Kamis, 11 Oktober 2018

PENGAKUAN TERHADAP SEJARAH ACEH DI MUSEUM BRONBEEK

Museum Bronbeek, Kota Arnhern

Atjeh Pusaka - Membaca sejumlah catatan tentang sejarah Aceh yang heroik, ditulis Tgk M. Adli Abdullah, di sejumlah media massa di Aceh, mengingatkan saya pada satu kisah penuturan dan pengakuan seorang veteran tentara Belanda kepada kami saat mengunjungi ëMuseum Acehí di Belanda, 12 Juli 2005. Dia bernama Koller, mengaku berdarah Belanda, Minang dan Nias serta pernah mengabdi sebagai serdadu Belanda di Aceh era 1930-an.

Saya mengunjungi Museum Bronbeek di Kota Arnhem, dekat dengan perbatasan Jerman bersama dua rekan, Faisal Ridha dan Nasruddin Abubakar (mantan Wakil Bupati Aceh Timur) semasa transit empat hari di Belanda selepas menghadiri Consultative Meeting antara para perwakilan organisasi masyarakat sipil Aceh dengan para negosiator GAM yang sedang berunding dengan Pemerintah RI di Helsinki. Pertemuan tersebut merupakan yang kedua setelah yang pertama berlangsung pertengahan Mei 2005 di lokasi berbeda, masih dalam wilayah Stockholm. Acara ini difasilitasi The Olof Palme International Center, satu lembaga yang didirikan partai Sosial Demokrat di Swedia untuk mengenang Sven Olof Joachim Palme (1927-1986), bekas Perdana Menteri Swedia yang sangat popular, namun mati dalam insiden pembunuhan di jalanan pusat kota Stockholm, 1986.

Kesempatan transit di Amsterdam sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Aceh via Kuala Lumpur, kami manfaatkan untuk melawat Negeri Kincir Angin itu karena beberapa tujuan. Lagi pula bagi orang Aceh, Belanda bukan saja dikenal sebagai satu negara Eropa yang apik dengan kemajuan modernnya dan dihuni delapan belas juta manusia, lebih dari itu kita merasakan nuansa lain ketika mendengar istilah ëBelandaí. Nuansa masa lalu Aceh yang penuh dengan remuk redamnya peperangan, darah dan air mata para endatu kita, akibat menanggung beban dan tanggung jawab moral sebagai bangsa yang pantang menyerah dan tunduk pada arogansi kolonialisme.

Sesampai di Schiphol Airport, lima dari sepuluh orang rombongan yang pulang bersamaan dari Stockholm memutuskan pergi bersama Erwanto, seorang warga Aceh yang mendapat status refugee di Belanda ketika itu. Sedangkan kami lima orang lagi memilih menuju Rotterdam karena Fadlullah Musa yang juga tokoh masyarakat Aceh di Belanda, menunggu di sana dan siap memberikan rumahnya sebagai tempat kami bermalam. Hari kedua di Rotterdam, kami manfaatkan menuju tujuan utama: melawat satu museum yang telah lama membuat saya penasaran karena kedengarannya begitu heroik. Di museum ini tersimpan barang-barang peninggalan perang Aceh ketika melawan Belanda 1873-1942.

Setelah menghabiskan waktu tiga jam dalam kereta api, kami pun sampai di Arhnem dan selanjutnya dengan bus menuju tempat yang dituju, Bronbeek Museum. Dari sisi hadapannya, terlihat halaman yang luas dengan taman bunga serta beberapa patung tentara Belanda di depannyaómulai dari patung perwira sampai patung prajurit KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) atau juga dikenal Tentara Diraja Hindia Belanda. 


Di sekeliling bangunan yang berarsitek mirip gedung-gedung peninggalan Belanda di Indonesia itu, terlihat banyak sekali meriam dalam berbagai jenis terpajang teratur mengelilingi dinding museum yang dibawa ke sini atas keinginan Kerajaan Belanda mengabadikan bukti peninggalan sejarahnya selama perang menaklukkan negeri-negeri di bagian timur samudra India (Asia Tenggara sekarang). Seperti tersebut dalam websitenya, museum ini digelar Museum Perang dan termasuk yang tertua di Belanda serta mulai dibina tahun 1863 sejak masa Raja Willem III yang didedikasikan kepada bekas pasukan setianya KNIL, agar senantiasa dapat dikenang dalam memori mereka.

