatan penyiaran Islam kembali dapat dilakukan pada
masa ini. Sultan Po Kandis memprioritaskan kegiatan pendidikan Islam dan
pembinaan seni budaya yang bernafaskan Islam sebagai program utama
pemerintahannya.
Sultan Po Kandis digantikan oleh anaknya sendiri,
Sultan Po Garang sebagai Sultan V (1490-1528). Oleh karena tidak mempunyai
anak, ia kemudian digantikan oleh menantunya Po Kandis, ipar Po garang, yang
bernama Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558).
Peristiwa penting yang terjadi pada masa Sultan VI
ini adalah penggabungan Tamiang menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam
pada masa Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Ketika itu Sultan Ali Mughayat
Syah gencar mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam satu federasi
yang kokoh, yang tujuannya adalah sebagai strategi penting untuk menghadapi
serangan Portugis. Masa pemerintahan Sultan VI ini dapat dikatakan sebagai masa
berakhirnya Kesultanan Benua Tamiang.
Silsilah
Urutan sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan
Benua Tamiang adalah sebagai berikut:
- Sultan Muda Setia (1330-1352)
- Mangkubumi Muda Sedinu (1352-1369)
- Sultan Po Malat (1369-1412)
- Sultan Po Kandis (1454-1490)
- Sultan Po Garang (1490-1528)
- Pendekar Sri Mengkuta (1528-1558)
Periode
Pemerintahan
Kesultanan Benua Tamiang dapat eksis selama dua
abad lebih (1320-1558). Selama rentang waktu yang panjang itu, kesultanan ini
pernah mengalami masa pasang surut. Kesultanan ini kini telah masuk ke dalam
sistem pemerintahan masa modern, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang. Terbentuknya
kabupaten ini didasarkan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2002, tertanggal 10
April 2002. Pada tanggal 2 Juli 2002, kabupaten ini resmi menjadi kabupaten
otonom yang terpisah dari Kabupaten Aceh Timur.
Negeri Tamiang pada masa lalu pernah terpecah dua
hingga menjadi dua kerajaan yakni Kerajaan Karang dan Kerajaan Benua Tunu. Tapi
kedua kerajaan itu tetap tunduk pada negeri Karang. Dalam buku Tamiang Dalam Lintas
Sejarah yang ditulis oleh H.Ir. Muntasir Wan Diman secara ringkas disebutkan
bahwa Kerajaan Tamiang dijadikan dua kerajaan otonom.
Pada masa pemerintahan Raja Proomsyah yang kimpoi dengan Puteri Mayang Mengurai anak Raja Pendekar Sri Mengkuta tahun 1558 menjadi Raja Islam kedelapan dengan pusat pemerintahan di Desa Menanggini.
Sementara itu Raja Po Geumpa Alamsyah yang kimpoi
dengan Puteri Seri Merun juga anak Raja Pendekar Sri Mengkuta memerintah di
Negeri Benua sebagai Raja Muda Negeri Simpang Kiri Raja Benua Tunu.
Diuraikan Muntasir bahwa Kerajaan Karang muncul
setelah Tan Mudin Syari (Raja Islam Tamiang ke 10) wafat, lalu diganti
kemanakannya yang bergelar “Tan Kuala” (Raja Kejuruan Karang I) yaitu putera
dari Raja Kejuruan Tamiang Raja Nanjo (Banta Raja Tamiang). Raja Kejuruan Karang
Tan Kuala memerintah 1662 -1699 merupakan pengganti turunan Suloh.
Setelah Raja Tan Kuala meninggal dunia digantikan
Raja Mercu yang bergelar Raja Kejuruan Mercu yang merupakan Raja Kejuruan
Karang II. Pusat pemerintahan Raja Kejuruan Karang II di Pantee Tinjo. Raja Kejuruan Karang II berdaulat 1699-1753 berlangsung aman dan tenteram.
Penggantinya Raja Kejuruan Banta Muda Tan Egia
berdaulat 1753-1800 merupakan Kerajaan Karang III. Selanjutnya Raja Karang
III diganti Raja Sua yang bergelar Raja Kejuruan Sua (Raja Karang IV)
memerintah 1800-1845 . Raja Sua diganti Raja Achmad Banta dengan gelar Raja
Ben Raja Tuanku di Karang sebagai Raja Kejuruan Karang V yang memerintah 1845-1896 .
Pada masa raja inilah terjadi peperangan Aceh
dengan Belanda 1873-1908 dan melalui peperangan itu, Raja Kejuruan Karang V
meninggal dunia dalam tawanan Belanda. Penggantinya adalah putranya sendiri bernama Raja
Muhammad bergelar Raja Silang sebagai Raja Kejuruan Karang ke VI. Raja Silang
memerintah setelah lepas dari tawanan Belanda sejak tahun 1901-1925. Setelah
Raja Silang meninggal dunia dimakamkan di belakang Masjid Desa Tanjung Karang.
