Cut Nyak Meutia
Pendahuluan
Perjuangan wanita dan kancah peperangan
telah memberi warna tersendiri dalam sejarah
perjuangan Aceh. Sederetan nama muncul seperti Laksamana Malahayati, Cut
Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren dan pejuang wanita lainya. Peran
mereka sangat besar, tak pernah ada rasa takut gentar mendampingi suami ke
medan perang, meskipun melintasi
hutan yang penuh marabahaya di dalam hutan belantara terkadang mereka harus
menahan lapar dan dahaga namun semangat
mereka tidak pernah sirna dalam membela tanah air dan agama.
Peran serta aktif mereka di
dalam peperangan sebagaimana dinyatakan oleh H.C. Zentgraaff mengenai wanita
Aceh bahwa perannya di dalam masa perjuangan sukar untuk di nilai dan biasanya
aktif sekali. Wanita Aceh gagah berani adalah penjelmaan rasa dendam terhadap
Kolonial Belanda yang tak ada taranya serta tidak mengenal damai. Jika ia turut
bertempur maka tugas itu dilaksanakan dengan suatu energi yang tak kenal maut
dan mengalahkan prianya (H.C. Zentgraaff, 1983: 78).
Keberanian para wanita Aceh yang cukup
tangguh di dalam perjuangan kiranya mereka patut mendapat gelar srikandi. Di
dalam kamus Bahasa Indonesia srikandi adalah nama salah seorang isteri arjuna
tokoh wayang) yang sangat berani dan pandai memanah. Srikandi dapat juga berarti pahlawan wanita yang gagah
berani (Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan Bahasa, 1995: 961 ). Pengorbanan jiwa raga yang mereka berikan
dalam mempertahankan sesuatu pendirian yang merupakan kepentingan umum nasional
maka di antara mereka ada yang telah diberi gelar sebagai pahlawan nasional.
Salah satunya adalah Cut Nyak Meutia atau sering disebut Cut Meutia (dalam Bahasa Aceh Meutia artinya Mutiara).
Tulisan tentang perjuangan Cut Meutia
sudah banyak disajikan secara lengkap dalam berbagai bentuk dan versi namun kali ini kami mencoba menguraikan
secara singkat perjuangannya agar para generasi muda khususnya dan masyarakat
umum untuk membacanya. Sikap patriotis yang dimiliki Cut Meutia patut
diteladani serta terus menerus ditumbuhkan dalam diri generasi muda dan
masyarakat sehingga sikap bela bangsa dan negara dapat terbina dalam rangka
untuk mengisi pembangunan yang sedang terlaksana.
Tulisan perjuangan Cut Meutia ini akan
mengungkapkan latar belakang kehidupan Cut Meutia, kapan dia dilahirkan,
suasana lingkungan keluarga tempat ia dibesarkan serta pendidikan yang pernah
diterima oleh Cut Meutia. Kesemua ini tentu ikut memberi motivasi tumbuhnya
sikap kesatria dan semangat Fisabilillah dalam dirinya. Watak dan pribadi ini
pula yang menyebabkan perkawinan pertama tidak dapat bertahan lama karena
perbedaaan pendirian di antara mereka. Awal perjuangan dimulainya saat ini
menemui dan menikah dengan pria yang menjadi harapan hatinya, memikul senjata
bersama untuk dapat membela negara.
Saat suami tercinta harus menjalani
hukuman pihak Belanda semangat Cut Meutia kian membara. Atas anjaran suami
tercinta (Teuku Chik Tunong), agar Meutia menikah dengan Pang Nanggroe
dipenuhinya untuk meneruskan cita-cita menegakkan Kemerdekaan bumi persada.
Tewasnya Pang Nanggroe dalam perjuangan bukan berarti Cut Meutia menghentikan
perlawanan. Berbagai taktik dan siasat ia jalankan untuk mencapai tujuan.
Sampai akhinya ia gugur menerima peluru senapan dari pihak lawan.
Sumbangan jiwa raga untuk bangsa dan tanah
air yang telah diberikan Cut Meutia, maka atas jasanya Pemerintah Republik
Indonesia mengangkatnya sebagai Pahlawan
Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 107 tanggal 2 Mei 1964.
Latar
Belakang Kehidupannya
Cut Meutia di lahirkan pada tahun 1870, anak dari hasil
perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan
tersebut mereka dikaruniai 5 orang anak. Cut Meutia merupakan putri
satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah
laki-laki. Saudara tertua bernama Cut Beurahim disusul kemudian Teuku
Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya adalah seorang Uleebalang di desa Pirak yang berada
dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe.