Siapa pun yang berkunjung ke sana, akan mendapati satu fenomena yang berbeda: aroma perang masa lalu sebagai bagian dari lembaran pahit peradaban manusia yang telah secara langsung maupun tidak mempengaruhi status kita sekarang.

Namun, anehnya suasana berbeda itu sama sekali tak terasa manakala kita memasuki museum-museum yang ada di Aceh atau di Indonesia pada umumnya. Mungkin manajemen museum kita belum berhasil menciptakan kesan yang spesifik kepada pengunjungnya sehingga jarang museum menjadi salah satu destinasi pariwisata atau pilihan untuk liburan keluarga di penghujung minggu.


Museum Bronbeek, di samping sebagai pilihan wisata umum, juga menjadi tempat anak-anak sekolah di Belanda mengenal sejarahnya secara dekat bahkan banyak para peneliti dengan mudah mengakses untuk keperluan studi. Di antara benda-benda penting yang tersimpan ialah meriam, seragam tentara, pedang, pangkat dan medali penghargaan militer, poster propaganda masa konflik, patung, senjata ringan, gambar dan beberapa catatan monumental.

Uniknya, museum ini tidak saja menyimpan benda-benda bisu, di situ masih ada sekitar 45 orang veteran perang yang menyisakan hidupnya untuk menuturkan pengalaman selama terlibat dalam perang sebagai tentara kolonial. Inilah yang membuat saya terkejut. Malah, begitu kami memasuki lobby museum dan menuliskan buku tamu, tiba-tiba seorang kakek muncul dari ruang resepsionis menegur kami dengan bahasa Melayu/ Indonesia berdialek Belanda. 

Rupa-rupanya dia veteran tentara KNIL yang orang tuanya campuran Belanda dan Jawa Timur, kelihatan dia sangat senang dengan kedatangan kami dan bersemangat memperkenalkan diri. Saat dia tahu kami berasal dari Aceh, sontak ia menyebut: ìOh Aceh, strong people, orang Aceh hebat sekaliî. Suasana pun menjadi lebih menarik dan hasrat untuk segera memeriksa seisi museum makin kuat. Namun, sang veteran itu tak dapat menemani kami masuk ke dalam karena dia bertugas di ruang resepsionis.

Di dalam bangunan utama terdapat beberapa ruangan yang telah disekat berbentuk kamar yang luas dan dimasing-masing kamar terpajang patung, seragam, gambar dan peralatan masa lalu yang tampak saling terkait, interaktif dan merefleksikan gambaran sosial politik masa kolonial di wilayah-wilayah Hindia Belanda, termasuk sosok pejuang Ambon bersenjatakan parang sampai profil tentara Jepang. Ada pula senjata tank dan alat tempur dari perang dunia pertama dan kedua dengan berbagai koleksi gambar, terutama gambar para perwira Belanda.

Istimewanya di museum ini, kisah heroisme perang Aceh tergambar dengan sangat kentara. Ini terlihat dari peninggalan meriam-meriam Aceh dalam ukuran yang berbeda dan menempati sisi-sisi utama ruangan berkaca dan melintangi sudut-sudut museum. Ke manapun kita bergerak dalam museum, meriam-meriam itu tetap tampak paling mendominasi pandangan pengunjung. Mulai dari meriam berukiran keemasan buatan Turki sampai meriam Inggris yang dihadiahkan kepada Sultan Aceh dahulu. Di satu deretan dinding terpajang gambar-gambar Gubernur Militer Belanda di Aceh, mulai dari Mayor Jenderal Kohler yang mati terbunuh sampai Van Heutz yang buta sebelah sebagai ëhadiahí dari pejuang Mujahidin Aceh.

