Rabu, 31 Oktober 2018

Bab Imum Peut - Episode: Imam Maliki


Biografi Imam Malik Lengkap 
(Sejarah Imam Malik)

Atjeh Pusaka -| Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714M / 93H), dan meninggal pada tahun 800M / 179H). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki.


Biografi Imam Malik

Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik berkata :"aku dilahirkan pada 93 H". dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam'ani dan ibn farhun).

Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.

Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibnu Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.

Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.

Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, Az-Zuhri, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.

Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali di antaranya ada yang lebih tua darinya seperti Az-Zuhri dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.

Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.

Di antara guru dia adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az-Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az-Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.

Di antara murid dia adalah Ibnul Mubarak, Al Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al-Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain.

Pujian Ulama untuk Imam Malik

An Nasa’i berkata ”Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.

(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).

Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.

Imam as-Syafi'i berkata, "Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi'in ".

Yahya bin Ma'in berkata, "Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits"

Ayyub bin Suwaid berkata, "Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya".

Ahmad bin Hanbal berkata, " Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah"

Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i, "apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?" 
as-Syafi'i menjawab:"aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami (orang sekarang) menemui yang seperti Malik?

Imam Abu Hanifah berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandai tentang sunnah Rasulullah dari Imam Malik."

Abdurrahman bin Mahdi, " Aku tidak pernah tahu seorang ulama Hijaz kecuali mereka menghormati Imam Malik, sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umat Muhammad, kecuali dalam petunjuk."

Ibnu Atsir, "Cukuplah kemuliaan bagi asy-Syafi'i bahwa syaikhnya adalah Imam Malik, dan cukuplah kemuliaan bagi Malik bahwa di antara muridnya adalah asy-Syafi'i."

Abdullah bin Mubarak berkata, "Tidak pernah aku melihat seorang penulis ilmu Rasulullah lebih berwibawa dari Malik, dan lebih besar penghormatannya terhadap hadits Rasulullah dari Malik, serta kikir terhadap agamanya dari Malik, jika dikatakan kepadaku pilihlah Imam bagi umat ini, maka aku akan pilih Malik."

Laits bin Saad berkata, "Tidak ada orang yang lebih aku cintai di muka bumi ini dari Malik."


Kitab Al-Muwaththa

Al-Muwaththa berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih kerana Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. 

Dari 100.000 hadits yang dihafal dia, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafii pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik, inilah karangan para ulama muaqoddimin.”

Akhir Hayat

Menjelang waFat, Imam Malik ditanya masalah kemana ia tak pergi lagi ke Masjid Nabawi selama tujuh tahun, ia menjawab, "Seandainya bukan karena akhir dari kehidupan saya di dunia, dan awal kehidupan di akhirat, aku tidak akan memberitahukan hal ini kepada kalian. Yang menghalangiku untuk melakukan semua itu adalah penyakit sering buang air kecil, karena sebab ini aku tak sanggup untuk mendatangi Masjid Rasulullah. Dan, aku tak suka menyebutkan penyakitku, karena khawatir aku akan selalu mengadu kepada Allah." Beliau meninggal dunia pada malam hari tanggal 14 safar 179 H pada usia yang ke 85 tahun dan dimakamkan di Baqi`, Madinah al-Munawwarah.

Masyarakat Medinah menjalankan wasiat yang ia sampaikan, yakni dikafani dengan kain putih, dan disalati diatas keranda. Imam shalat jenazahnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Hasyimi yang merupakan gubernur Madinah. Gubernur Madinah datang melayat dengan jalan kaki, bahkan termasuk salah satu yang ikut serta dalam mengangkat jenazah hingga ke makamnya. Dia dimakamkan di Pemakaman Baqi', seluruh murid-murid dia turut mengebumikan dia.

Informasi tentang kematian dia tersebar di seantero negeri Islam, mereka sungguh sangat bersedih dan merasa sangat kehilangan, seraya mendoakan dia agar selalu dilimpahi rahmat dan pahala yang belipat ganda berkat ilmu dan amal yang dia persembahkan untuk Islam.
  1. Selain al-Muwatta’ Imam Malik juga menulis berbagai kitab antara lain; 
  2. Risalah fi al-Qadar, 
  3. Risalah fi an-Nujum wa Manazili al-Qamar, 
  4. Risalah fi al-Aqziyyah, 
  5. Risalah ila Abi Gassan Muhammad bin Mutarrif, 
  6. Risalah ila al- Lais bin Sa’d fi Ijma’i Ahli al Madinah, 
  7. Juz’un fi at-tafsir, Kitabu as-Sir, dan 
  8. Risalat ila ar-Rasyid. 
(Dari berbagai sumber)

Bab Imum Peut - Episode: Imam Hambali


Biografi Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal

Atjeh Pusaka - Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.

Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.
Baca juga :


Masa Menuntut Ilmu

Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.

Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.

Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’'

Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.

Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”

Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.

Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujiandan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya

Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.

Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.

Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.

Keteguhan di Masa Penuh Cobaan

Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. 

Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.

Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.

Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.

Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.

Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.

Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.

Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.

Sakit dan Wafat nya

Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat. Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.

Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.

Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.


Kitab-Kitab karangan Bin Ibnu Hambal

Bin Ibnu Hambal tidak mengarang selain dari hadits dan sunnah. Pada keseluruhan kitab-kitabnya membicarakan hadits-hadits Rasulullah SAW. Sehinggaa surat atau risalahnya pun juga dengan pembicaraan yang sama (sebagaimana kita telah lihat sebagian darinya). Kesemuanya berdasarkan kepada dalil-dalil dari Al-Quran atau percakapan-percakapan Rasulullah juga sahabat-sahabatnya, dan percakapan sahabat adalah dinamakan "Atsarus-Sahabah".
Kitabnya yang termasyhur sekali ialah "Al-Masnad" yang mana beliau menghimpun di dalamnya beberapa banyak hadits-hadits Rasulullah SAW. Beliau mulai menyusun kitab tersebut pada tahun 180 Hijriah dan dijadikan kitabnya Al-Masnad sebagai panutan atau imam.

Apabila ada perselisihan di kalangan orang banyak tentang hadits Rasulullah mereka merujukkan kepada kitab tersebut, beliau berkata: Jika ada sesuatu perselisihan atau pertentangan tentang hadits hendaklah kamu kembali kepada "Al-Masnad". Jika kamu dapatinya ia adalah hujjah dan sekiranya tidak ada maka ia tidak menjadi hujjah.

Ahmad bin Hambal banyak menghabiskan waktu hidupnya dengan menghimpun hadits-hadits dari perawi-perawi hadits yang dipercayai. Penumpuannya adalah dengan penuh tenaga. Pada permulaannya beliau menulis hadits yang didengar atas sehelai kertas yang berlainan, kemudian beliau menghimpunnya. Sesudah itu direncanakan kepada keluarganya supaya ditulisnya. Beliau bacakan kepada siapa saja yang ditemuinya, tetapi sayang beliau meninggal dunia sebelum kitabnya siap disusun atau diatur.