Makamnya saat ini sudah dipugar oleh pihak Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh.
Pengganti Raja Silang adalah Tengku Muhammad Arifin
sebagai Raja Kejuruan Karang ke VII yang merupakan Raja Kejuruan Karang
terakhir memerintah tahun 1925 - 1946. Pada masa pemerintahan Tengku Muhammad
Arifin dia membangun Istana Karang yang saat ini dikuasai pihak Pertamina
Rantau karena sebelumnya keluarga Raja Kejuruan Karang telah menjualnya kepada
seorang pengusaha yang bernama Azis.
Tapi sekitar tahun 1999 terjadi bencana alam menyemburnya gas panas akibat dari pengeboran gas yang dilakukan pihak Pertamina. Pemilik istana Azis disebut-sebut meminta ganti rugi kepada Pertamina.Karena sudah diganti rugi oleh pihak Pertamina sehingga istana tersebut dikuasai Pertamina. Belakangan kabarnya istana itu telah dihibahkan Pertamina kepada Pemkab Aceh Tamiang.
Tapi sekitar tahun 1999 terjadi bencana alam menyemburnya gas panas akibat dari pengeboran gas yang dilakukan pihak Pertamina. Pemilik istana Azis disebut-sebut meminta ganti rugi kepada Pertamina.Karena sudah diganti rugi oleh pihak Pertamina sehingga istana tersebut dikuasai Pertamina. Belakangan kabarnya istana itu telah dihibahkan Pertamina kepada Pemkab Aceh Tamiang.
Karenanya sekarang istana tersebut dijadikan Kantor
Perpustakaan dan Arsip Pemkab Aceh Tamiang sebagian dan sebagian lagi dijadikan
Kantor Penghubung Kodim 0104 Aceh Timur. Sementara halaman istana tersebut saat ini selalu
dibuat acara seremonial keramaian masyarakat. Jika melewati Aceh Tamiang, istana
tersebut bisa dilihat karena letaknya persis sekitar 30 meter dari jalan Negara
Medan-Banda Aceh yang masuk wilayah Desa Tanjung Karang Kecamatan Karang
Baru.
Kini turunan Tengku Muhammad Arifin salah
seorangnya yang masih hidup adalah H Helmi Mahera Almoejahid Mantan anggota
DPD/ MPR-RI yang berkantor di Gedung MPR-RI Jakarta. Ibundanya Hj Tengku Mariani adalah
putri Tengku Muhammad Arifin Raja Kejuruan Karang VII. Tengku Hj Mariani
dipersunting sebagai isteri salah seorang pelaku sejarah Aceh pada zaman DI/ TII
yang bernama Tgk H Amir Husin Almoejahid (kedua ibunda dan ayahanda H Helmi
Mahera Almoejahid ) telah meninggal dunia dan saat ini H Helmi berdomisili di
Istana Kecil Kerajaan Karang VII bersama keluarga dan turunan Raja Kejuruan
Karang.
Lintas sejarah mengenai Raja Karang berakhir sampai
dengan Tengku Muhammad Arifin yang menyisakan sebuah istana yang kini tak jelas
siapa pemiliknya. Sebab meskipun kabarnya sudah dihibahkan Pertamina, tapi
berita acara serah terimanya tidak ada di daftar kepemilikan asset Pemkab Aceh
Tamiang. Karena itu bukti sejarah tentang istana Raja Silang harus segera
ditelusuri pihak Pemkab Aceh Tamiang.
Kemudian lintasan Kerajaan Benua Tunu diceritakan
dalam buku yang sama yang di tulis oleh H.Ir. Muntasir Wan Diman bahwa pada
saat Raja Benua dikuasai Raja Muda Po Gempa Alamsyah sebagai Raja Benua Tunu
yang pertama yang diberi gelar Raja Muda Negeri Sungai Kiri Benua Tunu I yang
memerintah 1558-1588. Setelah wafat Raja Muda Po Gempa Alamsyah
berturut-turut akhirnya hingga Raja Benua Tunu III yang dikenal Raja Muda Po
Perum sebagai Raje Benua Tunu terakhir yang berdaulat 1629-1669. Setelah Raja
Benua Tunu III wafat, kekuasaan kembali dipegang Raja Tan Kuala yang berarti
Kerajaan Tamiang sudah tidak terpecah kembali.
Belakangan setelah Benua Tunu dikuasai Raja Tan
Kuala sekitar tahun 1669 datang-lah Raja Po Nita bersama rombongan yang
menggugat tentang silsilah bahwa beliau adalah keturunan Raja Muda Sedia (Raja
Islam Tamiang yang pertama) dengan bukti menunjukkan surat dan sislsilah yang
lengkap.Akibatnya terjadi perang saudara antara rakyat Tanjong Karang dengan
yang mengakui Raja Tan Kuala sebagai Raja Tamiang dan rakyat di Benua Tunu
mendukung Raja Penita (Po Nita) sebagai Raja Tamiang, sehingga perang saudara
pecah dan banyak memakan korban jiwa.
