Selasa, 09 Oktober 2018

Bab Sejarah Aceh - Episode: Pahlawan Nasional dari Aceh

Atjeh Pusaka - Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional tersebut melalui Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Presiden Jokowi secara resmi menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada ahli waris dari empat tokoh yakni TGK H Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Laksamana Malahayati dari Provinsi Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Lafran Pane dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

Salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional adalah Keumalahayati atau lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.

Nama Malahayati juga dipakai oleh Ormas Nasional Demokrat sebagai nama divisi wanitanya dengan nama lengkap Garda Wanita Malahayati.
Bahkan baru-baru ini warga Aceh di perantauan mengusulkan nama pahlawan Aceh, Laksamana Keumalahayati menjadi nama jalan di Jakarta.

Penasihat Pengurus Pusat Taman Iskandar Muda (PP-TIM) Mustafa Abubakar menyatakan usulan itu sangat mungkin dilaksanakan. Sebelumnya pada era Gubernur DKI Jakarta Surjadi tahun 1990-an disahkan dua nama pahlawan Teuku Panglima Polem dan Sultan Iskandar Muda sebagai nama ruas jalan protokol di Jakarta.

Dengan dianugerahinya gelar pahlawan nasional kepada Laksamana Malahayati, maka Pahlawan Nasional perempuan bertambah menjadi 13 orang. Bertambahnya empat tokoh yang mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 2017, menjadikan jumlah total pahlawan nasional kini sebanyak 173 orang.

Minimnya pahlawan nasional perempuan mendorong Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mengusulkan pejuang perempuan asal Aceh Laksamana Malahayati sebagai calon pahlawan nasional.

"Hingga saat ini dari 169 pahlawan nasional, baru 12 di antaranya perempuan. Karena itu kami mengusulkan Laksamana Malahayati untuk mendapat penghargaan dari pemerintah sebagai pahlawan nasional," kata Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto Wiyogo di Jakarta, pada Kowani fair yang dilaksanakan 1 Juni lalu.

Menurut dia, pejuang perempuan yang bernama Keumalahayati dan merupakan keturunan Kesultanan Aceh tersebut sudah diakui dunia, maka selayaknya pemerintah memberikan penghargaan dengan gelar pahlawan nasional.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan pemerintah kepada seorang Warga Negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara yang semasa hidupnya tanpa cela. (ADR)

Sejak di tetapkan Pahlawan Nasional dari tahun 1959 hingga tahun 2017.
8 (delapan) orang pahlawan nasional berasal dari Provinsi Aceh,yaitu:

  1. ‎Cut Nyak Dien.
  2. Cut Nyak Meutia.
  3. Teungku Chik Di Tiro.
  4. Teuku Umar.
  5. Teuku Nyak Arif.
  6. ‎Sultan Iskandar Muda.
  7. Teuku Muhammad Hasan.
  8. Laksamana Malahayati.
Biografi singkat Pahlawan Nasional dari Aceh

SEJUMLAH sejarawan dan pelaku sejarah Belanda mengakui perang melawan Aceh sejak 1873 adalah perang yang paling menyedot biaya dan stamina.  Perlawanan muncul dari delapan penjuru angin. Dari pergerakan berkelompok, hingga serangan tiba-tiba yang dilakukan orang per orang. Serangan oleh individu ini melahirkan istilah Atjeh Moorden atau Aceh pungo (Aceh gila). Atjeh Moorden secara harfiah bermakna pembunuhan Aceh.

Untuk mengapresiasi perjuangan memperjuangkan kemerdekaan, pemerintah menobatkan mereka yang berjasa sebagai Pahlawan Nasional. Dari total 173 Pahlawan Nasional yang ditetapkan dari 1959 hingga hingga 2017, sebanyak 8 orang diantaranya berasal dari Aceh.

1. Cut Nyak Dhien (lahir 1850- wafat 1908)

Cut Nyak Dhien adalah istri Teuku Umar. Sepeninggal Teuku Umar, Cut Nyak melanjutkan perjuangan melawan pasukan kolonial Belanda di pedalaman Meulaboh, Aceh Barat. Ketika ditangkap Belanda atas laporan seorang pengikutnya, Cut Nyak Dhien sudah renta dan rabun. Untuk memutus pengaruhnya bagi gerilyawan, Belanda mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat. Pada 6 November 1908, malaikat maut menjemputnya. Jasad Cut Nyak Dhien dimakamkan di Sumedang. Gelar pahlawan nasional disematkan padanya tahun 1964.

2. Cut Nyak Meutia (1870 - 1910)



Cut Nyak Meutia memimpin perlawanan di Aceh Utara. Seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia juga melanjutkan perjuangan suami. Ketika suami pertamanya yang juga pemimpan pasukan gerilyawan, Teungku Chik Tunong meninggal dunia, Cut Meutia melanjutkan perjuangan bersama suami keduanya, Pang Nanggroe. 

