Atjeh Pusaka - Meuganggang, bararti melakukan ganggang, yaitu suatu kegiatan mengasap-asapi rambut (Aceh: `ok), kitab-kitab kuno atau manuskrip, kain, dan lain-lain dengan asap kemenyan[2] dalam masyarakat Aceh dimaksudkan sebagai upaya perawatan atau konservasi.
Meuganggang `ok bagi sebagian perempuan Aceh tempo dulu merupakan kegiatan rutin seminggu atau sebulan sekali sehabis keramas, yang dimaksudkan agar rambutnya tidak beruban, tidak mudah rontok, dan berwarna hitam mengkilap. Meuganggang `ok dilakukan dengan cara mencuci bersih rambut dan mengeringkannya, kemudian mengasap-asapi rambut di atas asap kemenyan secara merata[3].
Adapun meuganggang kitab-kitab kuno dimaksudkan agar kitab-kitab kuno peninggalan masalalu yang diwarisi pemiliknya itu terpelihara dari kerusakan yang mungkin disebabkan oleh karena pengaruh cuaca; kering dan rapuh, lembab dan lapuk, berjamur, atau dimakan binatang, seperti tikus, rayap, pite (silverfish), kutu buku, ataupun oleh penyebab kerusakan lainnya[4]. Meuganggang kitab dilakukan dengan cara membuka dan mengasapi halaman-halaman kitab lembar perlembar secara merata dalam posisi bagian pinggir halaman berada langsung di atas asap kemenyan. Kegiatan meuganggang kitab dilakukan enambulan atau setahun sekali secara rutin agar kitab-kitab tetap terjaga kondisinya[5].
Di samping asap kemenyan, bahan untuk meughanggang kitab juga memakai asap tembakau. Akan tetapi, kitab-kitab yang diganggang dengan asap tembakau akan berwarna hitam pucat atau kecoklat-coklatan, sedangkan kitab-kitab yang diganggang memakai asap kemenyan biasanya berwarna hitam pekat mengkilap dan lebih awet[6].
Secara empiris perempuan-perempuan yang mengganggang rambutnya dengan asap kemenyan selalu berpenampilan tanpa uban dengan rambut hitam mengkilap meskipun telah berusia tua[7]. Demikian juga kitab-kitab yang diganggang baik dengan asap kemenyan maupun dengan asap tembakau meskipun telah berusia ratusan tahun dan telah diwariskan kepada beberapa generasi tetap terjaga kondisinya, tetap prima, tanpa gangguan cuaca, jamur, atau binatang[8].
Selain meuganggang untuk kegiatan mengasap-asapi rambut, kitab-kitab kuno, kain, dan lain-lain di atas asap kemenyan dalam Bahasa Aceh juga dikenal dengan kata hoi, yang berarti juga memanggang di atas kemenyan, seperti hoi ija (mengasap-asapi kain), hoi pineung (mengasap-asapi pinang baik dalam bentuk buah maupun pinang yang sudah diiris-iris tipis atau pineung teuhoisebagai bagian rempah makan sirih), dan kata raksi, yang berarti mengasap-asapi, mengharumkan, dan mewangikan kain/pakaian, pinang, tembakau, minyak kelapa (untuk minyak rambut) sehingga dikenal ija teuraksi, pineung teuraksi, bakong teuraksi, dan minyeuk teuraksi, dan lain-lain[9].
Di samping kebiasaan meuganggang kitab-kitab kuno, dalam masyarakat Aceh juga ada kebiasaan membungkus manuskrip-manuskrip (terutama manuskrip Al-Quran) dengan kain putih yang dijalankan dengan penuh takzim oleh para pewarisnya secara turun temurun yang barangkali juga tidak mengerti apa tujuannya. Atau malah oleh sebagian orang dianggap sebagai pekerjaan mengeramatkan atau memuja barang-barang pusaka yang berbau syirik karena berkaitan dengan bakar-bakar kemenyan dan bungkusan kain putih. Padahal, sesungguhnya membungkus kitab dengan kain putih pun dimaksudkan agar naskah-naskah lama itu dapat terpelihara dengan baik, terhindar dari pengaruh cuaca, dan terhindar dari pengaruh zat asam dan garam dari udara lingkungan karena tersaring oleh kain putih sehingga tidak berpengaruh buruk pada kitab-kitab tersebut[10].
