Atjeh Pusaka - Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir pada 4
Desember 1976. Tapi sebenarnya catatan sejarah
Aceh Merdeka atau Gerakan
Aceh Merdeka baru didirikan pada 20 Mei 1977. Hasan Tiro lah yang memilih
hari lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan
proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera.
Proklamasi ini dilangsungkan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie.
Prosesi ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu tempat yang
tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan ini adalah gerakan bawah
tanah yang dilakukan secara diam-diam. Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan,
Hasan Tiro juga mengumumkan struktur pemerintahan Negara Aceh
Sumatera.
Akan tetapi, kabinet tersebut belum berfungsi hingga pertengahan
1977, persoalannya adalah karena para anggota kabinet pada umumnya masih
berbaur dengan masyarakat luas untuk kampanye dan persiapan perang gerilya.
Kabinet Negara Aceh Sumatera baru dapat melaksanakan sidang pertamanya pada 15
Agustus 1977. Sedangkan upacara pelantikan dan pengumpulan anggota kabinet
dilaksanakan pada 30 Oktober 1977 di camp Lhok Nilam pedalaman Tiro, Pidie.
Kabinetnya sendiri pada waktu itu, hanyalah terdiri dari
beberapa orang saja, yaitu: Presiden (Hasan Muhammad Tiro), Perdana Menteri
(Dr.Muchtar Hasbi), Wakil Perdana Menteri (Teungku Ilyas Leube), Menteri
Keuangan (Muhammad Usman), Menteri Pekerjaan Umum (Ir.Asnawi Ali), Menteri
Perhubungan (Amir Ishak BA), Menteri Sosial (Dr.Zubir Mahmud) dan Menteri
Penerangan (M. Tahir Husin).
Artikel Sejarah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini tidak mengkhususkan
deskripsi pada peristiwa detail secara kronologis yang berkaitan pada kejadian
disekitar proklamasi ini. Akan tetapi lebih menarik untuk memaparkan latar
belakang kelahiran dan motif-motif yang melahirkan peristiwa ini. Kelahiran GAM
sebagai sebuah peristiwa tidak disebabkan faktor yang tunggal namun multi faktor.
Terdapat berbagai pendapat yang telah menjelaskan beberapa hal yang menjadi
kausa atau penyebab peristiwa ini.
Pertama, bahwa GAM merupakan lanjutan perjuangan atau setidaknya terkait
Sejarah Darul Islam (DI) Aceh yang sebelumnya pernah meletus pada
1950-an. Tesis ini, didukung oleh Isa Sulaiman yang menilai keterkaitan GAM
dangan DI, karena persoalan DI tidak diselesaikan secara tuntas. Dukungan para
tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada yang belum selesai
pada upaya integrasi yang dibangun oleh Sukarno untuk menyelesaikan
pemberontakan DI/TII Daud Beureueh.
Namun, penulis menilai tesis ini lemah karena meski memiliki beberapa
keterkaitan, tapi bukti bahwa GAM ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam
sebagai dasar perjuangan dan lebih memilih nasionalisme Aceh sebagai isu
polpulisnya merupakan antitesis yang jelas menggugurkan pendapat ini.
Kedua, karena faktor ekonomi, yang
berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah.
Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di
kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran
pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional.
Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi
dari Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di
Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada
1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki
kehidupan sosial ekonomi dan Budaya Aceh dan Adat Aceh dalam tatanan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.