Ibnu Hambal memuatkan kedalam kitabnya "Al-Masnad" empat puluh ribu hadits. Beliau telah memilihnya dari tujuh ratus ribu hadits. Anaknya yang bernama Abdullah meriwayatkan hadits dari kitab Al-Masnad seterusnya beliau menyiarkannya kepada seluruh manusia. Sementara Yahya bin Mandah juga telah mengarang sebuah kitab tentang Al-Masnad yang diberi nama "Al-Madkhal ilal Masnad".

Di antara kitabnya juga ialah kitab "Az-Zuhd " kitab ini membicarakan tentang zuhud Nabi-nabi, sahabat, dan khalifah dan juga sebagian dari imam-imam yang berdasarkan kepada hadits, atsar dan akbar-akbar. Di antaranya ialah kitab "As-Salah", adalah sebuah kitab yang kecil yang dikeluarkan bersama-sama kitab yang lain.

Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
  1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
  2. Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini telah hilang”.
  3. Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
  4. Kitab at-Tarikh
  5. Kitab Hadits Syu'bah
  6. Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
  7. Kitab Jawabah al-Qur`an
  8. Kitab al-Manasik al-Kabir
  9. Kitab al-Manasik as-Saghir
  10. Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin Hanbal Sunting
  11. Kitab al-'Ilal
  12. Kitab al-Manasik
  13. Kitab az-Zuhd
  14. Kitab al-Iman
  15. Kitab al-Masa'il
  16. Kitab al-Asyribah اﻞ
  17. Kitab al-Fadha'il
  18. Kitab Tha'ah ar-Rasul
  19. Kitab al-Fara'idh
  20. Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah

Bab Imum Peut - Episode: Imam Hanafi


Biografi Imam Abu Hanifah (80 – 150 H)

Atjeh Pusaka - Imam Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijrah bertepatan tahun 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah. Nama yang sebenarnya ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maha. Kemudian masyhur dengan gelaran Imam Hanafi. Imam Abu Hanafih adalah seorang imam Mazhab yang besar dalam dunia Islam. Dalam empat mazhab yang terkenal tersebut hanya Imam Hanafi yang bukan orang Arab. Beliau keturunan Persia atau disebut juga dengan bangsa Ajam. Pendirian beliau sama dengan pendirian imam yang lain, iaitu sama-sama menegakkan Al-Quran dan sunnah Nabi SAW.

Kemasyhuran nama tersebut menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab:
1. Kerana ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia diberi julukan dengan Abu Hanifah.
2. Kerana semenjak kecilnya sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang dipelajarinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (kecenderungan/condong) pada agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah.
3. Menurut bahasa Persia, Hanifah bererti tinta. Imam Hanafi sangat rajin menulis hadith-hadith, ke mana, ia pergi selalu membawa tinta. Kerana itu ia dinamakan Abu Hanifah.

Waktu ia dilahirkan, pemerintahan Islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan, dari keturunan Bani Umaiyyah kelima. Kepandaian Imam Hanafi tidak diragukan lagi, beliau mengerti betul tentang ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu kalam, dan juga ilmu hadith. Di samping itu beliau juga pandai dalam ilmu kesusasteraan dan hikmah.

Imam Hanafi adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan soleh, seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika beliau berdoa matanya bercucuran air mata demi mengharapkan keredhaan Allah SWT. Walaupun demikian orang-orang yang berjiwa jahat selalu berusaha untuk menganiaya beliau.

Sifat keberanian beliau adalah berani menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Untuk kebenaran ia tidak takut sengsara atau apa bahaya yang akan diterimanya. Dengan keberaniannya itu beliau selalu mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar, kerana menurut Imam Hanafi kalau kemungkaran itu tidak dicegah, bukan orang yang berbuat kejahatan itu saja yang akan merasakan akibatnya, melainkan semuanya, termasuk orang-orang yang baik yang ada di tempat tersebut

Sebahagian dilukiskan dalam sebuah hadith Rasulullah SAW bahawa bumi ini diumpamakan sebuah bahtera yang didiami oleh dua kumpulan. Kumpulan pertama adalah terdiri orang-orang yang baik-baik sementara kumpulan kedua terdiri dari yang jahat-jahat. Kalau kumpulan jahat ini mahu merosak bahtera dan kumpulan baik itu tidak mahu mencegahnya, maka seluruh penghuni bahtera itu akan binasa. Tetapi sebaliknya jika kumpulan yang baik itu mahu mencegah perbuatan orang-orang yang mahu membuat kerosakan di atas bahtera itu, maka semuanya akan selamat.

Sifat Imam Hanafi yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah kepadanya. Ia menolak pangkat dan menolak wang yang dibelikan kepadanya. Akibat dari penolakannya itu ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam penjara ia diseksa, dipukul dan sebagainya.

Gubernur di Iraq pada waktu itu berada di tangan Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Selaku pemimpin ia tentu dapat mengangkat dan memberhentikan pegawai yang berada di bawah kekuasaannya. Pernah pada suatu ketika Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua urusan perbendaharan negara (Baitul mal), tetapi pengangkatan itu ditolaknya. Ia tidak mahu menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Gabenor Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya.

Pada waktu yang lain Gabenor Yazid menawarkan pangkat Kadi (hakim) tetapi juga ditolaknya. Rupanya Yazid tidak senang melihat sikap Imam Hanafi tersebut. Seolah-olah Imam Hanafi memusuhi pemerintah, kerana itu timbul rasa curiganya. Oleh kerana itu ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukum dera. Ketika Imam Hanafi mendengar kata ancaman hukum dera itu Imam Hanafi menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.” Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan pendirian hidupnya.

Pada suatu hari Yazid memanggil para alim ulama ahli fiqih yang terkemuka di Iraq, dikumpulkan di muka istananya. Di antara mereka yang datang ketika itu adalah Ibnu Abi Laila. Ibnu Syblamah, Daud bin Abi Hind dan lain-lain. Kepada mereka, masing-masing diberi kedudukan rasmi oleh Gabenor.

Ketika itu gabenor menetapkan Imam Hanafi menjadi Pengetua jawatan Sekretari gabenor. Tugasnya adalah bertanggungjawab terhadap keluar masuk wang negara. Gabenor dalam memutuskan jabatan itu disertai dengan sumpah, “Jika Abu Hanifah tidak menerima pangkat itu nescaya ia akan dihukum dengan pukulan.”