Tradisi meuganggang naskah-naskah lama sebagaimana berlaku dalam masyarakat Aceh tersebut juga berlaku dalam masyarakat Jawa, terutama di Kraton Kesultanan Yogyakarta dan Solo, yaitu yang dikenal dengan caosdhahar atau ‘memberi sesaji’ dan nyirami ‘memandikan’ benda-benda pusaka kraton, termasuk naskah-naskah kuno yang biasanya dilakukan setahun sekali pada 1 Suro (Muharram) setiap tahun[11]. Pekerjaan ‘caosdhahar’ dan ‘nyirami’ naskah-naskah kuno dalam masyarakat Jawa tersebut tampaknya memang seperti memuja dan mengeramat kan, meskipun sesungguhnya yang dimaksudkan bukanlah mengeramatkan dan memandikan naskah-naskah tersebutpun bukanlah dengan air, tetapi ia hanya dibersihkan dan diangin-angin kan saja[12] sebelum disimpan kembali.
Kebiasaan lain masyarakat Aceh yang berkaitan dengan konservasi memakai kain putih adalah kebiasaan membungkus batu nisan, terutama nisan orang-orang besar atau yang dianggap keramat dengan kain putih guna mencegah pengaruh buruk cuaca dan jamur sehingga nisan dapat bertahan utuh dan lestari. Pada kenyataannya batu-batu nisan lama yang dibungkus dengan kain putih sepanjang umurnya tidak pernah berjamur, keropos, atau rusak karena pengaruh cuaca dan jamur. Sebagaimana manuskrip-manuskrip yang dibungkus kain putih dan secara berkala di ganggang, dihoi, atau di raksi dengan asap kemenyan secara teratur ternyata dapat bertahan melintasi masa berabad-abad, lebih tahan dari kerusakan karena binatang, jamur, dan cuaca, dan lebih panjang umurnya daripada manuskrip-manuskrip yang diawetkan dengan bahan-bahan lain atau disimpan begitu saja dan diabaikan[13].
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada kebiasaan dalam masyarakat Aceh di mana orang bernazar kapada Allah mengenai sesuatu yang diharapkan bahwa ia akan memberikan dua hasta kain putih (dua hai hija puteh) atau lebih untuk membalut nisan pada kuburan raja, pemimpin, atau ulama yang dihormati dan dianggap keramat kalau harapannya tercapai.
Kedua hal tersebut terasa berbau khurafat dan tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga sering mendapat tantangan dari pemuka-pemuka agama karena pekerjaan tersebut dianggap syirik. Kalau dilihat dari perlakuannya memang kedua hal tersebut sepertinya pekerjaan syirik, tetapi di balik semua itu sesungguhnya terkandung anjuran konservasi artefak-artefak (batu nisan) penting bagi bukti sejarah dan manuskrip-manuskrip yang berisi berbagai nilai ruhani bangsa, ilmu pengetahuan, dan kearifan local yang bernilai up to date bagi kehidupan dunia dan akhirat dalam rangka mempertahankan keberadaannya.
Konservasi batu nisan dan manuskrip dengan bungkusan kain putih, atau konservasi manuskrip dengan mengganggangnya memakai asap kemenyan tentu akan terputus apabila pewaris dari keturunan langsung pemiliknya sudah tidak ada. Karena itu, agar terjaminnya upaya konservasi perlu pelibatan masyarakat, dan untuk pelibatan masyarakat dibentuklah wacana umum dengan berbagai ekspresi, seperti bernazar, atau mengadakan kenduri syukuran yang disertai pembacaan tahlil, doa, dan salawat kepada Rasulullah SAW pada kuburan orang-orang yang menjadi ikutan masyarakat, yang kemudian menjadi tradisi yang berefek positif bagi konsevasi artefak-artefak penting bagi sejarah masyarakat pendukungnya.