Saat kami asyik memperhatikan koleksi museum, tiba-tiba seseorang datang menegur kami dari belakang; ìHallo apa kabar orang-orang Aceh, pasti kalian suka sekali dengan perangî. Suara itu datang dari seorang kakek, berambut putih, ternyata juga seorang veteran dan sengaja datang menemani kami untuk memberikan kesaksian. Saat kami tanyakan, pernahkah bertugas ke Aceh? Dia menjawab dengan menghela celana ke atas lutut dan menunjukkan parut bekas luka sayatan pedang di betisnya; ëinilah kenang-kenangan saya dari Acehí, katanya sambil tertawa. Dialah Koller, menceritakan banyak pengalamannya semasa perang Aceh melawan Belanda dengan cukup bersemangat dan bangga dengan heroisme rakyat Aceh. Berkali-kali dia mengepal tangan dan memutar-mutar badan, sangking seriusnya memperagakan perhelatan berdarah yang pernah ia rasakan langsung.

Ada satu kebiasaan rakyat Aceh dalam berperang yang membuat Koller dan tentara Belanda lainnya tak habis pikir, bahkan Belanda menyebutnya sebagai ëAtjeh Moordení (Aceh Gila). Katanya, untuk menyerang kawanan patroli tentara Belanda, banyak orang yang beraksi sendiri untuk mencari jalan syahid, lalu bersembunyi dalam semak-semak. Begitu tentara Belanda sampai, dia langsung melompat dan mengucap; ëAllahu Akbar, Lailahaillahí sambil mengayunkan pedangnya yang membuat beberapa tentara Belanda mati, namun dia pun ikut meninggal sebagai syahid.

Koller sendiri mengkritik strategi ini. Menurutnya jauh lebih bagus kalau pejuang Aceh tidak menyerang langsung dari depan, tetapi menunggu kawanan tentara melewatinya, baru menyerang dari belakang. Halbarisan depan saat berpatroli di Aceh. ini pasti lebih banyak lagi tentara Belanda mati. Itulah sebabnya Koller sendiri sangat berhati-hati kalau berada di

Apapun strateginya, yang jelas itulah kenyataan yang telah membuat Koller amat berkesan dengan figur orang Aceh, yang menurutnya memang berbeda: berbeda karena ketaatannya, kesetiaannya, kegigihannya yang tak gampang menyerah.

Di ujung kesaksian, Koller ternyata masih memendam keinginan untuk melawat Aceh suatu hari dari sisa-sisa hidupnya. Saat kami meninggalkan museum itu, ia pun kembali ke rumahnya dengan mendayungi sepeda seperti khas umumnya masyarakat negeri ëTim Orangeí itu. (Penulis: Ruslan Razali, pemerhati Perdamaian Aceh dan Post Graduate Student pada International Islamic University Malaysia)

Bronbeek: Museum ‘Aceh’ yang Tercecer dari Belanda

Oleh Asnawi Ali

HASRAT untuk berlibur sambil memburu fakta sejarah ke Belanda sudah lama terpendam. Jika dari Swedia sangatlah murah dan mudah tanpa perlu menggunakan visa karena sesama negara anggota Uni Eropa. Ibarat kata pepatah, "Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui".

Setelah mengikuti acara International Human Rights Training SpeakOut2012 dari UNPO di Belanda, penulis beserta dua orang warga Aceh di Swedia dengan dipandu seorang warga Aceh di Belanda, mengunjungi sebuah museum yang menyimpan harta peninggalan Aceh masa berperang dengan Belanda. Museum Bronbeek namanya, terletak di kota Arnhem, dan hanya 80 menit perjalanan kereta api dari ibukota Belanda, Amsterdam.

Membaca literatur sejarah dengan melihat langsung fakta sejarah adalah berbeda. Perbedaan sangat kentara jika menyentuh langsung barang-barang warisan peninggalan perang Aceh ketika melawan arogansi kolonialisme Belanda sejak 1873 dan hampir kesemua tersimpan rapi di museum Bronbeek itu!

Di depan museum terpampang dua patung KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau tentara Belanda di Indonesia. Begitu masuk pintu utama terlihat sebuah meriam besar memanjang yang diketahui berasal dari Aceh. Sontak saja, penulis beserta warga Aceh lainnya bergegas mengeluarkan smartphone untuk memotret, namun seorang petugas penjaga museum mencegahnya dengan meminta untuk membeli tiket masuk terlebih dahulu.