Pemberian nama yang indah pada dirinya dengan Meutia
(berarti mutiara) bukan saja karena paras wajahnya yang cantik, tetapi bentuk
tubuh yang indah menyertainya. Pengakuan keindahan rupa dan tubuhnya tidak
luput dari perhatian seorang penulis Belanda yang mengungkapkan :
Cut Meutia bukan saja amat cantik
tetapi iapun memiliki tubuh yang tampan dan menggairahkan. Dengan mengenakan
pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di Aceh dengan
silueue (celana) sutera berwarna hitam dan baju dikancing perhiasan-perhiasan
emas di dadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat dihiasi
ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut) dengan gelang di kakinya yang
melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benar-benar seorang bidadari (H.C.
Zentgraaff, 1983: 151).
Dalam perjalanan kehidupannya Cut Meutia
bukan saja menjadi mutiara keluarga dan desanya Pirak, melainkan ia telah
menjadi mutiara yang tetap kemilau bagi nusantara.
Daerah uleebalang
Pirak tempat kelahirannya merupakan daerah yang berdiri sendiri karena daerah
ini mempunyai pemerintahan dan kehakiman tersendiri sehingga dapat memutuskan
perkara-perkara dalam tingkat yang rendah. Saat daerah Uleebalang Pirak di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud (ayah Cut
Meutia) Suasana penuh dengan ketenangan dan kedamaian sebagai seorang yang
bijaksana perhatian Teuku Ben Daud selalu tertumpah pada rakyatnya karena
selain sebagai uleebalang dia juga dikenal sebagai seorang ulama yang sampai
akhir hayatnya tidak mau tunduk dan patuh pada Belanda, tidaklah mengherankan jika
sifat kesatria itu terbina dalam diri Cut Meutia kelak.
Sebagaimana kebiasaan rakyat Aceh, maka
sejak kecil Meutia telah diberikan pendidikan agama Islam, terutama pendidkan
yang mengajarkan tentang kebesaran Islam yaitu sikap benci terhadap kemungkaran
dan penindasan dan tidak merasa senang terhadap siapa saja yang mengganggu
agama Islam dan bangsanya. Bagi mereka mati membela agama syahid hukumnya yang
pahalanya adalah mendapat syurga di akhirat kelak.
Begitu juga halnya Meutia Kecil, ia
dididik dengan pelajaran agama yang ketat, baik di tempat pengajian maupun
dengan cara mendatangkan guru atau ulama ke rumahnya, bahkan kadang kala
ayahnya sendiri bertindak sebagai guru. Penempaan semangat Jihat Fisabilillah
dalam dirinya ikut memotivasi Cut meutia nantinya hingga la bangkit
bersama-sama suaminya Teuku Cut Muhammad, Pang Nanggroe dan secara pribadi
muncul sebagai pimpinan pergerakan meneruskan perjuangan mengusir penjajah
Belanda.
Sampai dengan masa dewasanya, ia
ditunangkan dan dikawinkan oleh orangtuanya dengan Teuku Syamsarif yang
mempunyai gelar Teuku Chik Bintara, namun la mempunyai watak lemah dan sikap
hidupnya yang ingin berdampingan dengan Kompeni. Ia merupakan anak angkat dan
Teuku Chik Muda Ali dan Cut Nyak Asiah Uleebalang Keureutoe. Daerahnya mencakup
dari Krueng Pase sampai ke Panton Labu (Krueng Jambo Aye) yang pusat
Pemerintahannya di daerah Kutajrat Manyang yang sekarang terletak 20 km dari
kota administratif Lhokseumawe.
Pertentangan-Pertentangan pendirian yang
semakin hari semakin terasa membuat Cut Meutia merasa tidak layak lagi hidup
berdampingan dengan Teuku Chik Bintara. Di dalam jiwanya telah terpatri
semangat Fisabilillah sehingga sikap anti kepada Belanda selalu mengiringinya.
Berbeda dengan Teuku Chik Bintara yang senantiasa senang bekerjasama dengan
Belanda sebagaimana yang
diungkapkan Muhammad Said :
Cut Meutia selain cantik tapi
juga gairah dan gaya, .... Tidak layak ia menjadi istri Teuku Bintara apalagi
untuk diajak bergantung "kompeni" ialah puteri yang murni dari bangsanya.