Mungkin karena terjadi degradasi pemahaman, pergeseran nilai, dan pengaruh teknologi maju pada produk kosmetik, parfum, dan makanan telah mengubah sikap masyarakat terhadap teknologi tradisional Aceh tersebut sehingga prilaku meuganggang `ok sebagaimana juga prilaku meuhoi ataumeuraksi pineung, kain, tembakau, dan minyak kelapa kini nyaris tidak dikenal lagi, dan saat ini sulit sekali ditemukan pineung teuhoi, minyeuk keumeunyan, atau bakong teuraksi, dan lain-lain dalam masyarakat dan di pasar-pasar rakyat.
Penulis: Drs. Nurdin AR, M.Hum[1]
Keterangan:
[1] Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry dan Ketua Bidang Kajian, Pendidikan, dan Pengembangan Majelis Adat Aceh.
[2] Aboe Bakar, dkk. 1985. Kamus Aceh Indonesia 1 Seri A-L. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal 215.
[3] Keterangan dari beberapa narasumber dalam survey pengadaan naskah koleksi Museum Aceh 1990-2005 di Pidie
[4] Kondisi umum fisik naskah-naskah sebagai peninggalan masa lampau.
[5] Keterangan Alm. Teuku Hasballah warga Meunasah Dayah Tanoh dan Alm.Utoih Hasballah Raden warga Meunasah Sukon Teupin Raya Pidie tahun 1994. Berdasarkan keterangan ini konservasi koleksi naskah dan benda-benda organik Museum Aceh lainnya kemudian tidak lagi memakai bahan kimia.
[6] Perbandingan kondisi naskah-naskah koleksi Museum Aceh yang dikonservasi memakai asap kemenyan atau tembakau.
[7] Lihat catatan 5
[8] Kondisi beberapa naskah koleksi Museum Aceh
[9] Aboe Bakar, dkk. 1985. Kamus Aceh Indonesia 1 dan2. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Hal.295 dan 768.
[10] Sikap beberapa pewaris naskah kuno yang ditemui dalam survey pengadaan koleksi Museum Aceh 1990-1995 di Pidie.
[11] Siti Baroroh Baried, dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Hal. 25.
[12] ibid.
[13] Pengamatan penulis terhadap inskripsi kuburan Meureuhom Daya(1986) dan berbagai inskripsi kuburan lainnya yang dibungkus belasan lapis kain putih dan naskah-naskah koleksi Museum Aceh.
Meuganggang `ok bagi sebagian perempuan Aceh tempo dulu merupakan kegiatan rutin seminggu atau sebulan sekali sehabis keramas, yang dimaksudkan agar rambutnya tidak beruban, tidak mudah rontok, dan berwarna hitam mengkilap. Meuganggang `ok dilakukan dengan cara mencuci bersih rambut dan mengeringkannya, kemudian mengasap-asapi rambut di atas asap kemenyan secara merata[3].
Adapun meuganggang kitab-kitab kuno dimaksudkan agar kitab-kitab kuno peninggalan masalalu yang diwarisi pemiliknya itu terpelihara dari kerusakan yang mungkin disebabkan oleh karena pengaruh cuaca; kering dan rapuh, lembab dan lapuk, berjamur, atau dimakan binatang, seperti tikus, rayap, pite (silverfish), kutu buku, ataupun oleh penyebab kerusakan lainnya[4]. Meuganggang kitab dilakukan dengan cara membuka dan mengasapi halaman-halaman kitab lembar perlembar secara merata dalam posisi bagian pinggir halaman berada langsung di atas asap kemenyan. Kegiatan meuganggang kitab dilakukan enambulan atau setahun sekali secara rutin agar kitab-kitab tetap terjaga kondisinya[5].
Di samping asap kemenyan, bahan untuk meughanggang kitab juga memakai asap tembakau. Akan tetapi, kitab-kitab yang diganggang dengan asap tembakau akan berwarna hitam pucat atau kecoklat-coklatan, sedangkan kitab-kitab yang diganggang memakai asap kemenyan biasanya berwarna hitam pekat mengkilap dan lebih awet[6].