Ketika Pang Nanggroe gugur pada 26 September 1910, Cut Meutia melanjutkan perjuangan dengan pasukan yang tersisa. Pada 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan pasukan Marsose di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur. Cut Nyak Meutia mendapat gelar pahlawan nasional bersamaan dengan Cut Nyak Dhien pada 1964.

3. Teungku Chik di Tiro (1836-1891)

Teungku Chik di Tiro adalah ulama sekaligus panglima besar Perang Aceh. Nama aslinya Teungku Muhammad Saman.Teungku Chik di Tiro tampil sebagai pemimpin perang ketika perlawanan terhadap Belanda kian meredup pada 1881, delapan tahun setelah Belanda menyatakan maklumat perang terhadap Aceh. Bersama Teungku Chik Pante Kulu, Teungku Chik di Tiro mengobarkan semangat perang sabil, perang di jalan Allah. Dari Lamlo, Pidie, Teungku Chik di Tiro hijrah ke Aceh Besar dan menjadikan Desa Meureu, Indrapuri, sebagai basis gerilyawan. Meureu yang kontur alamnya perpaduan antara dataran rendah dan perbukitan dinilai cocok sebagai benteng pertahanan alami. 

Pada 1881, pasukan Teungku Chik di Tiro merebut satu per satu benteng Belanda seperti di Lambaro dan Aneuk Galong. Masa perlawanan Teungku Chik di Tiro, Belanda dibuat kalang kabut. Setidaknya, Belanda empat kali mengganti gubernurnya saat menghadapi Teungku Chik di Tiro. Teungku Chik di Tiro meninggal bukan karena peluru Belanda, melainkan lantaran diracun lewat makanan yang disajikan oleh seorang perempuan Aceh pada 1891. Jasadnya dimakamkan di Desa Meureu, Indrapuri, tempat ia menggerakkan perlawanan melawan Belanda.Atas jasa-jasanya, pemerintah memberi gelar pahlawan nasional pada 1973.

4. Teuku Umar (1854-1899)

Teuku Umar adalah salah satu pemimpin pasukan di bawah panglima besar Teungku Chik di Tiro. Umar yang sempat bergabung dengan Belanda, kemudian berbalik arah melawan Belanda. Ada yang bilang Teuku Umar menyusup ke pasukan Belanda sebagai strategi perang. Namun ada juga yang menyebut Teuku Umar berbalik menyerang Belanda setelah diancam istrinya, Cut Nyak Dhien. Pada September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kembali kepada Belanda bersama 13 pengikutnya. 

Belanda kemudian memberinya gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Netherland. Cut Nyak Dhien dibuat malu oleh keputusannya. Tiga tahun bergabung dengan Belanda untuk kedua kalinya, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda pada 30 Maret 1896 dengan membawa lari senjata dan amunisi. Teuku Umar tertembak dalam pertempuran dinihari 11 Februari 1899. Pemerintah memberinya gelar pahlawan nasional pada 1973 bersamaan dengan Teungku Chik di Tiro.

5. Teuku Nyak Arif (1899-1946)

Teuku Nyak Arief adalah residen/gubernur Aceh pertama periode 1945-1946. Lahir di Ulee Lheue, Banda Aceh, Teuku Nyak Arief adalah keturunan ulee balang Panglima Sagi 26 Mukim wilayah Aceh Besar. Dikenal sebagai orator ulung, ia banyak terlibat di organisasi pergerakan kemerdekaan. Tahun 1919, ia adalah ketua National Indische Partij cabang Kutaraja. Pada 1927, ia salah satu anggota Dewan Rakyat Volksraad sampai dengan tahun 1931.Sejak tahun 1932 T. Nyak Arif memimpin gerakan dibawah tanah menentang penjajahan Belanda di Aceh.

Teuku Nyak Arief juga banyak bergiat di bidang peningkatan pendidikan. Pada 11 Juli 1937, ia mendirikan Perguruan Taman Siswa di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara. Di Banda Aceh, perguruan ini diketuai oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan, dan Teuku Nyak Arief sebagai sekretaris. Masih berduet dengan Mr. Teuku Muhammad Hasan, Teuku Nyak Arief juga mempelopori berdirinya organisasi Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh) yang bertujuan untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu untuk sekolah.

Teuku Nyak Arief termasuk yang tidak setuju ketika ulama PUSA di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh mengadakan hubungan dengan Jepang dan mengundang Jepang untuk mengusir Belanda. Namun, ketika pada Oktober 1945 datang utusan tentara sekutu yang ingin melucuti Jepang, Teuku Nyak Arief yang sudah menjabat residen Aceh juga menolak. Pada Desember 1945, meletus perang Cumbok. Ini adalah pertarungan antara kaum uleebalang dengan kaum ulama, meskipun ada juga uleebalang yang berpihak ke ulama. Tak sedikit kaum uleebalang yang terbunuh. Yang selamat melarikan diri keluar Aceh.
Perpecahan itu membuat Teuku Nyak Arief galau. Ia ingin seluruh kalangan bersatu, bukan bercerai berai. Sikapnya itu dianggap oleh kaum muda PUSA sebagai pengkhianatan.Teuku Nyak Arief pun ditangkap oleh Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) yang mendukung kaum ulama pada Januari 1946. Ia ditawan di Takengon dan meninggal di sana pada 4 Mei 1946. Kepada keluarganya, Teuku Nyak Arief berpesan,Jangan menaruh dendam, karena kepentingan rakyat harus diletakkan di atas segala-galanya. Jenazahnya kemudian dikebumikan di Lamreueng, Aceh Besar, di pinggir Krueng Lamnyong, Darussalam. Teuku Nyak Arief mendapat gelar pahlawan nasional pada 1974.