Jiwa raganya melekat terus kepada para pejuang yang tidak mau tunduk dan
tinggal di gunung, mereka hanya tunduk mengabdi pada jalan Fisabilillah di mana
ayah bundanya aktif serta. Kesanalah idamannya, ditempat yang selalu ia pergi
bebas dari kafir (Muhammad Said, 1985: 264).
Akhirnya perkawinan mereka tidak bertahan
lama ia bercerai dan kemudian menikah dengan adik Syamsarif sendiri yaitu Teuku
Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong. Cut Meutia
telah mendapat pria yang menjadi idamannya. Seirama dan secita-cita dalam derap
langkah memerangi kompeni (Belanda). Mereka lalu berhijrah ke gunung bahu
membahu bersama pejuang lainnya menyusun rencana dalam rangka penyerangan
terhadap Belanda Selain itu, perkawinan ini juga berarti sekaligus merupakan
suatu cara meraih cita-cita karena bukan saja ia mendapatkan suami yang gagah
berani, tetapi juga sebagai pemimpin pejuang Perlawanan yang sangat ditakuti
oleh Belanda sebagaimana yang didambakannya selama ini.
Untuk mengungkapkan sejarah perjuangan Cut
Meutia, tidaklah terlepas pada uraian tentang masa perjuangannya bersama Teuku
Chik Muhammad (sebagai suami kedua), atau dengan Pang Nanggroe sebagai suami
ketiga dan perjuangannya sendiri sebagai pemimpin perang pada masa itu.
Perjuangan
Cut Meutia bersama Teuku Chik Tunong
Awal pergerakannya di mulai pada tahun
1901 dengan basis perjuangan dari daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara
sekarang) di bawah komando perang Teuku Chik Muhammad atau Teuku Chik Tunong
(suaminya sendiri), Cut Meutia berjuang bersama-sama, bahu-membahu dengan suami
dan para pejuang lainnya. Ia bukan saja sebagai ibu rumah tangga tapi ia juga
bertindak sebagai pengatur strategi pertempuran sehingga taktiknya tersebut
dapat memporak porandakan pertahanan pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan
merampas senjata serta amunisi mereka yang akan digunakan untuk memperkuat
persenjataan pejuang muslimin.
Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia di dalam
pergerakannya selalu menggunakan taktik perang gerilya dan spionase yaitu suatu
taktik serang dan mundur serta menggunakan prajurit memata-matai gerak gerik
pasukan lawan terutama rencanarencana patroli dan pencegatan. Taktik seperti
ini cukup membuat pasukan Belanda kewalahan dan menjengkelkan mereka.
Taktik Spionase dilakukan oleh para spion
dari pasukan pejuang yang menyamar sebagai penduduk (ureung gampong) disebarluaskan di pelosok-pelosok negeri, dengan
keluguannya para spion selalu mendapatkan informasi berharga dan tepat sehingga
daerah serta lokasi patroli yang akan dilalui pasukan Belanda dapat segera
diketahui. Dengan cara seperti ini pasukan muslimin dapat mengatur strategi dan
rencana pencegatan untuk melumpuhkan pasukan musuh tersebut karena posisi
strategis pada jalur yang akan dilalui sudah dapat dikuasai. Pencegatan dan
penyerangan oleh pasukan muslimin dilakukan secara tiba-tiba sehingga pasukan
Belanda tidak dapat berbuat apaapa dan dengan mudah pasukan muslimin
menghacurkan dan merampas semua senjata dan perbekalan.
Dalam bulan Juni 1902, berdasarkan informasi
dari spionnya bahwa pasukan Belanda akan melakukan operasi dan patroli dengan
kekuatan 30 orang personil di bawah pimpinan sersan Van Steijn Parve. Di dalam
perlawanan tersebut pasukan Belanda mengalami kekalahan yang cukup besar yaitu
dengan matinya pimpinan pasukan dan 8 orang serdadu serta banyak anggota
pasukan yang cidera berat dan ringan, sedangkan di pihak pejuang muslimin
syahid 10 orang (H.C. Zentgraaff, 1983:
152).
Kemudian pada bulan Agustus 1902 pasukan
Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah
Simpang Ulim Blang Nie. Strategi yang dipakai oleh pasukan muslimin untuk
mencegat pasukan Belanda adalah dengan menempatkan pasukannya di daerah yang
beralang-alang tinggi dekat jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro sehingga
memudahkan para pejuang mengintai dan sekaligus melakukan penyerangan secara
tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh total dan para
pejuang muslimin dapat merebut 5 pucuk senapan (Muhammad Said, 1985: 265).
