Kisah Perjuangan Pahlawan Nasional
Teuku Nyak Arief
1. Cut Nyak Asmah.
2. Cut Nyak Mariah.
3. Teuku Nyak Arief.
4. Cut Nyak Samsiah.
5. Teuku Mohd. Yusuf.
Teuku Nyak Arief ketika masih kanak-kanak
termasuk anak yang cerdas, berani dan mempunyai watak yang keras seperti
Ayahnya. Beliau selalu menjadi pemimpin diantara teman-teman sepermainannya,
baik dalam pergaulan maupun di sekolah. Permainan sangat digemari oleh Teuku
Nyak Arief adalah sepak bola yang merupakan sebagai bintang lapangan.
Setelah
Teuku Nyak Arief menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar (SD) Kuta Raja
(Banda Aceh), beliau melanjutkan pendidikannya di sekolah Raja
(Kweekschool) Bukit Tinggi dan kemudian
pada pamongpraja (OSVIA) di Serang (Banten). Sekolah ini khusus diadakan oleh
Belanda untuk anak-anak Raja dan Bangsawan dari seluruh Indonesia.
Teuku Nyak Arief dikenal sebagai orator
walaupun selalu berbicara seperlunya saja. Sangat gemar membaca terutama
menyangkut politik dan pemerintahan serta mendalami pengetahuan Agama. Oleh
sebab itu tidak mengherankan kalau dalam usia muda Beliau telah giat dalam
pergerakan.
Kegiatannya antara lain ikut membawa Aceh
ke dalam wadah persatuan Hindia (Nusantara/Indonesia) serta mencurahkan
perhatian yang besar untuk peningkatan kesejahteraan Rakyat. Beliau diangkat
menjadi ketua Nasional Indische Party (N.I.P) cabang Banda Aceh pada tahun
1919. Setahun kemudian (1920) Beliau menggantikan Ayahnya sebagai panglima sagi
26 Mukim. Kemudian di tahun 1927 Beliau diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat
(Volkraat) sampai dengan tahun 1931.
Teuku Nyak Arief merupakan
salah seorang pendiri dan anggota dari fraksi Nasional di Dewan Rakyat yang
diketuai oleh M.H. Thamrin. Dalam berbagai kesempatan yang diperolehnya ini
Beliau banyak memberikan sumbangan dalam bentuk perjuangan politik baik untuk
kesejahteraan rakyat maupun kemerdekaan.
Dalam
menentang penjajahan Belanda di Aceh salah satu aksi yang pernah dilakukannya
adalah memimpin gerakan dibawah tanah (tahun 1932). Diakhir kekuasaan
pemerintahan Belanda di Aceh (awal tahun 1942) Beliau menuntut untuk diserahkan
kekuasaan/ pemerintahan kepada Beliau,
tetapi karena tidak dikabulkan oleh Residen Aceh J. Pauw maka Beliau
memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda. Kolonel Gosenson memerintahkan
KNIL/ Marsose dapat dipukul mundur dan Beliau terhindar
dari penangkapan dari penangkapan penembakan, walau dua kali berturut-turut
kediaman Beliau di Lamnyong (Darussalam) diserang dengan kekerasan. Peristiwa
tersebut sekaligus berarti pula bahwa Belanda mulai menarik diri dari Aceh
Besar.
Jepang
mendarat di Aceh pada tanggal 12 Maret 1942. berbeda dengan hari-hari
sebelumnya, hari ini sudah melahirkan suatu momentum dalam sejarah Aceh
khususnya dan sejarah Indonesia pada umumnya dimana kekuasaan penjajahan baru
telah datang di Aceh dan sempat berkuasa selama 3,5 tahun. Pendaratan Tentara Jepang di Ujong Batee, Teluk
Balohan (Pulau Weh) dan Kuala Bugak Peureulak (Aceh Timur), disambut oleh
rakyat dengan semangat persaudaraan sesuai dengan semboyan yang tiap malam yang
didengungkan melalui pemancar radio Jepang bahwa mereka datang ke Indonesia
untuk membebaskan saudaranya-saudaranya dari cengkraman penjajahan Belanda.