Walaupun ada ancaman seperti itu, Imam Hanafi tetap menolak jawatan itu, bahkan ia tetap tegas, bahawa ia tidak mahu menjadi pegawai kerajaan dan tidak mahu campur tangan dalam urusan negara.

Kerana sikapnya itu, akhirnya ditangkap oleh gabenor. Kemudian dimasukkan ke dalam penjara selama dua minggu, dengan tidak dipukul. Lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu gabenor menawarkan menjadi kadi, juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali. Setiap hari didera sebanyak sepuluh kali pukulan. Namun demikian Imam Hanafi tetap dengan pendiriannya. Sampai ia dilepaskan kembali setelah cukup 110 kali cambukan.

Walaupun demikian ketika Imam Hanafi diseksa ia sempat berkata. “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti.” Ketika ia berusia lebih dari 50 tahun, ketua negara ketika itu berada di tangan Marwan bin Muhammad. Imam Hanafi juga menerima ujian. Kemudian pada tahun 132 H sesudah dua tahun dari hukuman tadi terjadilah pergantian pimpinan negara, dari keturunan Umaiyyah ke tangan Abbasiyyah, ketua negaranya bernama Abu Abbas as Saffah.

Pada tahun 132 H sesudah Abu Abbas meninggal dunia diganti dengan ketua negara yang baru bernama Abi Jaafar Al-Mansur, saudara muda dari Abul Abbas as Saffah. Ketika itu Imam Abu Hanifah telah berumur 56 tahun. Namanya masih tetap harum sebagai ulama besar yang disegani. Ahli fikir yang cepat dapat menyelesaikan sesuatu persoalan.

Suatu hari Imam Hanafi mendapat panggilan dari baginda Al-Mansur di Baghdad, supaya ia datang mengadap ke istana. Sesampainya ia di istana Baghdad ia ditetapkan oleh baginda menjadi kadi (hakim) kerajaan Baghdad. Dengan tawaran tersebut, salah seorang pegawai negara bertanya: “Adakah guru tetap akan menolak kedudukan baik itu?” Dijawab oleh Imam Hanafi “Amirul mukminin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar sumpah saya.”

Kerana ia masih tetap menolak, maka diperintahkan kepada pengawal untuk menangkapnya, kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad. Pada saat itu para ulama yang terkemuka di Kufah ada tiga orang. Salah satu di antaranya ialah Imam Ibnu Abi Laila. Ulama ini sejak pemerintahan Abu Abbas as Saffah telah menjadi mufti kerajaan untuk kota Kufah. Kerana sikap Imam Hanafi itu, Imam Abi Laila pun dilarang memberi fatwa.

Pada suatu hari Imam Hanafi dikeluarkan dari penjara kerana mendapat panggilan dari Al-Mansur, tetapi ia tetap menolak. Baginda bertanya, “Apakah engkau telah suka dalam keadaan seperti ini?”

Dijawab oleh Imam Hanafi: “Wahai Amirul Mukminin semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin.
Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, janganlah bersekutu dalam kepercayaan dengan orang yang tidak takut kepada Allah. Demi Allah saya bukanlah orang yang boleh dipercayai di waktu tenang, maka bagaimana saya akan dipercayai di waktu marah, sungguh saya tidak sepatutnya diberi jawatan itu.”

Baginda berkata lagi: “Kamu berdusta, kamu patut dan sesuai memegang jawatan itu.” Dijawab oleh Imam Hanafi: “Amirul Mukminin, sungguh baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahawa saya tidak patut memegang jawatan itu. Jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang maulana yang dipandang rendah oleh bangsa Arab. Bangsa Arab tidak akan rela diadili seorang golongan hakim seperti saya.”

Pernah juga terjadi, baginda Abu Jaffar Al-Mansur memanggil tiga orang ulama besar ke istananya, iaitu Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats Tauri dan Imam Syarik an Nakhaei. Setelah mereka hadir di istana, maka ketiganya ditetapkan untuk menduduki pangkat yang cukup tinggi dalam kenegaraan, masing-masing diberi surat pelantikan tersebut.

Imam Sufyan ats Tauri diangkat menjadi kadi di Kota Basrah, lmam Syarik diangkat menjadi kadi di ibu kota. Adapun Imam Hanafi tidak mahu menerima pengangkatan itu di manapun ia diletakkan. Pengangkatan itu disertai dengan ancaman bahawa siapa saja yang tidak mahu menerima jawatan itu akan didera sebanyak l00 kali deraan.

Imam Syarik menerima jawatan itu, tetapi Imam Sufyan tidak mahu menerimanya, kemudian ia melarikan diri ke Yaman. Imam Abu Hanifah juga tidak mahu menerimanya dan tidak pula berusaha melarikan diri.

Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara dileher beliau dikalung dengan rantai besi yang berat.

Suatu kali Imam Hanafi dipanggil baginda untuk mengadapnya. Setelah tiba di depan baginda, lalu diberinya segelas air yang berisi racun. Ia dipaksa meminumnya. Setelah diminum air yang beracun itu Imam Hanafi kembali dimasukkan ke dalam penjara. Imam Hanafi wafat dalam keadaan menderita di penjara ketika itu ia berusia 70 tahun.

Imam Hanafi menolak semua tawaran yang diberikan oleh kerajaan daulah Umaiyyah dan Abbasiyah adalah kerana beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengajak Imam Hanafi untuk bekerjasama mengikut gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka seksa hingga meninggal, kerana Imam Hanafi menolak semua tawaran yang mereka berikan.

Sepanjang riwayat hidupnya, beliau tidak dikenal dalam mengarang kitab. Tetapi madzab beliau Imam Abu Hanifah atau madzab Hanafi disebar luaskan oleh murid-murid beliau. Demikian juga fatwa-fatwa beliau dituliskan dalam kitab-kitab fikih oleh para murid dan pengikut beliau sehingga madzab Hanafi menjadi terkenal dan sampai saat ini dikenal sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara murid beliau yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, yang merupakan guru dari Imam Syafi’i


KARYA-KARYA IMAM ABU HANIFAH

Hasil karya dan karangan Imam Abu Hanifah, meskipun ia diakui sebagai ahli dalam agama Islam, namun sampai sekarang tidak banyak yang dapat kita nikmati. Hal ini dapat dimaklumi sebab dilihat segi dari masa hidupnya yang sebenarnya sudah banyak bahan, namun belum dituangkan dalam bentuk karya yang sistematis, sampai akhir hidupnya dalam penjara yang relatif lama sehingga apa yang kita baca pada pendapat-pendapat beliau pun sebenarnya banyak merupakan kodifikasi dari murid-muridnya atau bahkan hanya sekedar hasil kuliah dari beberapa murid beliau untuk kemudian dikodifikasikannya.