Pergerakan dan penyerbuan
pasukan Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia semakin ditingkatkan. Salah satu
taktik lain yang dijalankan adalah taktik tipu daya dan taktik jebakan. Pada
bulan Nopember 1902 diisukan oleh salah seorang pejuang muslimin (dalam hal ini Pang Gadeng) bahwa
pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia beserta pasukan muslimin lainnya akan
mengadakan kenduri yang bertempat di Gampong Matang Rayeuk di seberang sungai
Sampoiniet. Pemilihan lokasi-lokasi jebakan ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa satu-satunya jalan yang akan dilalui menuju tempat tersebut adalah dengan
memakai perahu jebakan ini akan mudah dilaksanakan.
Isu yang disebarluaskan
tersebut ternyata mendapat respon serius dari pimpinan pasukan Belanda di desa
Matang Rayeuk. Di bawah pimpinan Letnan RDP De Cok bersama dengan 45 orang
personilnya, mereka melakukan perjalanan jalan menuju tempat yang
diinformasikan tersebut. Setibanya pasukan di tepi sungai telah ada dua orang
pendayung perahu (yaitu pejuang muslimin
yang menyamar sebagai pengail) tanpa ada kecurigaan sedikitpun pasukan
Belanda memerintahkan kepada pendayung tersebut untuk segera menyeberangkan
Pasukan Belanda.
Sesuai dengan rencana yang telah disusun
dan diatur oleh pejuang muslimin bahwa di tengah sungai pendayung tersebut
melakukan gerakan untuk membalikan perahu. Dalam suasana malam gelap gulita
kacaulah pasukan Belanda dan dengan tiba-tiba
muncul pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia melakukan penyerangan dengan
tembakan-tembakan gencar dan dengan pedang serta rencong terhunus melakukan gerakan
perkelahian jarak dekat sehingga pasukan Belanda kacau dan punah di saat
pertempuran ini pasukan De Cok bersama dengan 28 prajuritnya mati sedangkan
pasukan muslimin dalam penyerangan ini dapat memperoleh 42 pucuk senapan (Muhammad Said, 1983: 265; H.C. Zentgraaff,
1983: 153).
Selain dari itu pasukan Chik
Tunong-Cut Meutia sering melakukan gerakan sabotase-sabotase dijalan yang
dilalui kereta api, penghancuran hubungan telepon sehingga jalur perhubungan
untuk mengangkut logistik pasukan Belanda antara bivakbivak seperti di
Lhoksukon dengan pertahanan di Kota Lhokseumawe menjadi sering terputus dan
terganggu. Hal ini dilakukan pejuang mnslimin sebagai balasan dendam atas
peristiwa menyedihkan di Blang Paya Itiek (daerah Samakuruk di selatan gedung)
yaitu suatu peristiwa yang memilukan dan tragis sebagai akibat adanya
pengkhianatan oleh Pang Ansari (dari
Blang Nie) dimana pasukan Belanda menyerang pos pertahanan pasukan Sultan
Alaidin Mahmud Daudsyah dan pengikutnya pada peristiwa ini para pejuang muslimin
banyak yang syahid sebagai kesuma bangsa, namun Sultan dapat melepaskan diri
dari cengkraman musuh dan mengundurkan diri ke Meunasah Nibong Paya kamuek.
Selanjutnya pada tanggal 9 Januari 1903
Sultan Mahmud Daud Syah
bersama pengikutnya seperti Panglima Polem Muhammad Daud, Teuku Raja Keumala
dan pemuka kerajaan lainnya telah menghentikan perlawanan dan menyatakan turun
dari usaha bergerilya melakukan penyerangan pasukan Belanda.
Memperhatikan turunnya sultan dan
penyerangan perlawanan atas pasukan Belanda tersebut dan menerima surat-surat
serta atas anjuran para sahabat seperjuangan, Teuku Chik Tunong memahami
kesemuanya itu. Atas kesepakatan dirinya dengan istrinya Cut Meutia pada
tanggal 5 Oktober 1903 Teuku Chik Muhammad-Cut Meutia beserta dengan
pengikutnya turun dari gunung. Atas persetujuan komandan detasemen Belanda di
Lhokseumawe (HNA. Swart) Teuku Chik
Muhammad-Cut Muetia dan Pasukannya dibenarkan menetap di Keureutoe tepatnya di
Jrat Manyang dan akhirnya pindah ke Teping Gajah daerah Panton Labu.
Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad-Cut
Meutia adalah sebagai akibat dari peristiwa di Meurandeh Paya sebelah timur
kota Lhoksukon (tepatnya tanggal 26 Januari 1905).