Kegembiraan Rakyat menyambut kedatangan
Tentara Jepang tidak membuat mereka lupa daratan, setiap gerak-geriknya diikuti
dengan teliti. Setiap langkah Jepang yang menguntungkan diterima dengan baik
dan sebaliknya jika terjadi hal-hal yang mencurigakan segera dibuat perhitungan
baik melalui meja perundingan oleh pemimpinpemimpin mereka maupun melalui mata
pedang sebagaimana yang telah dibuktikan oleh rakyat Aceh dalam perang Bayu di
Aceh Utara pada bulan November 1942 yang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil.
Selanjutnya dapat juga kita lihat dalam peristiwa Fandrah di Aceh Utara pada
bulan Mei 1945. Kesemuanya itu merupakan bukti nyata daripada ketidaksenangan
rakyat Aceh terhadap kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh penjajah.
Memang pada mulanya kehadiran Jepang di
Aceh, rakyat beranggapan bahwa juru selamat telah tiba. Namun tidak lama
kemudian tindakan-tindakan mulai dilakukannya berupa tekanan terhadap
organisasi dan partai-partai politik. Akibatnya organisasi seperti
Muhammadiyah, PUSA, parindra mengalami kemunduran bahkan Taman Siswa dibubarkan
oleh Gunseibu, hal ini mengurangi simpati rakyat terhadap Jepang. Kebencian
rakyat semakin bertambah setelah Jepang memeras tenaga rakyat untuk kepentingan
proyek mereka, seperti membuat jalan raya, Takengon-Blangkeujeren, kubu pertahanan Gunung Setan.
Lapangan Udara dan lain-lain. Akibatnya
rakyat tidak mempunyai waktu untuk mengurus kepentingan pribadi, sehingga
keadaan ekonomi sosial mereka sangat menyedihkan. Hal-hal tersebut di atas
menyebabkan perasaan benci terhadap Jepang tidak terkendalikan lagi. Akhirnya
Jepang menyadari kedudukannya bahwa mereka bukan saja menghadapi musuh-musuh
dari luar yang sedang melakukan serangan balasan, dari dalampun rakyat sudah
menaruh benci dengan tingkah yang menyakiti hati rakyat.
Kemerosotan yang dialami oleh tentara
Jepang dalam perang Asia Timur Raya, mendorong pemerintahan pendudukan
memperluas Aceh Shu sangai Kai (Dewan penasehat Daerah Aceh) pada tanggal 17
November 1943. Badan ini semacam legislatif dibawah pimpinan Teuku Nyak Arief
yang beranggotakan 30 orang, anggotanya terdiri dari berbagai kelompok elit di
Aceh. Setahun kemudian keanggotaan Shu Sangi Kai diperluas oleh Shu Tjokan
(Residen Aceh) S. Iinoo. Perluasan ini disamping dimaksudkan untuk
mempergunakan susunan anggota juga untuk menarik kembali simpatik para elit dan
berbagai macam kelompok di Aceh kedalam lembaga tersebut.