Pada saat beliau masih hidup, masalah-masalah agama dan buah fikirannya tersebut dicatat oleh sahabatnya, dikumpulkan berikut juga paham mereka sendiri, yang kemudian disebut sebagai “mazhab Imam Hanafi”. Dalam usaha itu, ulama Hanafiyah membagi hasil yang mereka kumpulkan itu dibagi kepada 3 tingkatan, yang tiap-tipa tingkatan itu merupakan suatu kelompok yaitu :

1. Tingkat pertama dinamakan Masailul –Ushul (masalah-masalah pokok)
Merupakan suatu kumpulan kitab yang bernama Zhaahirur riwayat yaitu pendapat-pendapat Abu Hanifah yang terdapat dalam kumpulan kitab itu mempunyai riwayat yang diyakini kebenarannya karena diriwiyatkan oleh murid-murid dan sahabat-sahabat beliau yang terdekat dan kepercayaannya. Kitab zhahirur riwayat dihimpun oleh Imam Muhammad bin Hasan terdiri atas 6 kitab yaitu :
a. Kitab Al Mabsuth (Terhampar)
Kitab ini memuat maslah-masalah keagamaan yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. Di samping itu juga memuat pendapat-pendapat Imam Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan yang berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah, juga perbedaan pendapat Abu Hanifah dengan Ibnu Abi Laila yang meriwayatkan kitab Al-Mabsuth ialah Ahmad bin Hafash Al-Kabir, murid dari Muhammad bin Hasan.
b. Kitab Al-Jaami’ush shaghir (himpunan kecil)
Diriwayatkan oleh Isa bin Abban dan Muhammad bin Sima’ah yang keduanya murid Muhammad bin Hasan.kitab ini dimulai dengan bab shalat. Karena sistematika kitab ini tidak teratur, maka disusun kembali oleh Al-Qodhi Abdut-Thahir Muhammad bin Muhammad Adalah-Dabbas
c. Kitab Al Jaami’ul Kabir (Himpunan Besar). Kitab ini sama dengan Al-Jaami’ush Shaghir hanya uraiannya lebih luas.
d. Kitab As-Sairu Al-shaghir (sejarah hidup kecil). Berisi tentang jihad (hukum perang)
e. Ktab As-Sairul Kabiir (sejarah hidup besar). Berisi masalah-masalah fiqih yang ditulis oleh Muhammad bin Hasan
f. Kitab Az-Ziyaadat.[1]
Keenam buku tersebut dikumpulkan dalam Mukhtashar al-Kafi yang disusun oleh Abu Fadhal Al-Muruzi.[2]


2. Tingkat kedua ialah kitab Masaa-ilun Nawadhir (persoalan langka)
Merupakan persoalan yang diriwiyatkan dari pasa pemuka mazhab di atas, tetapi tidak diriwayatkan dalam buku-buku yang sudah disebut tadi, diriwayatkan dalam buku-buku lain yang ditulis oleh Muhammad, seperti Al-Kisaniyat, Al-Haruniyyat, Al-Jurjaniyyat, Al-Riqqiyyat, Al-Makharij Fil Al-Hayil dan Ziyadat Al Ziyadat yang diriwayatkan oleh Ibnu Rustam. Buku-buku tersebut termasuk buku mengenai fiqih yang diimlakan (didiktekan) oleh Muhammad. Riwayat seperti itu juga disebut ghair zhahir al-riwayah karena pendapat-pendapat itu tidak diriwayatkan dari Muhammad dengan riwayat-riwayat yang zhahir (tegas) kuat, dan shahih seperti buku-buku pada kelompok pertama.[3]


3. Tingkat yang ketiga dinamakan Al-Fataawa Al-Waaqi’aat (kejadian dan fatwa)
Merupakan kumpulan pendapat sahabat-sahabat dan murid-murid Imam Abu Hanifah. Buku pertama mengenai al-Fatawa ialah Al-Nawazil ditulis oleh Faqih Abu Laits Al-Samarqandi. Setelah itu sekelompok syaikh menulis buku yang lain seperti Majmu’ al-Nawazil wa al-Waqiat yang ditulis oleh Al-Nathifi dan Al-Waqiat yang ditulis oleh Shadr A-Syahid Ibnu Mas’ud.[4]
Dalam bidang fiqih ada kitab Al Musnad kitab Al-Makharij dan Fiqih Al-Akbar, dan dalam masalah aqidah ada kitab al-Fiqh Al-Asqar. Dalam bidang ushul fiqih buah pikiran Imam Abu Hanifah dapat dirujuk antara lain dalam Ushul as-Sarakhsi oleh Asy-Sarakhsi dan Kanz al-wusul ila ilm al usul karya Imam al-Bazdawi.[5]

Di samping itu terdapat kumpulan pendapat Imam Hanafi yang berhubungan dengan masalah warisan yang bernama kitab Al-Faraidh dan kitab yang memuat maslah-masalah muamalat yang bernama Asy-Syuruuth.[6] Buku yang memuat sirah (biografinya) adalah Khabar Abu Hanifahkarya Asy-Syaibany dan Abu Hanifah = Hayatihu, Wa’ Asruhu, Wa Arahu Wa Fiqhuhu karya Muhammad Abu Zahrah.[7] Ada lagi kitab Al-Kharraajkarya Abu Yusuf murid Abu Hanifah, yaitu kitab pertama yang mula-mula meletakkan pokok-pokok undang-undang tentang perbendaharaan negara.

[1] Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, Jakarta : Erlangga, 1990, hal.78
[2] Wahbah Zahayly, Al Fiqh Al Islami Wa’adillatuh, (Terj) Agus Efendi, Bahrudin Fanani, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung : Remaja Rosdakarya,1995, cet. Pertama, hal.53
[3] Ibid, hal.53
[4] Ibid, hal.54
[5] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hal.14
[6] Muslim Ibrahim, Op. Cit, hal.79
[7] Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007, hal.338

Bab Imum Peut - Episode: Imam Syafi'i R,A


Biografi Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H) 

Atjeh Pusaka - Nama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin Al-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf bin Ma’n bin Kilab bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Al-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan bin Ud bin Udad. Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf. Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.

Penghijrahan ke Palestina
Sebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestina kerana beberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yang ditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana.

Kelahiran dan Kehidupannya
Menurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestina pada tahun 150 Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapanya meninggal dunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim. Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.


PENGEMBARAAN IMAM AL-SHAFI’I

Hidup Imam As-Shafi’i (150H – 204H ) merupakan satu siri pengembaraan yang tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan kriteria ilmiah dan popularitasnya.

Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )
Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H), ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dari Ghazzah, Palestina ke Kota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya di sana.
Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar ke perkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawa penghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka dari sumber asalnya yang belum lagi terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan sebagainya. Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkan dengan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau di peringkat ini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).

Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarah di samping ilmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepas pulang dari perkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannya dengan beberapa mahaguru di Kota Makkah sehingga beliau menjadi terkenal. Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarik perhatian seorang mahagurunya iaitu Muslim bin Khalid Al-Zinji yang mengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi di peringkat remaja iaitu lima belas tahun.

Al-Shafi’i di Madinah ( 164H – 179H )
Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliau berdamping dengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalah Imam Malik wafat pada tahun 179H, iaitu selama lima belas tahun. Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lain yang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baik dan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinah telah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulama-ulama lain yang terkenal di kota itu.

Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H )
Ketika Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi oleh Gabenor Yaman. Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orang Qurasyh Al-Madinah supaya mencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliau melantiknya menjalankan satu pekerjaan di wilayah Najran. Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaran Gabenor wilayah itu pada tahun 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkan terhadap diri Al-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashid di Baghdad atas tuduhan Gabenor baru itu yang sering menerima kecaman Al-Shafi’i kerana kekejaman dan kezalimannya. Tetapi ternyata bahawa beliau tidak bersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.

Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H )
Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa arti yang amat besar kepada Al-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu. Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifah dan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y. Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imam ke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliau berpindah ke Mesir.

Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehingga tahun 186H. Selama masa ini (184 – 186H) beliau sempat membaca kitab-kitab Mazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, di samping membincanginya di dalam beberapa perdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.

Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H )
Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasil usahanya di Yaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidang pengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruang langit Makkah membawa satu nafas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukan Hijazi, dan bukan pula Iraqi dan Yamani, tetapi ia adalah gabungan dari ke semua aliran itu. Sejak itu menurut pendapat setengah ulama, lahirlah satu Mazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali dengan Mazhab Al-Shafi’i.

Selama sembilan tahun (186 – 195H) Al-Shafi’i menghabiskan masanya di kota suci Makkah bersama-sama para ilmuan lainnya, membahas, mengajar, mengkaji di samping berusaha untuk melahirkan satu intisari dari beberapa aliran dan juga persoalan yang sering bertentangan yang beliau temui selama masa itu.

Al-Shafi’i di Baghdad ( 195H – 197H )
Dalam tahun 195H, untuk kali keduanya Al-Shafi’i berangkat ke kota Baghdad. Keberangkatannya kali ini tidak lagi sebagai seorang yang tertuduh, tetapi sebagai seorang alim Makkah yang sudah mempunyai personalitas dan aliran fiqah yang tersendiri. Catatan perpindahan kali ini menunjukkan bahawa beliau telah menetap di negara itu selama dua tahun (195 – 197H).

Di dalam masa yang singkat ini beliau berjaya menyebarkan “Method Usuli” yang berbeza dari apa yang dikenali pada ketika itu. Penyebaran ini sudah tentu menimbulkan satu respon dan reaksi yang luarbiasa di kalangan para ilmuan yang kebanyakannya adalah terpengaruh dengan method Mazhab Hanafi yang disebarkan oleh tokoh utama Mazhab itu, iaitu Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaibani.

Kata Al-Karabisi : “Kami sebelum ini tidak kenal apakah (istilah) Al-Kitab, Al- Sunnah dan Al-Ijma’, sehinggalah datangnya Al-Shafi’i, beliaulah yang menerangkan maksud Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’”.
Kata Abu Thaur : “Kata Al-Shafi’i : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyebut (di dalam kitab-Nya) mengenai sesuatu maksud yang umum tetapi Ia menghendaki maksudnya yang khas, dan Ia juga telah menyebut sesuatu maksud yang khas tetapi Ia menghendaki maksudnya yang umum, dan kami (pada ketika itu) belum lagi mengetahui perkara-perkara itu, lalu kami tanyakan beliau …”
Pada masa itu juga dikatakan beliau telah menulis kitab usulnya yang pertama atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, dan juga beberapa penulisan lain dalam bidang fiqah dan lain-lain.

Al-Shafi’i di Makkah dan Mesir ( 197H – 204H )
Sesudah dua tahun berada di Baghdad (197H) beliau kembali ke Makkah. Pada tahun 198H, beliau keluar semula ke Baghdad dan tinggal di sana hanya beberapa bulan sahaja. Pada awal tahun 199H, beliau berangkat ke Mesir dan sampai ke negara itu dalam tahun itu juga. Di negara baru ini beliau menetap sehingga ke akhir hayatnya pada tahun 204H.

Imam As-Shafi’i wafat pada tahun 204H. Asas Fiqih dan Ushul Fiqih kemudian disebar dan diusaha-kembangkan oleh para sahabatnya yang berada di Al-Hijaz, Iraq dan Mesir.


FATWA-FATWA IMAM AL-SHAFI’I

Perpindahan beliau ke Mesir mengakibatkan satu perubahan besar dalam Mazhabnya. Kesan perubahan ini melibatkan banyak fatwanya semasa beliau di Baghdad turut sama berubah. Banyak kandungan kitab-kitab fiqahnya yang beliau hasilkan di Baghdad disemak semula dan diubah. Dengan ini terdapat dua fatwa bagi As-Shafi’i, fatwa lama dan fatwa barunya. Fatwa lamanya ialah segala fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Iraq, fatwa barunya ialah fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Mesir. Kadang-kadang dipanggil fatwa lamanya dengan Mazhabnya yang lama atau Qaul Qadim dan fatwa barunya dinamakan dengan Mazhab barunya atau Qaul Jadid.

Di sini harus kita fahami bahawa tidak kesemua fatwa barunya menyalahi fatwa lamanya dan tidak pula kesemua fatwa lamanya dibatalkannya, malahan ada di antara fatwa barunya yang menyalahi fatwa lamanya dan ada juga yang bersamaan dengan yang lama. Kata Imam Al-Nawawi : “Sebenarnya sebab dikatakan kesemua fatwa lamanya itu ditarik kembali dan tidak diamalkannya hanyalah berdasarkan kepada ghalibnya sahaja”.

PARA SAHABAT IMAM AL-SHAFI’I

Di antara para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal di Al-Hijaz (Makkah dan Al-Madinah) ialah :-

1. Abu Bakar Al-Hamidi, ‘Abdullah bun Al-Zubair Al-Makki yang wafat pada tahun 219H.
2. Abu Wahid Musa bin ‘Ali Al-Jarud Al-Makki yang banyak menyalin kitab-kitab Al-Shafi’i. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
3. Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad bin Al-‘Abbasi bin ‘Uthman bin Shafi ‘Al-Muttalibi yang wafat pada tahun 237H.
4. Abu Bakar Muhammad bin Idris yang tidak diketahui tarikh wafatnya.