Peristiwa tersebut diawali dengan
terbunuhnya pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan berteduh di Meunasah
Meurandeh Paya. Pembunuhan atas pasukan Belanda ini merupakan pukulan yang
sangat besar dan berat bagi pemerintah Belanda. Di dalam penyelidikannya serta
berdasarkan informasi yang diterima dan mata-mata Belanda bahwa Teuku Chik
Tunong turut terlibat hal ini merupakan fitnah semata oleh karena itu
pemerintah Belanda menangkapnya dan di dalam peradilan Militer di Lhokseumawe
di putuskan Teuku Chik Tunong Mendapat hukuman gantung dan akhirnya berubah
menjadi hukuman tembak mati.
Pelaksanaan hukuman tembak mati
dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi pantai Lhokseumawe dan dimakamkan di
Masjid Mon Geudong, tidak jauh dan kota Lhokseumawe. Sebelum hukuman tembak
dilaksanakan ia dapat bertemu dengan salah seorang staf setia dalam perjuangan,
yaitu Pang Nanggroe. Seorang panglima muslimin yang juga teman yang paling
dekat dan dipercaya, kata terakhir yang diucapkan kepada Pang Nanggroe adalah
"Sudah tiba masanya aku ini tidak terlepas lagi dari tuntutan hukuman.
Pada saatnya hari perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah
anakku, aku izinkan istriku kawin dengan engkau dan teruskanlah
perjuangan" (lsmail Yakub, 1979: 49).
Perjuangan
Cut Meutia bersama Pang Nanggroe
Dalam fase berikutnya, perjuangan Cut
Meutia dalam menentang penjajahan Belanda tidak terputus dan terus berlanjut.
Sesuai dengan amanah dari suaminya Teuku Chik Tunong, Perjuangan terus
dilanjutkan dan ia bersedia menerima Pang Nanggroe sebagai suami dan sekaligus
sebagai pendamping dalam perjuangan.
Kemudian, markas basis
perjuangan mereka kini berada di Buket Bruek Ja. Pang Nanggroe mengatur siasat
perlawanan melawan patroli Marsose Belanda bersama dengan Teuku Muda Gantoe.
Untuk perbekalan perang diadakan hubungan dengan rakyat di kampung-kampung pada
malam hari. Senapan, kelewang dibeli dari orang yang dapat merebutnya dari
Belanda dengan harga yang tinggi sehingga dengan penuh semangat perjuangan Pang
Nanggroe bersama dengan istrinya Cut Meutia menghadang patroli Marsose Belanda
di setiap kesempatan.
Penyerangan yang dilakukan oleh Pang
Nanggroe-Cut Meutia dimulai dan hulu Krueng Jambo Aye suatu tempat pertahanan
yang sangat strategis karena daerah tersebut merupakan daerah hutan liar yang
banyak tempat tempat persembunyian pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia sering
melakukan penyerangan ke tangsi-tangsi dan bivak pasukan Belanda dimana banyak
terdapat para pejuang muslimin yang ditahan sekaligus membebaskan mereka dengan
demikian penyerangan-penyerangan itu membuat pasukan Belanda marah dan gusar.
Pada tanggal 6 Mei 1907 pasukan Pang
Nanggroe-Cut Meutia melakukan penyerbuan secara gerak cepat terhadap
bivak-bivak yang mengawal para pekerja kereta api. Dan hasil beberapa orang
serdadu Belanda tewas dan luka-luka bersama itu pula dapat direbut 10 pucuk
senapan dan 750 butir peluru serta amunisi (H.C.
Zentgraaff, 1983:160); Muhammad Said; 1983:269.
Pada tanggal 15 Juni 1907 pasukan Pang
Nanggroe-Cut Meutia menggempur kembali sebuah bivak di Keude Bawang (Idi),
pasukan Belanda mengalami kekalahan dengan tewasnya seorang anggota pasukan 8
orang luka-luka dan kehilangan 1 pucuk senjata (H.C. Zentgraaff, 1983: 160).