Sejalan dengan politik ingin mendekati
rakyat dari berbagai golongan, maka pada bulan Juli 1945 para pembesar Jepang
menghubungi tokoh-tokoh pemuda yang ada di Kutaraja. Dalam pertemuan itu pihak
Jepang kembali menegaskan bahwa Dai Nippon pasti akan memberikan kemerdekaan
kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu mereka meminta untuk mengkoordinir
pemuda-pemuda sehingga lahir suatu angkatan pemuda yang kuat di Aceh.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 yang
bertempat di Aceh Bioskop Kutaradja diadakan rapat pemuda yang dihadiri juga
oleh unsur masyarakat. Suatu hal yang mengejutkan para pemuda, tidak
diketahuinya Jepang telah menyerah kalah ditandai dengan tidak hadirnya Syu
Tjokan pada rapat tersebut. Satu-satunya yang hadir dari pihak Jepang adalah
Matsyubushi yang mengucapkan pidato singkat tanpa bersemangat. Sedangkan di
pihak pemuda telah menyampaikan pidatonya dengan membakar semangat rakyat,
tidak saja dari unsur pemuda seperti Ali Hasjmy, Tuanku Hasyim, tetapi telah
turut berbicara dengan bersemangat sekali dua orang pimpinan Aceh yaitu Teuku
Nyak Arief dan Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Rapat pemuda yang diadakan tepat pada hari
menyerahnya Jepang kepada sekutu telah memberikan arti yang penting bagi para
pemuda terutama yang berada di Kutaradja dan Aceh Besar. Mereka telah mendengar
langsung pengarahan-pengarahan yang diberikan oleh para pemimpin mereka waktu
itu. Karenanya tidak mengherankan setelah Indonesia merdeka para pemuda-pemuda
tersebut mengorganisir dirinya dalam satu barisan yang diberi nama Ikatan
Pemuda Indonesia.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang telah
menyerah pada sekutu tanpa syarat bersamaan dengan kekalahan Jepang, Soekarno
dan Hatta sebagai pemimpin Indonesia segera mengadakan pertemuan dengan
pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya, mereka mengadakan persiapan untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sesuai dengan rencana yang ditetapkan
dan dipersiapkan dengan matang, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan
Timur No. 56 Jakarta, tepatnya jam 10.00 pagi diproklamasikan kemerdekaan
Indonesia keseluruh pelosok tanah air. Namun berita proklamasi ini terlambat
beberapa hari diterima di Aceh.
Berita proklamasi kemudian diterima oleh
pemuda Gazali dan Rajalis yang kemudian disampaikan pada Teuku Nyak Arief.
Berita selanjutnya diterima melalui medis gram Bukit Tinggi yang dikirim oleh
Adionegoro. Kemudian Teuku Nyak Arief memanggil tokoh-tokoh penting sesudah
menerima berita tersebut. Dihadapan pemimpin-pemimpin itu Teuku Nyak Arief
menyatakan sumpah setia kepada Negara Republik Indonesia.
Seiring dengan diterimanya berita
proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka dilakukanlah pengibaran Sang Merah Putih
diberbagai tempat, namun yang terpenting adalah yang dilakukan pada tanggal 24
Agustus 1945 didepan Kantor Polisi Kepang (Kantor Baperis sekarang) oleh para pegawai
bangsa Indonesia. Dalam penaikan Bendera disini timbul insiden dengan serdadu
Jepang yang sedang mengawal Tyokan (Pendopo sekarang). Insiden ini terjadi
sewaktu Muhammad Hasyim, wakil Kepala Polisi yang diangkat oleh Jepang sedang
memimpin penaikan Bendera Merah Putih, pada waktu itu Muhammad Hasyim ditegur
dan dihalang-halangi, bahkan kemudian Bendera yang telah dikibarkan itu
diturunkannya.
Perbuatan serdadu Jepang itu tidak
diterima dan pada saat itu juga seorang peserta yaitu Muhammad Amin Bugis dengan
bersemangat merampas kembali Bendera Merah Putih dari serdadu Jepang itu, lalu
menaiki tiang bendera untuk selanjutnya mengikat tali bersama Bendera dan
berkibarlah Sang Merah Putih tersebut.
Pada tanggal 29 Agustus 1945 Teuku Nyak
Arief diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (K.N.I) daerah Aceh,
untuk memikul biaya perang (perjuangan) yang semakin berat maka Teuku Nyak
Arief menjual harta benda pribadinya termasuk segala perhiasan emas milik
istrinya, demi kelancaran perjuangan untuk mempertahankan tanah air Indonesia.