Sementara di Iraq pula kita menemui ramai para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal, di antara mereka ialah :-

1. Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab yang keempat. Beliau wafat pada tahun 241H.
2. Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad Al-Za’farani yang wafat pada tahun 249H.
3. Abu Thaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi yang wafat pada tahun 240H.
4. Al-Harith bin Suraij Al-Naqqal, Abu ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 236H.
5. Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali Al-Karabisi yang wafat pada tahun 245H.
6. Abu ‘Abdul RahmanAhmad bin Yahya Al-Mutakallim. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
7. Abu Zaid ‘Abdul Hamid bin Al-Walid Al-Misri yang wafat pada tahun 211H.
8. Al-Husain Al-Qallas. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
9. ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya Al-Kannani yang wafat pada tahun 240H.
10. ‘Ali bin ‘Abdullah Al-Mudaiyini.

Di Mesir pula terdapat sebilangan tokoh ulama yang kesemua mereka adalah sahabat Imam Al-Shafi’i, seperti :-

1. Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin ‘Amru bin Ishak Al-Mudhani yang wafat pada tahun 264H.
2. Abu Muhammad Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi yang wafat pada tahun 270H.
3. Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Misri Al-Buwaiti yang wafat pada tahun 232H.
4. Abu Najib Harmalah bin Yahya Al-Tajibi yang wafat pada tahun 243H.
5. Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Al-Sadaghi yang wafat pada tahun 264H.
6. Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam Al-Misri yang wafat pada tahun 268H.
7. Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi yang wafat pada tahun 256H.

Dari usaha gigih mereka, Mazhab Al-Shafi’i tersebar dan berkembang luas di seluruh rantau Islam di zaman-zaman berikutnya.

PERKEMBANGAN MAZHAB IMAM AL-SHAFI’I

Menurut Ibn Al-Subki bahawa Mazhab Al-Shafi’I telah berkembang dan menjalar pengaruhnya di merata-rata tempat, di kota dan di desa, di seluruh rantau negara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan kawasan-kawasan sekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syria, Mesir, Yaman, Hijaz, Iran dan di negara-negara timur lainnya hingga ke India dan sempadan negara China. Penyebaran yang sebegini meluas setidak-tidaknya membayangkan kepada kita sejauh mana kewibawaan peribadi Imam Al-Shafi’i sebagai seorang tokoh ulama dan keunggulan Mazhabnya sebagai satu-satunya aliran fiqah yang mencabar aliran zamannya.

IMAM AL-SHAFI’I DAN KITABNYA

Permulaan Mazhabnya
Sebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalian yang rapat dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah bahawa pembentukan Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya dari kunjungan ke Baghdad pada tahun 186H. Sebelum itu Al-Shafi’i adalah salah seorang pengikut Imam Malik yang sering mempertahankan pendapatnya dan juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’ Ahl Al-Ra’y. Sikapnya yang sebegini meyebabkan beliau terkenal dengan panggilan “Nasir Al-Hadith”.

Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempat pengajarannya (halqah) di Masjid Al-Haram. Usaha beliau dalam memperkembangkan Mazhabnya itu bolehlah dibahagikan kepada tiga peringkat :-

1. Peringkat Makkah (186 – 195H)
2. Peringkat Baghdad (195 – 197H)
3. Peringkat Mesir (199 – 204H)

Dalam setiap peringkat diatas beliau mempunyai ramai murid dan para pengikut yang telah menerima dan menyebar segala pendapat ijtihad dan juga hasil kajiannya.

Penulisan Pertamanya

Memang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i dan di mana dan selanjutnya apakah kitab pertama yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah dan di mana? Kesulitan ini adalah berpunca dari tidak adanya keterangan yang jelas mengenai kedua-dua perkara tersebut. Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain dan pulangnya semula ke tempat awalnya tambah menyulitkan lagi untuk kita menentukan di tempat mana beliau mulakan usaha penulisannya.

Apa yang kita temui – sesudah kita menyemak beberapa buah kitab lama dan baru yang menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yang menunjukkan bahawa kitabnya “Al-Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, iaitu sebuah kitab di dalam Ilmu Usul, pun keterangan ini tidak juga menyebut apakah kitab ini merupakan hasil penulisannya yang pertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya. Di samping adanya pertelingkahan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempat di mana beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah dan ada juga pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya ketika berada di Iraq.

Kata Ahmad Muhammad Shakir : “Al-Shafi’I telah mengarang beberapa buah kitab yang jumlahnya agak besar, sebahagiannya beliau sendiri yang menulisnya, lalu dibacakannya kepada orang ramai. Sebahagiannya pula beliau merencanakannya sahaja kepada para sahabatnya. Untuk mengira bilangan kitab-kitabnya itu memanglah sukar kerana sebahagian besarnya telahpun hilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau berada di Makkah, di Baghdad dan di Mesir”.

Kalaulah keterangan di atas boleh dipertanggungjawabkan maka dapatlah kita membuat satu kesimpulan bahawa Al-Shafi’i telah memulakan siri penulisannya sewaktu beliau di Makkah lagi, dan kemungkinan kitabnya yang pertama yang dihasilkannya ialah kitab “Al-Risalah”.

Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab Qadim

Di samping “Al-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebut oleh para ulama sebagai sebuah kitab yang mengandungi fatwa Mazhab Qadimnya iaitu “Al-Hujjah”. Pun keterangan mengenai kitab ini tidak menunjukkan bahawa ia adalah kitab pertama yang di tulis di dala bidang Ilmu Fiqah semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menghasilkannya sewaktu beliau berpindah ke negara itu pada kali keduanya, iaitu di antara tahun-tahun 195 – 197H.

Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam Ilmu Fiqah yang beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di Iraq, antaranya seperti kitab-kitab berikut :-

1. Al-Amali
2. Majma’ al-Kafi
3. ‘Uyun al-Masa’il
4. Al-Bahr al-Muhit
5. Kitab al-Sunan
6. Kitab al-Taharah
7. Kitab al-Solah
8. Kitab al-Zakah
9. Kitab al-Siam
10. Kitab al-Haj
11. Bitab al-I’tikaf
12. Kitab al-Buyu’
13. Kitab al-Rahn
14. Kitab al-Ijarah
15. Kitab al-Nikah
16. Kitab al-Talaq
17. Kitab al-Sadaq
18. Kitab al-Zihar
19. Kitab al-Ila’
20. Kitab al-Li’an
21. Kitab al-Jirahat
22. Kitab al-Hudud
23. Kitab al-Siyar
24. Kitab al-Qadaya
25. Kitab Qital ahl al-Baghyi
26. Kitab al-‘Itq dan lain-lain

Setengah perawi pula telah menyebut bahwa kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i adalah di dalam bentuk jawaban dan perdebatan, iaitu satu penulisan yang dituju khas kepada fuqaha’ ahl al-Ra’y sebagai menjawab kecaman-kecaman mereka terhadap Malik dan fuqaha’ Al-Madinah. Kenyataan mereka ini berdasarkan kepada riwayat Al-Buwaiti : “Kata Al-Shafi’i : Ashab Al-Hadith (pengikut Imam Malik) telah berhimpun bersama-sama saya. Mereka telah meminta saya menulis satu jawaban terhadap kitab Abu Hanifah. Saya menjawab bahawa saya belum lagi mengetahui pendapat mereka, berilah peluang supaya dapat saya melihat kitab-kitab mereka. Lantas saya meminta supaya disalinkan kitab-kitab itu.Lalu disalin kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasan untuk (bacaan) saya. Saya membacanya selama setahun sehingga saya dapat menghafazkan kesemuanya. Kemudian barulah saya menulis kitab saya di Baghdad.