Taktik perjuangan perlawanan serta
strategi penyerbuan yang dilakukan Pang Nanggroe-Cut Meutia selanjutnya adalah
dengan taktik tipu daya dan menyebarkan isu. Isu
yang disebarkan seolah-olah pasukan muslimin akan mengadakan pesta atau
(kanduri) yaitu tepatnya
disebelah selatan Matang Raya. Sebagai tempat jebakan dipilih adalah sebuah
rumah tua yang direkayasa sedemikian rupa di mana setiap tiang rumah tersebut
telah dipotong habis dengan gergaji. Agar bangunan itu nampak berdiri kokoh
maka setiap tiang diikat dengan tali rotan dan dikaitkan pada pohon kayu
terdekat. Setelah mendengar informasi tersebut, (sesuai dengan jadwal yang ditetapkan) pasukan Belanda melakukan
gerakan untuk penyergapan, mereka memasuki rumah yang telah direkayasa tanpa
ada rasa curiga apalagi nampak dalam ruangan tersebut berisikan makanan yang
akan menyiurkan.
Setelah pasukan Belanda berada di dalam
rumah maka pasukan muslimin yang bersembunyi di belakang rumah yang penuh semak
belukar langsung memotong tali yang dipersiapkan untuk menahan tiang-tiang
rumah. Akhirnya robohlah tiang-tiang yang dibangun berikut dengan bangunan
menimpa dan menghimpit pasukan Belanda yang ada di dalamnya. Selanjutnya
pasukan muslimin dengan pedang rencong terhunus menyerbu sebagian pasukan
Belanda yang masih berada di luar. Dengan diiringi pekikan Allahu Akbar, mate
kaphe, pasukan Belanda menjadi panik dengan mudah pasukan muslimin mengalahkan
mereka dan pada peristiwa ini pasukan Belanda banyak yang mati dan terluka.
Pergerakan dan perlawanan pasukan Pang
Nanggroe-Cut Meutia terus berlanjut dan semakin dahsyat walaupun jumlah pasukan
Belanda semakin ditingkatkan dan ditambah baik dari personil maupun
persenjataan serta pembekalan akan tetapi semangat Jihat Fisabilillah pasukan
muslimin semakin menggebu-gebu. Perjuangan mereka secara ikhlas untuk
mewujudkan kebebasan kaphe Belanda serta di dorong oleh keyakinan mendapat
ganjaran dan balasan dari Kalik pencipta alam di akhir masa kelak. Penyerbuan
dan pencegatan yang dilakukan pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia adalah
penghancuran jalur logistik pasukan Belanda yang dikirim dari Lhoksukon menuju
Panton Labu pada jalur kereta api.
Pelaksanaannya adalah dengan membongkar
rel-rel kereta api di depan tanjakan yang bertujuan untuk menghambat jalannya
kereta api serta mempermudah pasukan muslimin menyerbu dan merebut semua
perbekalan yang berada di dalamnya. Biasanya Penyerbuan ini dilakukan dari
beberapa jurusan. Penyerbuan dan penyergapan yang dilakukan oleh Pang
Nanggroe-Cut Meutia dengan cara memakai perahu-perahu, menyerang dari laut ke
lokasi gudang perbekalan yang berada di Idi untuk merampas, senjata dan
amunisi.
Di pertengahan tahun 1909 pihak Belanda
atas petunjuk orang kampung yang dijadikan tawanan diketahui bahwa pusat
pertahanan pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia. Pada subuh dini hari terjadilah
bentrokan senjata yang hebat antara pejuang muslimin dengan pasukan Belanda
serta pertarungan jarak dekat dengan senjata pedang dan rencong. Atas berkat
pertolongan Allah dan kegigihan dalam perjuangan, maka dalam pertempuran
tersebut banyak pasukan Belanda yang mati. Untuk mengelabui Belanda atas saran
dan petunjuk para pejuang, maka pusat dan basis pertahanan dipindahkan dan
berada pada daerah yang berbeda-beda setiap waktu, sedangkan taktik penyerbuan
dan pencegatan tetap terus dilaksanakan dengan sistim bergerilya.
Dalam bulan Maret 1910 di rawa-rawa Jambo
Aye, terjadi lagi bentrokan dan pertempuran senjata yang sengit, pasukan
muslimin melakukan taktik serang dan mundur. Pasukan terus bepindah-pindah
sampai ke daerah Peutoe, menyebabkan pasukan Belanda sulit untuk melacak posisi
pasukan muslimin. Penyerangan pasukan yang sedang penasaran terus dilakukan dan
pada tanggal 30 Juli 1910 terjadi bentrokan senjata di daerah Bukit Hague dan
Paya Surien.
Selanjutnya pada bulan Agustus 1910
terjadi lagi penyerbuan pasukan Belanda di Matang Raya, dalam bentrokan senjata
ini, banyak pejuang muslim teman setia Pang Nanggroe-Cut Meutia dan seorang
ulamasyahid, sedangkan Pang Nanggroe-Cut Meutia, anaknya Teuku Raja Sabi, dan
beberapa pejuang muslimin selamat dan dapat menghindari diri dari kepungan
Pasukan Belanda.