Secara empiris perempuan-perempuan yang mengganggang rambutnya dengan asap kemenyan selalu berpenampilan tanpa uban dengan rambut hitam mengkilap meskipun telah berusia tua[7]. Demikian juga kitab-kitab yang diganggang baik dengan asap kemenyan maupun dengan asap tembakau meskipun telah berusia ratusan tahun dan telah diwariskan kepada beberapa generasi tetap terjaga kondisinya, tetap prima, tanpa gangguan cuaca, jamur, atau binatang[8].
Selain meuganggang untuk kegiatan mengasap-asapi rambut, kitab-kitab kuno, kain, dan lain-lain di atas asap kemenyan dalam Bahasa Aceh juga dikenal dengan kata hoi, yang berarti juga memanggang di atas kemenyan, seperti hoi ija (mengasap-asapi kain), hoi pineung (mengasap-asapi pinang baik dalam bentuk buah maupun pinang yang sudah diiris-iris tipis atau pineung teuhoisebagai bagian rempah makan sirih), dan kata raksi, yang berarti mengasap-asapi, mengharumkan, dan mewangikan kain/pakaian, pinang, tembakau, minyak kelapa (untuk minyak rambut) sehingga dikenal ija teuraksi, pineung teuraksi, bakong teuraksi, dan minyeuk teuraksi, dan lain-lain[9].
Di samping kebiasaan meuganggang kitab-kitab kuno, dalam masyarakat Aceh juga ada kebiasaan membungkus manuskrip-manuskrip (terutama manuskrip Al-Quran) dengan kain putih yang dijalankan dengan penuh takzim oleh para pewarisnya secara turun temurun yang barangkali juga tidak mengerti apa tujuannya. Atau malah oleh sebagian orang dianggap sebagai pekerjaan mengeramatkan atau memuja barang-barang pusaka yang berbau syirik karena berkaitan dengan bakar-bakar kemenyan dan bungkusan kain putih. Padahal, sesungguhnya membungkus kitab dengan kain putih pun dimaksudkan agar naskah-naskah lama itu dapat terpelihara dengan baik, terhindar dari pengaruh cuaca, dan terhindar dari pengaruh zat asam dan garam dari udara lingkungan karena tersaring oleh kain putih sehingga tidak berpengaruh buruk pada kitab-kitab tersebut[10].
Tradisi meuganggang naskah-naskah lama sebagaimana berlaku dalam masyarakat Aceh tersebut juga berlaku dalam masyarakat Jawa, terutama di Kraton Kesultanan Yogyakarta dan Solo, yaitu yang dikenal dengan caosdhahar atau ‘memberi sesaji’ dan nyirami ‘memandikan’ benda-benda pusaka kraton, termasuk naskah-naskah kuno yang biasanya dilakukan setahun sekali pada 1 Suro (Muharram) setiap tahun[11]. Pekerjaan ‘caosdhahar’ dan ‘nyirami’ naskah-naskah kuno dalam masyarakat Jawa tersebut tampaknya memang seperti memuja dan mengeramat kan, meskipun sesungguhnya yang dimaksudkan bukanlah mengeramatkan dan memandikan naskah-naskah tersebutpun bukanlah dengan air, tetapi ia hanya dibersihkan dan diangin-angin kan saja[12] sebelum disimpan kembali.
Kebiasaan lain masyarakat Aceh yang berkaitan dengan konservasi memakai kain putih adalah kebiasaan membungkus batu nisan, terutama nisan orang-orang besar atau yang dianggap keramat dengan kain putih guna mencegah pengaruh buruk cuaca dan jamur sehingga nisan dapat bertahan utuh dan lestari. Pada kenyataannya batu-batu nisan lama yang dibungkus dengan kain putih sepanjang umurnya tidak pernah berjamur, keropos, atau rusak karena pengaruh cuaca dan jamur. Sebagaimana manuskrip-manuskrip yang dibungkus kain putih dan secara berkala di ganggang, dihoi, atau di raksi dengan asap kemenyan secara teratur ternyata dapat bertahan melintasi masa berabad-abad, lebih tahan dari kerusakan karena binatang, jamur, dan cuaca, dan lebih panjang umurnya daripada manuskrip-manuskrip yang diawetkan dengan bahan-bahan lain atau disimpan begitu saja dan diabaikan[13].