6. Sultan Iskandar Muda (1593-1636)

Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang membawa Aceh ke zaman keemasan. Pada masanya, Aceh menguasai Sumatera dan sebagian daerah yang saat ini masuk sebagai wilayah Malaysia seperti Johor dan Kedah. Pada masanya pula Aceh menyerang Portugis di Malaka. Iskandar Muda mendapat gelar pahlawan nasional pada 1993. (Baca juga: Para Perempuan di Sekeliling Sultan dan Raja Aceh di Dunia Internasional)

7. Teuku Muhammad Hasan (1906-1997)

Teuku Muhammad Hasan adalah aktivis kemerdekaan dan gubernur Sumatera pertama. Dikalangan orang pergerakan, ia diberi sebutan Mr atau Mister. Lahir di Sigli pada 4 April 1906, Teuku Muhammad Hasan dikenal sebagai tokoh yang peduli pendidikan. Pada usia 25 tahun, ia bersekolah di Leuden University, Belanda. Di sana, ia bergabung dengan sejumlah tokoh pergerakan nasional seperti Muhammad Hatta dan Ali Sastroamidjojo.

Perannya yang paling menonjol adalah ketika terpilih sebagai salah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai Ir. Soekarno. Tim inilah yang merumuskan dasar-dasar negara Indonesia, termasuk Piagam Jakarta. Ketika ageresi militer Belanda II berhasil merebut Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota Indonesia, Mr Teuku Muhammad Hasan bersama Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang bermarkas di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Dipimpin Syafruddin Prawiranegara, Teuku Muhammad Hasan duduk sebagai Wakil Ketua sekaligus Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama. Teuku Muhammad Hasan dikenal sebagai tokoh peduli pendidikan. Ia mendirikan Uversitas Serambi Mekkah yang masih berdiri hingga saat ini. Namanya juga tercatat sebagai tokoh yang memelopori nasionalisasi perminyakan dan pertambangan. Pada 1956, Hasan mengetuai tim nasionalisasi sejumlah perusahaan minyak asing menjadi Pertamina pada 1957 dan Pertamin pada 1961. Kedua perusahaan ini lantas digabung menjadi Pertamina pada 1968. Teuku Muhammad Hasan meninggal pada 21 September 1997 dalam usia 91 tahun.
Pada 2006, pemerintah memberinya gelar pahlawan nasional.

8. 
Laksamana Malahayati.

Laksamana Malahayati adalah seorang muslimah yang menjadi laksamana perempuan pertama di dunia berasal dari Kesultanan Aceh.
Ia adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M.

Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam. Dari silsilah tersebut dapat diketahui bahwa laksamana Malahayati merupakan keturunan darah biru.

Pada tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Karirnya di medan tempur berawal dari dibentuknya pasukan "Inong balee" (janda-janda pahlawan yang telah syahid). Ia sendiri kehilangan suaminya yang gugur dalam pertempuran melawan Portugis.

Malahayati memimpin armada laut dengan 2.000 orang pasukan "Inong balee" berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 11 September 1599. Ia juga berhasil menewaskan Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar "Laksamana" untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.

Meski baru dianugerahi gelar pahlawan nasional pada peringatan Hari Pahlawan ke-72 pada 2017, namun namanya telah diabadikan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Namanya ditabalkan sebagai nama pelabuhan laut di Teluk Krueng Raya, Aceh Besar dengan nama Pelabuhan Malahayati.

Selain itu, salah satu kapal perang jenis Perusak Kawal Berpeluru Kendali (fregat) kelas Fatahillah milik TNI Angkatan Laut juga dinamakan KRI Malahayati.Kapal perang ini dibuat di galangan kapal Wilton-Fijenoord, Schiedam, Belanda pada tahun 1980, khusus untuk TNI-AL.

Tidak hanya di dunia kelautan dan militer, tapi di dunia pendidikan namanya juga diabadikan sebagai nama universitas yang terdapat di Bandar Lampung yaitu Universitas Malahayati.

Kebesaran nama dan juga perjuangannya dihidupkan kembali dalam sebuah serial film Laksamana Malahayati yang menceritakan riwayat hidup Malahayati pada tahun 2007. (LSM ADAS Institute)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.

Seulamat Uroe Raya

Admin Blog Atjeh Pusaka mengucapkan Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H... Neu peu meu'ah lahee ngon batein...