Hari kelabu dan sedih akhirnya datang juga
bagi Pang Nanggroe, yaitu pada tanggal 25 September 1910 di daerah Rawa dekat Paya Cicem, tepatnya di Buket Hague terjadi
penyergapan dan pertempuran dahsyat, pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia mengalami
pukulan hebat atas penyerangan yang dilakukan dengan gencar oleh pihak Belanda.
Pada pertempuran inilah Pang Nanggroe syahid karena terkena tembakan peluru
Belanda sedangkan Cut Meutia dan beberapa pejuang muslimin dapat melepaskan
diri dari kepungan serta anaknya Teuku Raja Sabi juga dapat diselamatkan.
Jenazah Pang Nanggroe dimakamkan di samping Masjid Lhoksukon. Sebelum meninggal
dalam keadaan berlumuran darah Pang Nanggroe memanggil Teuku Raja Sabi yang
berada di sampingnya seraya berkata, "Ambillah rencong yang berada di
pinggangku serta pengikat kepalaku larilah cepat-cepat mencari ibumu (Cut
Meutia), sampaikanlah salam perjuanganku dan teruskanlah perang Sabil, semoga
kita akan bertemu nanti di akhirat. (Ismail
Yakub; 1979:62).
Cut
Meutia Memimpin Pergerakan
Walaupun Pang Nanggroe suaminya sekaligus
pemimpin perlawanan telah syahid menghadap Ilahi Cut Meutia tetap melanjutkan
perjuangan dan perlawanan bersenjata bersama-sama sahabat setia pejuang
muslimin dan terus bergerilya naik gunung turun gunung melakukan penyerangan
dan penyergapan. Mereka tidak mau menyerah kepada Belanda. Untuk melaksanakan
perjuangan yang berlanjut tersebut diperlukan seorang pemimpin yang tangguh
dipercayai, serta disegani oleh lawan maupun kawan oleh karena itu, atas
kesepakatan dan saran pejuang muslim pimpinan pergerakan diserahkan kepada Cut
Meutia. Jiwa semangat pejuang dan kearifannya muncul tatkala ia diminta untuk
memimpin pergerakan dengan rasa haru dan senyum, Cut Meutia memberikan
tanggapannya sebagai berikut :
Kalau demikian maka sekarang aku terangkan pada saudara sekalian
dan Teungku-Teungku yang hadir pada hari ini dan kepada anakku Raja Sabi,
bahwa, penyerahan pimpinan itu aku terima dengan penuh tanggungjawab pada agama
dan negeri kita, akan tetapi bila pimpinanku kurang sempurna supaya cepat
ditegur, sehingga segala urusan dapat berjalan lancar dan baik dan supaya kita
semua seiya sekata, bersatu hati dan tidak terpecah belah. Janganlah dipandang
kepadaku dan anakku yang masih kecil ini akan tetapi pandanglah kepada ayahnya
Teuku Chik Tunong dan kepada pang Nanggroe yang baru saja gugur meninggalkan
kita sekalian. Sekali lagi aku jelaskan bahwa aku seorang wanita yang kurang
daya dan tenaga. Bila anakku ini telah dewasa dan sudah dapat memimpin perang,
maka akan kuserahkan pipimpinan perang Sabil kepadanya dari itu peliharalah,
didiklah, dan jagalah dia dengan baik-baik, semoga lekas besarlah dia untuk
memimpin perang melawan kaphe Belanda pada masa mendatang. (Ismail Yakub, 1979:
68/69).
Saat Cut Meutia berbicara itu maka
menangislah terisak- terisak, akhirnya Cut Meutia mengakhiri kata-katanya
kepada Tuhan juga kita menyerahkan diri, Dialah tempat kita meminta tolong,
tempat memohon rahmat dan hidayahnya.. Aamiin. Atas
anjuran beberapa sahabat setianya, maka markas perjuangan dipindahkan dan
bergabung dengan para pejuang lainnya di daerah Gayo dan Alas bersama-sama
dengan pasukan muslimin di bawah pimpinan Teuku Seupot Mata.