Revolusi berjalan terus, rakyat Aceh yang
terkenal heroik terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, pada saat ini telah
bertekad untuk mempertahankan kemerdekaan, jalannya revolusi harus dipimpin dan
diarahkan untuk pengarahan jalanya revolusi aparat pemerintah harus
disempurnakan, meskipun pemerintah Indonesia mulai tanggal 3 Oktober 1945
dengan surat ketetapan Gubernur Sumatera dari negara Republik Indonesia No. 1/X
telah mengangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen Aceh. Teuku Nyak Arief
sebagai Residen Aceh pernah menodongkan pistol pada orang-orang yang
menghalangi pengibaran Sang Merah Putih, termasuk orang Jepang. Bahkan beliau
dengan gagah berani memasang Bendera Merah Putih dimobilnya, sedangkan
pemimpinpemimpin lainnya belum berani melakukannya pada saat itu.
Perjuangan terus ditingkatkan, aparatur
terus disempurnakan. Komando perjuangan dipegang oleh Teuku Nyak Arief, biarpun
hubungan dengan pemerintahan pusat pada saat itu tidak selancar seperti keadaan
sekarang ini, akan tetapi garis-garis yang telah ditetapkan oleh pemerintahan
pusat sedapat mungkin dilaksanakan. Pada
bulan Oktober 1945 utusan sekutu tiba di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) yang
bernama Mayor Knotienbelt untuk membicarakan pendaratan Sekutu di Aceh dalam
rangka melucuti senjata-senjata Jepang dan mengurus para tawanan perang.
Residen Teuku Nyak Arief menolak rencana sekutu ini. Beliau berjanji akan
mengatur pemulangan tentara Jepang dengan sebaik-baiknya.
Kekuatan persenjataan terus diperkuat oleh
Teuku Nyak Arief. Tangsi-tangsi (asrama) yang ditinggalkan oleh Jepang,
ditempati oleh Polisi istimewa dan TRI yang dilatih dengan sistem tempur
modern. Bekas opsir Gyu Gun dilantik kembali menjadi perwira-perwira TRI
seperti ; Kolonel Syamaun Gaharu, Mayor T.A. Hamid, Kapten Hoesen Yoesoef, Said
Usman, Said Ali, Nyak Neh dan Kapten T. Muhammadsyah. Pada upacara
pertama dilakukan Deville Meliter di lapangan Blang Padang dengan Insfektur
Upacara Residen Teuku Nyak Arief dan Komandan Upacara adalah Kapten Muhammadsyah.
Memasuki bulan Desember 1945 Residen Teuku
Nyak Arief sering digantikan oleh Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polem Moh.
Ali sebagai Wakil Residen. Hal ini diakibatkan karena residen sering mengadakan
perjalanan dan peninjauan ke daerah-daerah,
terutama di daerah yang kurang aman.
Teuku Nyak Arief sangat berjasa yang luar
biasa dibidang kemiliteran, maka beliau diangkat menjadi anggota staf umum TRI
dengan pangkat "Jenderal Mayor Tiituler" oleh Panglima TRI Komandemen
Sumatera melalui surat ketetapannya No. 10 tanggal 17 Januari 1946. Beliau
dalam melaksanakan tugas sangat aktif dan tanpa mengenal lelah, jarang berada
dirumah dan tidak ada istilah istirahat. Akibat terlalu letih dalam menjalankan
tugas mengakibatkan Beliau mengidap penyakit gula (kencing Manis) yang semakin
parah, maka dari itu beliau meminta cuti selama 2 (dua) bulan untuk berobat,
sebagai penggantinya ditunjuk Teuku Panglima Polem Moh. Ali sebagai wakil
residen.
Sementara Teuku Nyak Arief menjalankan
cuti, terjadi peristiwa Cumbok mengakibatkan perpecahan antara golongan Ulama.