"Anda semua berasal dari Aceh?" tebak seorang perempuan satpam yang berpakaian Diens Kieren (pakaian dinas biru) di loket pintu masuk. Haris Abdullah, putra Aceh yang lama bermukim di Belanda menjelaskan dalam bahasa Belanda kepada petugas museum.



Selanjutnya, dimaklumkan kalau kami diberikan diskon tiket masuk setengah harga dari 6 Euro per orang menjadi 3 Euro, karena diketahui kami semua berempat berasal dari Aceh. Begitu juga mendapatkan korting setengah harga disebuah kios menjual sovenir seperti pulpen, bros kancing, gantungan kunci bertuliskan "Koninklijk Tehuis Voor Oud - Militairen en Museum Bronbeek".

Kini, foto bahkan kamera video pun sudah boleh digunakan, terutama mengabadikan meriam besar milik Aceh yang bertuliskan "The Pepper Piece" (Lada Secupak) dan aksara besar "Geschenk Van Z.M Koning Willem III" yang diberikan hadiah oleh Sultan Sulaiman Tukri untuk Aceh. Namun, pada tahun 1873 dirampas oleh Belanda dan kemudian disimpan di museum Bronbeek.

Diketahui pula, semenjak Belanda kembali ke negerinya meninggalkan tanah Netherland East Indies (Hindia Belanda), setiap pegunjung yang datang ke Bronbeek sudah tentu pasti melihat meriam milik Aceh itu karena terletak persis dipintu utama masuk museum.

Bangunan museum bertingkat dua. Sebelah kanan dan kiri tingkat pertama terlihat puluhan pakaian seragam KNIL beserta bedil bekas yang dibungkus dengan kaca. Sedangkan di dinding, terpajang ratusan galeri foto yang dibingkai, gambar wajah campuran tentara bule dan asia, poster perjuangan masa perang.
Masuk kelebih dalam sebelah kiri, lorong kecil memanjang yang disebelah kanan berbaris beberapa meriam besar milik Aceh, disamping meriam tertulis keterangan dalam bahasa Belanda. 15 menit berlalu, tiba-tiba saja datang seorang bule Belanda berkaca mata dengan berpakaian kantor seragam biru langit sambil memperenalkan diri sebagai musuem gids (pemandu museum).

Diduga, penjaga loket telah memberikan keterangan sebelumnya jika ada empat warga Aceh tiba di museum itu dan pemandu museum menawarkan jasanya secara gratis. Kesempatan ini tidak di sia-siakan. Sebagai warga Aceh di Belanda, Harris Abdullah bertanya banyak kepada pemandu tentang isi museum, terutamanya yang berkaitan dengan hubungan Aceh dan Belanda di masa lampau, sambil memberikan contoh kompleks perkuburan militer Belanda Kerkhof ada di Banda Aceh.

Meriam Aceh

Harris memancing percakapan dengan berumpama misalnya adakah cara untuk mengambil kembali pulang semua meriam.

"Bagaimana jika seandainya orang Aceh di Aceh meminta untuk memulangkan semua meriam ini, tambah Harris, minimal hanya enam bulan saja untuk memperlihatkan bukti sejarah kepada generasi baru".
Pria berseragam museum itu terlihat terdiam sejenak. Agar tampak makin serius, Harris malah menambahkan sambil memberikan tamsil.

”Jika meriam kami tidak dikembalikan, maka kuburan tentara kalian Kerkhof di Banda Aceh akan kami gusur kelaut”.

Pria bule yang berpakain dinas itu malah terkejut. Seperti ingin mengalihkan jawaban, menurutnya sangat sulit karena perlu ada perjanjian terlebih dahulu antara dua pemerintah.

"Jika memungkinkan, maka kami akan membongkar semua jendela kaca besar dibelakang museum karena dulu saat dimasukan belum ada jendela memanjang," terang pemandu museum.

Benar juga, lorong kecil tidak memungkinkan untuk mengangkat meriam. Meriam tersebut sangat berat, lebih praktis jika menggunakan kapal laut untuk dibawa pulang, sama seperti ketika dibawa dahulu. Dari penuturan pemandu museum tersebut, total semua meriam ada sepuluh buah, yang kecil 2.600 Kg dan yang besar 7.000 kg.