Pada tanggal 22 Oktober 1910 pasukan
Belanda mengejar pasukan Cut Meutia yang diperkirakan berada di daerah
Lhokreuhat. Besoknya (tanggal 23 Oktober 1910) pengejaran diteruskan kembali,
mereka mengejar cepat pasukan Cut Meutia yang berada dipengkolan Krueng Peutoe
menuju arah Bukit Paya. Perjuangan Cut Meutia beserta muslim lainnya semakin
sulit, basis perjuangan terus berpindah-pindah dari daerah ke daerah yang bergunung
dan hutan belantara. Mereka terus dikejar tempat persembunyiannya dapat diketahui berdasarkan informasi para
pengkhianat bangsa. Selain itu mereka tidak mampu secara sporadis menantang adu
perang dengan pasukan Belanda karena jumlah pasukan pejuang muslim semakin
kecil dan perbekalan, serta amunisi sangat terbatas.
Akan tetapi perlu dicatat bahwa semangat
persatuan dan kebersamaan yang mereka tunjukkan cukup memberikan andil dalam
pergerakan mereka. Semangat pantang menyerah lebih baik mati syahid dari pada
turun gunung untuk menyerah membuat pengejaran oleh pasukan Belanda cukup
melelahkan dan merisaukan karena pasukan Belanda tidak dapat menemukan dan
menghancurkan mereka.
Pengejaran demi pengejaran yang
dilalakukan pasukan Belanda berakhirlah sudah, tepatnya pada tanggal 25 Oktober
1910 pasukan Belanda bergerak kearah Krueng Peutoe yang airnya dangkal
terjadilah bentrokan dahsyat. Pasukan Cut Meutia tidak mungkin mundur lagi dengan semangat jihat
Fisabilillah mereka maju menentang pasukan Belanda dengan keyakinan yang satu
lebih baik mati syahid dari pada menyerah kaphe Belanda penjajah tanah air
tercinta. Oleh karena itu posisi Cut Muetia yang kurang menguntungkan dengan
sikap gagah berani dia tampil ke depan dengan rencong terhunus maju bertempur di
sertai dengan semangat dan jiwa kesatria. Sebagai srikandi Aceh ia maju seperti
banteng terluka dengan pekikan Allahu Akbar beliau iringi penyerangan.
Dalam pertempuran inilah Cut Meutia syahid
sebagai kesuma bangsa bersamasama dengan beberapa pejuang muslimin lainnya
serta para ulama seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teungku Seupot Mata dan Teuku
Mat Saleh. Menjelang ajalnya Cut Meutia
sempat membisikan kepada sahabat dekatnya yang bernama Teungku Syech Buwah,
supaya jangan bertempur lagi, strategi kalian adalah mundur dan mengatur siasat
perjuangan selanjutnya karena posisi kita terlalu sulit jangan korbankan
perjuangan kini, tetapi hari esok masih panjang dan berguna untuk perjuangan.
Setanjutnya ia berkata selamatkan anakku Raja Sabi. Carilah anakku dimana
sekarang, tolong pelihara dia baik-baik, mungkin ajalku akan datang di tempat
ini, .... Aku titipkan anakku dalam tanganmu semoga Tuhan menyelamatkannya. (lsmail Yakub, 1979: 70).
Demikian sejarah kehidupan srikandi Aceh
Cut Meutia catatan sejarah kehidupannya ini hanya sebahagian kecil diungkapkan
karena sebenarnya riwayat hidupnya sangatlah panjang. Sebagai pelopor
pergerakan untuk menghancurkan penjajahan Belanda di tanah rencong tercinta, ia
diakui oleh kawan dan lawan dia bukan saja sebagai pengatur siasat dan strategi
yang paling jitu ia juga mampu tampil sendiri sebagai pimpinan perang. Sebagai
ibu rumah tangga iapun merupakan seorang wanita jujur bertanggungjawab besar
kepada pendidikan dan kemajuan walaupun dia bergerilya di hutan belantara ia
tetap menanamkan ajaran ketauhidan di dalam perjuangan menghancurkan kaphe
Belanda sehingga kelak anaknya akan mampu juga mewarisi nilai perjuangan orang
tuanya.
Rentang sejarah perjuangan dan
kehidupannya telah lestari bagi jiwa bangsa kita pada umumnya dan masyarakat
Aceh khususnya. Oleh karena itu patut kita camkan akan keteladanan dan
pengabdian kepada nusa bangsa dan agama dengan selalu menghayati dan ikut
memberdayakan dalam kehidupan, mengisi kemerdekaan bangsa kita dan tanah
rencong tercinta, sehingga cita-citanya akan abadi selalu. Apa yang dapat kita
banggakan kalau kita hanya berdiam diri dengan tidak mau perduli terhadap
kemajuan yang telah kita peroleh dan akan berlanjut kelak. (Sumber: https://acehprov.go.id/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.