Kamis, 25 Oktober 2018

SEJARAH TARI RANUB LAMPUAN


Atjeh Pusaka - Tari Ranup Lampuan merupakan salah satu karya seni monumental yang dilahirkan oleh para seniman Aceh. Ranup Lampuan dalam bahasa Aceh, berarti sirih dalam puan. Puan adalah tempat sirih khas Aceh. Karya tari yang berlatar belakang adat istiadat ini secara koreografi menceritakan bagaimana kebiasaan masyarakat Aceh menyambut tamu ini setiap gerakannya mempunyai arti tersendiri. Seperti gerakan salam sembah, memetik sirih lalu membuang tangkainya, membersihkan sirih, menyapukan kapur, lalu memberi gambir dan pinang, sampai menyuguhkan sirih kepada yang datang. Almarhum Yusrizar yang yang lahir di Banda Aceh pada 23 Juli 1937, adalah pencipta Tarian Ranup Lam Puan yang fenomenal. Tarian Ranup Lampuan diciptakan beliau ditahun 1959,. Dan juga beliau menciptakan: Tari Meusare-sare, Bungong Sieyueng-yueng, Tron U Laot, Poh Kipah, Tari Rebana, dan Sendratari Cakra Donya Iskandar Muda. Tari ini, pada mulanya hanya terdapat di Kota Banda Aceh, dan dengan cepat menyebar ke setiap kabupaten dan kota lainnya di seluruh Aceh.

Pada awalnya, tari ini tidak menggunakan selendang sebagai properti, dan penarinya memakai sanggul Aceh yang tinggi dihiasi hiasan kepala. Tarian yang berdurasi tiga sampai sembilan menit ini diiringi orkestra atau band. Adapun sosok pencipta musik dari irama tarian lanup lam puan adalah Almarhum T Djohan pengarang lagu Tanoh Lon Sayang. Tari Ranup Lampuan merupakan kreasi mentradisi setelah menjalani proses panjang untuk menjadi tari tradisi dengan terus menyesuaikan diri sesuai zaman. Maka tahun 1959 ketika tim kesenian Aceh akan melakukan lawatan kerajaan ke Malaysia dalam rangka pertukaran cendramata, tari Ranup Lampuan dimodifikasi dengan menambah tiga orang penari pria, dua penari sebagai pemegang pedang dan satu penari sebagai pemegang vandel.

Kemudian sekitar tahun 1966, setelah mendengar saran dari para tetua adat, bahwa pekerjaan menyuguhkan sirih adalah pekerjaan kaum perempuan, maka alangkah baiknya jika tari tersebut ditarikan oleh perempuan saja. Begitu juga tentang persoalan durasi waktu pertunjukan yang dirasakan terlalu panjang, sehingga tari Ranup Lampuan mengalami pemadatan. Hal ini berjalan sekitar delapan tahun.

Pasca PKA II tahun 1972, dengan munculnya seni tradisional memberi pengaruh terhadap tari Ranup Lampuan khususnya untuk iringan tarian. Semula iringan musik Orkes atau band selanjutnya peran ini diganti dengan iringan alat musik tradisional yaitu Serune kale, Gendrang, dan Rapa‘i. Pengubahan ini sejalan dengan permintaan dari panitia Festival tari tingkat nasional 1974 yang meminta tari tradisional tampil dengan diiringi musik tradisional pula. Hal itu diubah ketika acara peresmian gedung pertamina di Blang Padang.

Bagi mereka pencinta tari Aceh, menelusuri jejak Tari Ranup Lampuan sama seperti merekam budaya Aceh, tari yang merefleksikan kehidupan sehari-hari orang Aceh yang terkenal ramah dan suka memuliakan tamu. Sudah seharusnya penciptanya pun mendapat tempat untuk diabadikan dan selalu diingat masyarakat Aceh.


KOMPONEN-KOMPONEN TARI
Peralatan/Bahan:
  • Bate (Puan)
  • Ranub (Sirih, Pinang, Kapur, Gambir, dan Cengkeh)
  • Ceuradi (alas puan)
  • Sange (tutup bate)
Fungsi Ranub:
Fungsi Ranub untuk suguhan kepada tamu (dapat dimakan ) guna menghormati yang menyuguhkannya.

NILAI-NILAI FILOSOFI DAN TRADISI MARTABAT

Bagi Masyarakat Aceh Sirih (Ranub) memilili berbagai dimensi makna simbolik, disamping dimensi fungsional yaitu:

Sirih (Ranub) sebagai simbol Pemulia Tamu

Sirih sebagai simbol pemulia tamu atau penghormatan terhadap sesorang yang dihormati. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Aceh untuk menjamu tamunya. Dalam tradisi Jamuan raja-raja di Aceh, seperti Jamuan kepada Sir James Lancastle utusan Raja Inggris James I pada masa  Sultan Alauddin Riayatsyah Saidil Mukammal (1602 M), sirih sudah merupakan suguhan persembahan kepada tamu-tamu agung. Tradisi penyuguhan sirih untuk memuliakan tamu sudah merakyat sejak dari dahulu kala dalam masyarakat Aceh.

Berkaitan dengan adat menyuguhkan sirih tersebut, dapat diartikasn sebagai simbol kerendahan hati dan sengaaja memuliakan tamu atau orang lain walaupun dia sendiri adalah seorang yang pemberani dan peramah.

Sirih (Ranub) sebagai sumber perdamaian dan Kehangatan Sosial

Sirih bermakna sebagai sumber perdamaian dan kehangatan sosial tergambat ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, peusijuek, meu-uroh, dan upacara-upacara lainnya. Semua upacara-upacara tersebut diawali dengan menyuguhkan sirih sebelum upacara tersebut dimulai.

Sirih (Ranub) sebagai Media Komunikasi Sosial

Sirih sebagai Media Komunikasi Sosial, Sirih sering diungkapkan dengan Istilah Ranub Sigapu sebagai pembuka komunikasi. Setiap buku yang dikarang masyaraakat Aceh, ranub sigapu menjadi bagian yang paling awal dari isi buku tersebut.
 
NILAI-NILAI IDENTITAS KEACEHAN, DAN HAK PATEN

Tari Ranub Lampuan sampai saat ini sudah menjadi salah satu  identitas/icon  tarian tradisional Aceh yang menglobal/universal. Karena itu sesuai dengan gerak, lagu, properti, dan fungsinya harus dilindungi dan dilestarikan (tidak diubah-ubah), dan seharusnya diusulkan HAKI nya.

Sumber: http://maa.acehprov.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.

Seulamat Uroe Raya

Admin Blog Atjeh Pusaka mengucapkan Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H... Neu peu meu'ah lahee ngon batein...