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada kebiasaan dalam masyarakat Aceh di mana orang bernazar kapada Allah mengenai sesuatu yang diharapkan bahwa ia akan memberikan dua hasta kain putih (dua hai hija puteh) atau lebih untuk membalut nisan pada kuburan raja, pemimpin, atau ulama yang dihormati dan dianggap keramat kalau harapannya tercapai.
Kedua hal tersebut terasa berbau khurafat dan tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga sering mendapat tantangan dari pemuka-pemuka agama karena pekerjaan tersebut dianggap syirik. Kalau dilihat dari perlakuannya memang kedua hal tersebut sepertinya pekerjaan syirik, tetapi di balik semua itu sesungguhnya terkandung anjuran konservasi artefak-artefak (batu nisan) penting bagi bukti sejarah dan manuskrip-manuskrip yang berisi berbagai nilai ruhani bangsa, ilmu pengetahuan, dan kearifan local yang bernilai up to date bagi kehidupan dunia dan akhirat dalam rangka mempertahankan keberadaannya.
Konservasi batu nisan dan manuskrip dengan bungkusan kain putih, atau konservasi manuskrip dengan mengganggangnya memakai asap kemenyan tentu akan terputus apabila pewaris dari keturunan langsung pemiliknya sudah tidak ada. Karena itu, agar terjaminnya upaya konservasi perlu pelibatan masyarakat, dan untuk pelibatan masyarakat dibentuklah wacana umum dengan berbagai ekspresi, seperti bernazar, atau mengadakan kenduri syukuran yang disertai pembacaan tahlil, doa, dan salawat kepada Rasulullah SAW pada kuburan orang-orang yang menjadi ikutan masyarakat, yang kemudian menjadi tradisi yang berefek positif bagi konsevasi artefak-artefak penting bagi sejarah masyarakat pendukungnya.
Mungkin karena terjadi degradasi pemahaman, pergeseran nilai, dan pengaruh teknologi maju pada produk kosmetik, parfum, dan makanan telah mengubah sikap masyarakat terhadap teknologi tradisional Aceh tersebut sehingga prilaku meuganggang `ok sebagaimana juga prilaku meuhoi ataumeuraksi pineung, kain, tembakau, dan minyak kelapa kini nyaris tidak dikenal lagi, dan saat ini sulit sekali ditemukan pineung teuhoi, minyeuk keumeunyan, atau bakong teuraksi, dan lain-lain dalam masyarakat dan di pasar-pasar rakyat.
Penulis: Drs. Nurdin AR, M.Hum[1]
Keterangan:
[1] Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry dan Ketua Bidang Kajian, Pendidikan, dan Pengembangan Majelis Adat Aceh.
[2] Aboe Bakar, dkk. 1985. Kamus Aceh Indonesia 1 Seri A-L. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal 215.
[3] Keterangan dari beberapa narasumber dalam survey pengadaan naskah koleksi Museum Aceh 1990-2005 di Pidie
[4] Kondisi umum fisik naskah-naskah sebagai peninggalan masa lampau.
[5] Keterangan Alm. Teuku Hasballah warga Meunasah Dayah Tanoh dan Alm.Utoih Hasballah Raden warga Meunasah Sukon Teupin Raya Pidie tahun 1994. Berdasarkan keterangan ini konservasi koleksi naskah dan benda-benda organik Museum Aceh lainnya kemudian tidak lagi memakai bahan kimia.
[6] Perbandingan kondisi naskah-naskah koleksi Museum Aceh yang dikonservasi memakai asap kemenyan atau tembakau.
[7] Lihat catatan 5
[8] Kondisi beberapa naskah koleksi Museum Aceh
[9] Aboe Bakar, dkk. 1985. Kamus Aceh Indonesia 1 dan2. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Hal.295 dan 768.
[10] Sikap beberapa pewaris naskah kuno yang ditemui dalam survey pengadaan koleksi Museum Aceh 1990-1995 di Pidie.
[11] Siti Baroroh Baried, dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Hal. 25.
[12] ibid.
[13] Pengamatan penulis terhadap inskripsi kuburan Meureuhom Daya(1986) dan berbagai inskripsi kuburan lainnya yang dibungkus belasan lapis kain putih dan naskah-naskah koleksi Museum Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.