Kelanjutan dari kekuasaan antara Raja Tan Kuala
dengan Raja Penita berakhir dengan campur tangannya Sultan Aceh yang pada saat
itu dipimpin seorang ratu yang bernama Ratu Kemalat Syah.
Hasil dari intervensi ratu tersebut diputuskan
negeri Tamiang dipecah menjadi dua daerah lagi. Raja Tan Kuala sebagai raja
yang berkuasa di daerah Sungai Simpang Kanan dan Raja Penita berkuasa di
wilayah Sungai Simpang Kiri.
Banyak peristiwa lanjutan dari kedua kerajaan
tersebut hingga masa penjajahan Belanda sampai merdeka. Belakangan Negeri
Tamiang menjadi bagian dari Wilayah Aceh Timur yang berstatus Pembantu Bupati
Wilayah III yang pusat pemerintahannya Kota Kuala Simpang.
Selanjutnya 11 Maret 2002 Wilayah Tamiang disyahkan
DPR-RI menjadi Kabupaten Aceh Tamiang melalui UU NO 4 Tahun 2002 tentang
pemekaran Kabupaten Aceh Tamiang.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Benua Tamiang mencakup
daerah-daerah yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, yaitu:
Bendahara, Karang Baru, Kejuruan Muda, Kuala Simpang, Manyak Payed, Rantau,
Seruway, dan Tamiang Hulu.
Kesultanan Benua Tamiang diperintah oleh seorang
sultan. Dalam kegiatan pemerintahan sehari-harinya, ia dibantu oleh seorang
mangkubumi yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan dan bertanggung jawab
sepenuhnya kepada sultan. Dalam bidang hukum, diangkat seorang Qadhi Besar yang
bertugas mengawasi pelaksanaan hukum, baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh
lembaga-lembaga penegak hukum.
Di tingkat pemerintahan daerah, sultan dibantu oleh tiga sistem kepemimpinan, yaitu:
- Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan;
- Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman;
- Datuk Raja Imam yang memimpin para imam di daerah-derah dan sekaligus bertindak sebagai penegak hukum di daerah.
Dalam bidang keamanan dan pertahanan kesultanan,
juga dibentuk laskar-laskar rakyat yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab
seorang panglima. Panglima ini juga membawahi tujuh panglima daerah, yaitu
Panglima Birin, Panglima Gempal Alam, Panglima Nayan, Panglima Kuntum Menda,
Panglima Ranggas, Penglima Megah Burai, dan Panglima Nakuta Banding (khusus
untuk di laut). Tingkat kepemimpinan yang paling bawah di kelaskaran ini adalah
Pang yang ada di setiap kampung di daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Benua
Tamiang.
Data kehidupan sosio-budaya berikut ini merupakan
data pada masa modern, yaitu pada masa Kabupaten Aceh Tamiang. Kabupaten ini
merupakan satu-satunya kawasan di Aceh yang dikuasai oleh etnis Melayu. Di
samping etnis Melayu, di kabupaten ini juga terdiri dari etnis Aceh, Gayo,
Jawa, Karo, dan lain sebagainya.
Sektor pertanian masih memegang peranan penting
dalam perekonomian masyarakat Tamiang sebab penduduk di kabupaten ini mayoritas
berprofesi sebagai petani. Sekitar 29.201 rumah tangga petani menggeluti dunia
bercocok tanam, yang terbanyak berada di Kecamatan Kejuruan Muda (7.093 rumah
tangga). Tanaman pangan yang biasa ditanam penduduk adalah padi, palawija,
sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Sedangkan tanaman perkebunan yang dibudidayakan di
antaranya adalah karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, kakao, dan jeruk. Dalam
beberapa tahun terakhir ini, sumbangan sektor pertanian terhadap produk
domestik regional bruto (PDRB) sebesar 40 persen lebih, dan kontribusi
terbesarnya adalah dari tanaman bahan pangan, yaitu sekitar 20 persen. Wilayah Aceh Tamiang dialiri dua cabang sungai
besar, yaitu Sungai Tamiang (yang terbagi menjadi Sungai Simpang Kiri dan
Sungai Simpang Kanan) dan Sungai/ Krueng Kaloy.
Keberadaan sungai-sungai ini bagi masyarakat
Tamiang sangat penting karena di samping dapat digunakan sebagai pengairan
tanaman pangan juga dapat digunakan sebagai alat transportasi, seperti untuk
mengangkut produksi pertanian, perkebunan, maupun untuk mengangkut bahan-bahan
kebutuhan konsumsi, dagang, dan konstruksi. (Sumber
Tulisan : Tamiang dalam lintasan Sejarah karangan H. Ir. Muntasir Wan Diman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.