Pada saat itu Teuku Nyak Arief merasa sedih ketika mendengar peritiwa tersebut,
karena Beliau telah berusaha mempersatukannya sejak zaman Hindia Belanda dan
Jepang, ternyata berhasil. Pertentangan kedua golongan ini sengaja dipertajam
oleh pemerintah Hindia Belanda dalam rangka politik "Devide et
Impera" nya.
Penangkapan terhadap Teuku Nyak Arief
dilakukan oleh Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) pada saat beliau dalam keadaan
sakit, yang dilakukan dengan cara baikbaik dan dengan penghormatan, karena
mereka itu menyadari bahwa pengaruh Teuku Nyak Arief masih besar. Kepada
keluarganya dikatakan bahwa Teuku Nyak Arief akan dibawa untuk istirahat,
kebetulan pada waktu itu Beliau masih dalam keadaan sakit.
Kemudian beliau dibawa ke Takengon dengan
sebuah Seda yang dikawal oleh dua orang Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) yang
berpakaian Hitam dan bertopeng. Setelah satu bulan Teuku Nyak Arief berada di
Takengon barulah keluarganya diperbolehkan menyusul untuk mengunjungi Teuku
Nyak Arief, yang diizinkan untuk mengunjungi beliau selama di Takengon adalah
istri Beliau Cut Nyak Jauhari, anak beliau Teuku Syamsul Bahri dan adik Beliau
Teuku Abdul Hamid.
Dalam keadaan sakit Teuku Nyak Arief masih
dapat memikirkan tawanan lainnya dan keadaan rakyat Aceh pada umumnya.
Sehubungan dengan keadaan sakitnya semakin bertambah, keadaan kesehatannya
semakin kritis, dan ajalpun tidak dapat ditolak. Beliau berpulang ke
Rahmatullah disamping istri Beliau Cut Nyak Jauhari dan anak Beliau Teuku
Syamsul Bahri serta adik beliau Teuku Abdul Hamid, tepatnya pada tanggal 4 Mei
1946 di Takengon. Jenazah Beliau dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh) dan
dikebumikan di tanah pemakaman keluarga Beliau, yaitu di Lamreung, lebih kurang
dua kilometer dari Lamnyong.
Teuku Nyak Arief yang menjadi Panglima
sagi 26 Mukim pada tahun 1927 - 1931 dan pada tahun 1927 tepatnya pada tanggal
16 Mei diangkat sebagai anggota Volksraad disamping tetap memegang jabatan
selaku Panglima Sagi 26 Mukim. Beliau dijuluki sebagai Rencong Aceh. Pada tahun
1945 - 1946 Beliau diangkat sebagai Residen Aceh yang pertama. Perjuangan
Beliau tanpa mengenal lelah dan tanpa pamrih, rela mengobarkan harta benda demi
perjuangan. Beliau merupakan pahlawan tiga zaman, seorang pejuang yang gigih,
karena jasanya dibidang kemiliteran (ketentaraan) maka Beliau diangkat sebagai
anggota staff Umum TRI dengan pangkat "`Jenderal Mayor Tirtuler" oleh
panglima TRI Komandemen sumatera dengan Surat Ketetapan No. 10 tanggal 17
januari 1946.
Teuku Nyak Arief telah meninggalkan kita
semua untuk selama-lamanya, dan beliau sebagai seorang pemimpin rakyat yang
telah berjuang bersama-sama rakyat sampai dengan akhir hayatnya, dan Beliau
meninggal dunia pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon (Aceh Tengah) dalam status
tahanan/tawanan dan dimakamkan pada pekuburan keluarga Beliau di lamreung ± 2
km dari Lamnyong Banda Aceh.
Teuku Nyak Arief adalah Pahlawan Nasional
yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Presiden
RI No. 0711/ TK/ 1974, tanggal 9 November 1974. (sumber: https://acehprov.go.id/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.