Kalaulah berdasarkan kepada keterangan di atas, maka kita pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i semasa beliau di Iraq ialah sebuah kitab dalam bentuk jawaban dan perdebatan, dan cara penulisannya adalah sama dengan cara penulisan ahl al-Ra’y. Ini juga menunjukkan bahawa masa penulisannya itu lebih awal dari masa penulisan kitab “Al-Risalah”, iaitu di antara tahun-tahun 184 – 186H.

Method Penulisan Kitab-Kitab Qadim

Berhubung dengan method penulisan kitab “Al-Hujjah” dan lain-lain belum dapat kita pastikan dengan yakin kerana sikap asalnya tida kita temui, kemungkinan masih lagi ada naskah asalnya dan kemungkinan juga ianya sudah hilang atau rosak dimakan zaman. Walaubagaimanapun ia tidak terkeluar – ini hanya satu kemungkinan sahaja – dari method penulisan zamannya yang dipengaruhi dengan aliran pertentangan mazhab-mazhab fuqaha’ di dalam beberapa masalah, umpamanya pertentangan yang berlaku di antara mazhab beliau dengan Mazhab Hanafi da juga Mazhab Maliki. Keadaan ini dapat kita lihat dalam penulisan kitab “Al-Um” yang pada asalnya adalah kumpulan dari beberapa buah kitab Mazhab Qadimnya. Setiap kitab itu masing-masing membawa tajuknya yang tersendiri, kemudian kita itu pula dipecahkan kepada bab-bab kecil yang juga mempunyai tajuk-tajuk yang tersendiri. Di dalam setiap bab ini dimuatkan dengan segala macam masalah fiqah yang tunduk kepada tajuk besar iaitu tajuk bagi sesuatu kitab, umpamanya kitab “Al-Taharah”, ia mengandungi tiga puluh tujuh tajuk bab kecil, kesemua kandungan bab-bab itu ada kaitannya dengan Kitab “Al-Taharah”.

Perawi Mazhab Qadim
Ramai di antara para sahabatnya di Iraq yang meriwayat fatwa qadimnya, di antara mereka yang termasyhur hanya empat orang sahaja :

1. Abu Thaur, Ibrahim bin Khalid yang wafat pada tahun 240H.
2. Al-Za’farani, Al-Hasan bin Muhammad bin Sabah yang wafat pada tahun 260H.
3. Al-Karabisi, Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid, Abu ‘Ali yang wafat pada tahun 245H.
4. Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241H.

Menurut Al-Asnawi, Al-Shafi’i adalah ‘ulama’ pertama yang hasil penulisannya meliputi banyak bab di dalam Ilmu Fiqah.

Perombakan Semula Kitab-kitab Qadim
Perpindahan beliau ke Mesir pada tahun 199H menyebabkan berlakunya satu rombakan besar terhadap fatwa lamanya. Perombakan ini adalah berpuncak dari penemuan beliau dengan dalil-dalil baru yang belum ditemuinya selama ini, atau kerana beliau mendapati hadis-hadis yang sahih yang tidak sampai ke pengetahuannya ketika beliau menulis kitab-kitab qadimnya, atau kerana hadis-hadis itu terbukti sahihnya sewaktu beliau berada di Mesir sesudah kesahihannya selama ini tidak beliau ketahui. Lalu dengan kerana itu beliau telah menolak sebahagian besar fatwa lamanya dengan berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah Mazhab saya”.

Di dalam kitab “Manaqib Al-Shafi’i”, Al-Baihaqi telah menyentuh nama beberapa buah kitab lama (Mazhab Qadim) yang disemak semula oleh Al-Shafi’i dan diubah sebahagian fatwanya, di antara kitab-kitab itu ialah :-

1. Al-Risalah
2. Kitab al-Siyam
3. Kitab al-Sadaq
4. Kitab al-Hudud
5. Kitab al-Rahn al-Saghir
6. Kitab al-Ijarah
7. Kitab al-Jana’iz

Menurut Al-Baihaqi lagi Al-shafi’i telah menyuruh supaya dibakar kitab-kitab lamanya yang mana fatwa ijtihadnya telah diubah. Catatan Al-Baihaqi itu menunjukkan bahawa Al-Shafi’i melarang para sahabatnya meriwayat pendapat-pendapat lamanya yang ditolak kepada orang ramai. Walaupun begitu kita masih menemui pendapat-pendapat itu berkecamuk di sana-sini di dalam kitab-kitab fuqaha’ mazhabnya samada kitab-kitab yang ditulis fuqaha’ yang terdahulu atau pun fuqaha’ yang terkemudian.

Kemungkinan hal ini berlaku dengan kerana kitab-kitab lamanya yang diriwayatkan oleh Al-Za’farani, Al-Karabisi dan lain-lain sudah tersebar dengan luasnya di Iraq dan diketahui umum, terutamanya di kalangan ulama dan mereka yang menerima pendapat-pendapatnya itu tidak mengetahui larangan beliau itu.
Para fuqaha’ itu bukan sahaja mencatat pendapat-pendapat lamanya di dalam penulisan mereka, malah menurut Al-Nawawi ada di antara mereka yang berani mentarjihkan pendapat-pendapat itu apabila mereka mendapatinya disokong oleh hadis-hadis yang sahih.
Pentarjihan mereka ini tidak pula dianggap menentangi kehendak Al-Shafi’i, malahan itulah pendapat mazhabnya yang berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah mazhab saya”.

Tetapi apabila sesuatu pendapat lamanya itu tidak disokong oleh hadis yang sahih kita akan menemui dua sikap di kalangan fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i :-
Pertamanya : Pendapat itu harus dipilih dan digunakan oleh seseorang mujtahid Mazhab Al-Shafi’i atas dasar ia adalah pendapat Al-Shafi’i yang tidak dimansuhkan olehnya, kerana seseorang mujtahid (seperti Al-Shafi’i) apabila ia mengeluarkan pendapat barumya yang bercanggah dengan pendapat lamanya tidaklah bererti bahawa ia telah menarik pendapat pertamanya, bahkan di dalam masalah itu dianggap mempunyai dua pendapatnya.
Keduanya : Tidak harus ia memilih pendapat lama itu. Inilah pendapat jumhur fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i kerana pendapat lama dan baru adalah dua pendapatnya yang bertentangan yang mustahil dapat diselaraskan kedua-duanya.

