Syiah Kuala atau Syeikh
Abdurrauf As-Singkili dikenal sebagai pembawa tarekat Syattariyah ke Indonesia.
Ia seorang ulama profilic (produktif)
dalam menghasilkan karya intelektual.
Konon sewaktu bencana tsunami
di Aceh tahun 2004 ada sesuatu peritiwa di luar nalar. Orang-orang yang
berkumpul di makam Syiah Kuala luput dari amukan air bah yang dahsyat. Padahal
letak makam tersebut berada di pinggir pantai. Tentu saja cerita ini menjadi
buah bibir masyarakat kala itu. Bahkan ada yang mengkeramatkannya. Syiah Kuala
memang tokoh yang dihormati dan mempunyai pengaruh hingga sekarang.
Syiah Kuala memang bukan nama
asing bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi dikenal di seantero ranah Melayu dan
dunia Islam international. Syiah Kuala atau Syeikh Abdurauf Singkel adalah
tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani. Lelaki asal Singkel, Fansur Aceh
Utara ini dikenal sebagai salah satu ulama produktif. Karyanya banyak
mulai tasawuf hingga fikih. Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan Islam
di Nusantara. Tak salah kalau menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi
nama universitas di Banda Aceh.
Syekh Abdurrauf As-Singkili (Singkil,
Aceh 1032 H/ 1615 M - Kuala Aceh, Aceh
1105 H/ 1693 M) adalah seorang Ulama
besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran
agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Nama lengkapnya ialah Aminuddin
Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili.
Menurut
riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang
dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia
mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada
ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah
haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur
Tengah untuk mendalami agama Islam. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku
Syiah Kuala artinya Syeikh Ulama di Kuala.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya
sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama
Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya orang-orang Indonesia kemudian
masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia. Tidak salah kalau kemudian muncul
nama-nama ulama besar seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz At
Tirimisi, dan lain-lain yang mempunyai reputasinya mendunia.
Azyumardi
Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat
dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat
al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang
ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang
lengkap berbahasa Melayu.
Terjemahan
Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah
Zakiyyatuddin.
Mawa'iz al-Badî'. Berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan
akhlak.
Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat
pengajaran tentang martabat tujuh.
Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin
al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.
Kitabnya yang berjudul Umtad
Al Muhtajin membuka mata kita bagaimana Syiah Kuala membangun jaringan
intelektualnya. Gurunya tersebar dari Yaman, Qatar, Aden hingga dataran
Hejaz. Ia belajar tidak hanya ilmu “lahir’ saja tetapi juga ilmu ”batin”.
Kemasyhurannya dalam penguasaan dua ilmu tersebut melahirkan banyak karya yang
sampai sekarang masih menjadi bahan rujukan para ulama maupun cerdik
pandai.
Patut disayangkan catatan
tentang kehidupannya sangat minim. Kalaupun ada hanya sejarah lesan saja dan
sedikit komentar dalam karya-karyanya. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa
Syiah Kuala lahir di Singkil pada tahun 1032 H. Nama kampungnya ini kemudian
melekat pada dirinya. Nama aslinya Abdurauf. Dalam dunia ulama Melayu
atau Jawi namanya disebut sangat panjang yaitu Syeikh Abdurauf al Jawi Al
Fansuri as Singkili.
Biografi ulama yang satu ini
hanya bisa dilihat sekilas saja. Itupun hanya sepotong tulisan dalam berbagai
kitabnya. Riwayatnya sebatas bagaimana ia belajar dengan beberapa guru. Tidak
secara spesifik menyebutkan tentang biografinya. Ayahnya menjadi guru pertama dalam
pengetahuan agama di Dayah (Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan pedalaman
Singkil. Selepas itu melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi di Barus
(Dayah Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Di sekolah ini beliau
belajar ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/ Melayu dan juga
bahasa Parsi.
Setelah tamat kemudian
meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pasai yang dipimpin oleh Syeikh
Syamsuddin As-Samathrani. Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli Malikul
Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah
dan merantau ke beberapa buah negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di
sana.
Tercatat Syeikh Abdurauf
pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman Sultan Safiatuddin Tajul Alam
(1641-1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurauf memulai perjalanan
intelektualnya menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat keilmuwan yang
dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji. Disamping itu, Syeikh Abdurauf
tidak belajar secara formal dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak
tokoh ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari
Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal. Syeikh Muhammad Al
Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain. Adapun
Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf
tinggal selama 19 tahun di Mekah.
Syeikh Abdurauf bercerita
bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah
Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan
tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat
keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya
ini syeikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Sekitar tahun 1083 H/ 1622 M
Abdurrauf pulang kampung. Ia kemudian mengajarkan tarikat Syathariyah di
daerahnya. Banyak santri yang berdatangan untuk berguru. Muridnya pun berasal
dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Diantara muridnya yang paling
terkenal adalah Syeikh Burhanuddin Ulakan (Pariaman, Sumatera Barat) dan
Syeikh Abdullah Muhyi (Pamijahan, Jawa Barat).
Pengaruhnya sangat penting di
kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata filosofi yang berbunyi “Adat bak
Po Teuemeureuhom, syarak bak Syiah di Kuala” maksudnya, “Adat di bawah
kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syiah Kuala. Ayat
ini menjelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam
pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika
gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan.
Sementara itu Hamka yang juga
ahli filosofi dan ulama modern Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan
sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di
zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala
Kangsar), yang berbunyi:
“Maka adalah saya Fakih
Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil
pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan
tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia
Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat yaitu, di tanah Aceh yaitu
Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Mursyid
Syattariyah
Sebagai ulama tasawuf, Syeikh
Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tarekat Syattariyah. Hampir
semua ordo tarekat Syattariyah di Nusantara silsilahnya berujung
padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh hinga ke Sumatera Barat. Kemudian
berkembang menyusur ke Sumatera Selatan hingga Cirebon.
Menurut Syeikh
Muhammad Naquib Al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah, Ahmad al-Qusyasyi
adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia
menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya
juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas
karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama
kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.
Dalam bertasawuf Abdurauf
menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam
ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud
hakiki (Tuhan) berbeda dengan wujud bayangan (alam), terdapat keserupaan antara
wujud ini. Tuhan melakukan tajali (penampakan diri dalam bentuk alam).
Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif
tampak sempurna pada Insan Kamil.
Syeikh Abdurauf juga sangat
tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan
Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan
Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang
dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri
dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf.
Syeikh Abdurauf menulis dalam
bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid
diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa
Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al
Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat
berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para
kadi di kerajaan Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya
natara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al
Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir
ini merupakan karya terpenting Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk
maslak al Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat
tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya dan asal usul mistik.
Di akhir buku dicantumkan
tentang sedikit riwayat hidupnya. Syeikh Abdurrauf AsSingkili meninggal dunia pada tahun
1693, dalam usia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di
Kuala Aceh, Desa Deah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.