Walaupun demikian, banyak orang Aceh luar negeri yang pesimis realisasinya, apalagi sangat sulit memegang janji Belanda. Contohnya, perjanjian maklumat perang dengan Aceh saja dulu Belanda ingkar karena mengembalikan kedaulatan bangsa Aceh kepada bangsa lain.

Museum Tingkat Dua

Naik ke tingkat dua museum, dari anak tangga sudah terdengar rekaman suara pidato Soekarno dari sebuah tape recorder yang diulang-ulang. Ada foto yang hitam putih bergambar tulisan spanduk masa zaman Soekarno berpidato ”Amerika Kita Setrika – Inggris Kita Linggis”.

Disebelahnya, layar tancap mini memperlihatkan kapal laut tentara Belanda berlabuh, dentuman meriam mengiringinya seakan mengajak pengunjung larut dalam masa lampau, layaknya fragmen sandiwara, persis seperti sebuah film dokumenter.

Tidak jauh dari situ, terdapat beberapa pintu sekatan kecil layaknya labirin. Di setiap bilik, masing-masing ada meja kecil yang dipenuhi barang peninggalan yang dibungkus dengan kaca. Masih dilantai yang sama, penulis berjalan perlahan mengamati setiap inci bangunan sambil memotret layaknya turis.

Kembali tanpa di undang, seorang pria bule berbahasa Melayu menghampiri kami sambil bersalaman hangat sambil menawarkan sebagai pemandu.

"Apa kabar, saya tahu kalian dari Aceh, pasti ingin melihat dokumen peninggalan sejarah Aceh kan?" ujar bule rambut putih tersebut yang bercampur dengan logat Belanda.

Dari percakapan basa basinya, dia mengetahui kami dari penjaga museum di lantai bawah. Orang tuanya sebagai tentara KNIL yang ditugaskan di Sumatera sehingga dia sendiri kelahiran Minang. Meskipun pertama sekali berjumpa orangnya sangat ramah.

"Mari ikut saya sekarang, tapi terlebih dahulu jangan marah ya.....jangan marah ya" ujarnya berkali-kali mengingatkan.



Ternyata, ada sebuah kamar yang khusus memperlihatkan foto dan barang perang Aceh yang dirampas oleh Belanda seperti rencong, pedang, senapan kuno, balai mini, pakaian adat lengkap, buku hikayat prang sabi, foto hitam putih suasana perang, foto sadis gelimpangan ribuan mayat hasil pembantaian di Kuta Reh, hingga sebuah sampul buku karikatur Van Daalen sedang menunggang kuda putih berlatar belakang barisan tengkorak.

Van Daalen saat itu menjabat gubernur militer yang memerintahkan untuk membantai ribuan orang di Kuta Reh pada 14 Juni 1904.



Di atas lemari kaca yang transparan terdapat beberapa patung jenderal militer yang pernah bertugas di Aceh. Uniknya, patung tersebut hanya kepala hingga kebahu saja yang tampak, namun didadanya penuh dengan bintang jasa.

Dalam perjumpaan dengan pemandu sukarela itu, katanya Hasan Tiro acap kali ke museum ini dulu untuk mencari dokumen perang Aceh - Belanda sebagai referensi tulisannya, bahkan dia ikut membantu menjadi pemandu museum gratis.

Saya yakin, siapa pun yang berkunjung ke museum Bronbeek itu akan menambah rasa cinta nasionalisme keacehannya karena fakta sejarah hitam diatas putih ada di depan mata. Begitu juga seperti fakta lainnya yang tiada terbantahkan;

”Orang Aceh dulu tidak ke Belanda untuk berperang, tetapi Belanda-lah yang datang untuk mengobarkan perang, bahkan hingga saat ini maklumat perang tersebut tidak pernah dicabutnya”. (Di tulis oleh Asnawi Ali, warga Aceh di Swedia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.

Seulamat Uroe Raya

Admin Blog Atjeh Pusaka mengucapkan Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H... Neu peu meu'ah lahee ngon batein...