Kitab-kitab Mazhab Jadid

Di antara kitab-kitab yang beliau hasilkan penulisannya di Mesir atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di sana ialah :-

i. Al-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliau berpindah ke Mesir.
ii. Beberapa buah kitab di dalam hukum-hukum furu’ yang terkandung di dalam kitab “Al-Um”, seperti :-

a) Di dalam bab Taharah :
1. Kitab al-Wudu’
2. Kitab al-Tayammum
3. Kitab al-Taharah
4. Kitab Masalah al-Mani
5. Kitab al-Haid

b) Di dalam bab Solah :
6. Kitab Istiqbal al-Qiblah
7. Kitab al-Imamah
8. Kitab al-Jum’ah
9. Kitab Solat al-Khauf
10. Kitab Solat al-‘Aidain
11. Kitab al-Khusuf
12. Kitab al-Istisqa’
13. Kitab Solat al-Tatawu’
14. Al-Hukm fi Tarik al-Solah
15. Kitab al-Jana’iz
16. Kitab Ghasl al-Mayyit

c) Di dalam bab Zakat :
17. Kitab al-Zakah
18. Kitab Zakat Mal al-Yatim
19. Kitab Zakat al-Fitr
20. Kitab Fard al-Zakah
21. Kitab Qasm al-Sadaqat

d) Di dalam bab Siyam (Puasa) :
22. Kitab al-Siyam al-Kabir
23. Kitab Saum al-Tatawu’
24. Kitab al-I’tikaf

e) Di dalam bab Haji :
25. Kitab al-Manasik al-Kabir
26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir
27. Mukhtasar al-Haj al-Saghir

f) Di dalam bab Mu’amalat :
28. Kitab al-Buyu’
29. Kitab al-Sarf
30. Kitab al-Salam
31. Kitab al-Rahn al-Kabir
32. Kitab al-Rahn al-Saghir
33. Kitab al-Taflis
34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Saghir
35. Kitab al-Sulh
36. Kitab al-Istihqaq
37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah
38. Kitab al-Himalah wa al-Wakalah wa al-Sharikah
39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib
40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir
41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi
42. Kitab al-‘Ariah
43. Kitab al-Ghasb
44. Kitab al-Shaf’ah

g) Di dalam bab Ijarat (Sewa-menyewa) :
45. Kitab al-Ijarah
46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah
47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat
48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir
49. Kitab Kara’ al-Ard
50. Kara’ al-Dawab
51. Kitab al-Muzara’ah
52. Kitab al-Musaqah
53. Kitab al-Qirad
54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawat

h) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah) :
55. Kitab al-Mawahib
56. Kitab al-Ahbas
57. Kitab al-‘Umra wa al-Ruqba

i) Di dalam bab Wasaya (Wasiat) :
58. Kitab al-Wasiat li al-Warith
59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq
60. Kitab Taghyir al-Wasiah
61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al-Mayyit
62. Kitab Wasiyat al-Hamil

j) Di dalam bab Faraid dan lain-lain :
63. Kitab al-Mawarith
64. Kitab al-Wadi’ah
65. Kitab al-Luqatah
66. Kitab al-Laqit

k) Di dalam bab Nikah :
67. Kitab al-Ta’rid bi al-Khitbah
68. Kitab Tahrim al-Jam’i
69. Kitab al-Shighar
70. Kitab al-Sadaq
71. Kitab al-Walimah
72. Kitab al-Qism
73. Kitab Ibahat al-Talaq
74. Kitab al-Raj’ah
75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz
76. Kitab al-Ila’
77. Kitab al-Zihar
78. Kitab al-Li’an
79. Kitab al-‘Adad
80. Kitab al-Istibra’
81. Kitab al-Rada’
82. Kitab al-Nafaqat

l) Di dalam bab Jirah (Jenayah) :
83. Kitab Jirah al-‘Amd
84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat
85. Kitab Istidam al-Safinatain
86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin
87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad
88. Khata’ al-Tabib
89. Jinayat al-Mu’allim
90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam
91. Kitab al-Qasamah
92. Saul al-Fuhl

m) Di dalam bab Hudud :
93. Kitab al-Hudud
94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah
95. Qutta’ al-Tariq
96. Sifat al-Nafy
97. Kitab al-Murtad al-Kabir
98. Kitab al-Murtad al-Saghir
99. Al-Hukm fi al-Sahir
100. Kitab Qital ahl al-Baghy

n) Di dalam bab Siar dan Jihad :
101. Kitab al-Jizyah
102. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i
103. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Waqidi
104. Kitab Qital al-Mushrikin
105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul
106. Kitab al-Sabq wa al-Ramy
107. Kitab Qasm al-Fai’ wa al-Ghanimah

o) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan) :
108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab
109. Kitab al-Dahaya al-Kabir
110. Kitab al-Dahaya al-Saghir
111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih
112. Kitab Dhabaih Bani Israil
113. Kitab al-Ashribah

p) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman) :
114. Kitab Adab al-Qadi
115. Kitab al-Shahadat
116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid
117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat
118. Kitab al-Aqdiah
119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur

q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain :
120. Kitab al-‘Itq
121. Kitab al-Qur’ah
122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah
123. Kitab al-Wala’ wa al-Half
124. Kitab al-Wala’ al-Saghir
125. Kitab al-Mudabbir
126. Kitab al-Mukatab
127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad
128. Kitab al-Shurut

Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang disenaraikan oleh al-Baihaqi sebagai kitab-kitab usul, tetapi ia juga mengandungi hukum-hukum furu’, seperti :-

1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith
2. Kitab Jima’ al-Ilm
3. Kitab Ibtal al-Istihsan
4. Kitan Ahkam al-Qur’an
5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla
6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy
7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i
8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin
9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan
10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah
11. Kitab Fada’il Quraysh

Ada sebuah lagi kitab al-Shafi’i yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah iaitu “al-Mabsut”. Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannya dengan “al-Mukhtasar al-Kabir wa al-Manthurat”, tetapi pada pendapat setengah ulama kemungkinan ia adalah kitab “al-Um”.

sumber: http://www.kisah.web.id

Seulamat Uroe Raya

Admin Blog Atjeh Pusaka mengucapkan Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H... Neu peu meu'ah lahee ngon batein...