Kamis, 11 Oktober 2018

UTOH PEURAHO ACEH


Atjeh Pusaka - Lahirnya aturan adat-istiadat sebagai kearifan lokal di Aceh setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor penting yakni nilai-nilai keagamaan, dan fakta empiris dari sebuah aktifitas. Begitu pula halnya dengan aktifitas profesi nelayan. Di dalam setiap komunitas nelayan di Aceh bisa dipastikan memiliki aturan adat lokal yang mengatur berbagai kegiatan nelayan itu sendiri.[1]  Aturan adat itu dimulai dari pembuatan peraho, aturan mencari ikan dilaut, aturan memimpin nelayan dan aturan pemasaran ikan oleh muge dan toke bangku.

Nelayan adalah masyarakat yang bekerja melaut, baik menggunakan perahu dayung, perahu motor, maupun kapal motor. Sesuai dengan definisi kebahasaan, yaitu orang yang matapencaharian utamanya menangkap ikan,[2].  Tetapi proses kehidupan nelayan ini sangat erat kaitannya secara adat dan budaya serta profesi dengan proses-proses adat lainnya, seperti Utoh Peraho dan Toke Bangku. Walaupun kegiatan mereka tidak tidak dapat disebut sebagai nelayan. Tapi aktifitas mereka erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat nelayan di Aceh. Dalam kehidupan sosial kepada komunitas nelayan yang bermukim diwilayah pesisir terdapat norma-norma tradisi yang hidup dan berkembang hingga kini. Kebiasaan tersebut yaitu, tentang adat istiadat yang mengkultur dan menjadi rujukan bagi masyarakat nelayan wilayah pesisir Aceh.

Peraho bagi nelayan Aceh adalah jiwa mereka. Dan, para tukang adalah "pencipta" yang menitipkan ruhnya pada perahu-perahu itu. Selama bertahun-tahun tradisi ini terjaga. Pembuat peraho dikenal dengan istilah “Utoh” . Orang dulu tidak sembarangan memilih utoh untuk membuat perahunya.


Menurut Denys Lombard, dalam bukunya Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda (1607-1636), seorang tukang pembuat perahu termasuk golongan utama dalam masyarakat Aceh zaman dulu. Para tukang ini bertugas membuat kapal nelayan, yang merupakan profesi utama masyarakat Aceh pesisir. Para tukang ini pula yang bertugas membuat kapal- kapal perang, yang menjadikan Kesultanan Aceh disegani sebagai penguasa Selat Malaka dan pantai barat Sumatera.

Seorang tukang harus memilih sendiri kayu terbaik dari hutan yang akan digunakan untuk bahan perahu. Setelah dipilih hari terbaik, pohon itu baru boleh ditebang. Jatuhnya batang kayu akan menentukan kayu itu layak dipakai atau tidak. Ada perhitungan rasional, sekaligus ritual, yang mesti dilakukan sejak proses memilih kayu di hutan untuk lunas hingga saat perahu untuk pertama kali menyentuh air laut.



Adat Membuat Peraho Aceh

Adat dalam membuat satu perahu di Aceh dilaksanakan secara tiga tahap. Pertama dilaksanakan pada saat pengambilan bahan-bahan dari hutan. Tahap kedua ketika hendak mendirikan peraho Aceh dan tahap yang ketiga dilaksanakan upacara adat ketika Peraho Aceh telah siap untuk digunakan.

Sebagian besar bahan-bahan membuat peraho seperti lunas (lunah) dan genadeng dan papan dibuat di dalam hutan di mana bahan-bahan tersebut diambil, tujuannya tidak lain adalah untuk mempermudah pengangkutan bahan-bahan tersebut.

Dalam rangka pengangkutan kayu-kayu itu dari hutan biasanya disertai dengan melaksanakan upacara adat. Pengangkutan dilaksanakan secara bergotong-royong. Bahkan dalam upacara tersebut selalu disertai dengan pemotongan korban seperti sapi, kerbau, kambing dan sekurang-kurangnya pemotongan ayam atau itik. Tujuan dari pada pemotongan hewan korban tersebut adalah untuk menghindari terjadinya berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi atau mempersulit pengambilan semua bahan perumahan tersebut.3 Di samping itu, tujuan pemotongan hewan korban itu tidak lain adalah untuk lebih semaraknya acara jamuan makan bagi semua yang ikut dalam bergotong-royong itu.

Seorang tukang harus memilih sendiri kayu terbaik dari hutan yang akan digunakan untuk bahan perahu. Setelah dipilih hari terbaik, pohon itu baru boleh ditebang. Jatuhnya batang kayu akan menentukan kayu itu layak dipakai atau tidak. Ada perhitungan rasional, sekaligus ritual, yang mesti dilakukan sejak proses memilih kayu di hutan untuk lunas hingga saat perahu untuk pertama kali menyentuh air laut.

Dalam hal ini, Tengku A. Rahman Kaoy, salah seorang tokoh adat Aceh, pernah mengemukakan bahwa, serorang tukang (utoh) dalam mencari kayu dan memilih kayu yang cocok untuk peuraho yang dibuatnya tidak sembaranagn, dia selalu di kekang oleh aturan-aturan yang harus dia laksanakan. Terdapat beberapa larangan adat yang harus dipatuhi oleh setiap orang, yaitu; Pertama, adalah jarak 1200 depa (kira-kira 600 meter) dari sumber mata air (danau, waduk, alue, dan lain-lain) tidak boleh atau terlarang dilakukan aktivitas penebangan dan pemanenan pohon. Bahkan untuk kepentingan raja sang penguasa sekalipun tetap tidak boleh. Tetapi menanam sangatlah dianjurkan.

Kedua, jarak 120 depa dari kiri-kanan sungai besar tidak boleh ditebang pohon, tidak boleh dimiliki, karena adalah milik adat yang manfaatnya juga untuk kepentingan bersama. Itu adalah untuk penyangga bencana dari datangnya banjir dan tanah longsor.

Ketiga, 60 depa dari kiri-kanan anak sungai (alue) tidak boleh ditebang pohon, namun menanamnya sangat dianjurkan sebagai milik bersama. Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian fungsi ekosistem kawasan sungai agar tidak terjadi banjir besar, karena air hujan yang deras diserap ke dalamnya dan terdapat dedaun yang menahan laju derasnya hujan hingga sampai kebawahpun air akan tertahan oleh tumpukan dedaunan yang mengendap jatuh hingga kepermukaan tanah.

Keempat tidak boleh ditebang pohon di puncak gunung dan daerah lereng yang terjal. Juga tak boleh ditebang pohon dipinggiran jurang yang jaraknya kira-kira dua kali kedalaman jurang. Larangan ini dimaksudkan agar tidak terjadinya longsor yang dapat merusak lingkungan, dan dapat pula menimbulkan kerugian bagi manusia itu sendiri.

Kelima para utoh harus menghitung hari baik untuk memulai pencarian kayu sebagai bahan baku. Biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 yang artinya rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka 7 berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala tukang yang disebut "utoh" memimpin pencarian.

Keenam seorang utoh tidak boleh menggunakan kayu yang dipotong atau mengambil kayu yang ditebang diatas kuburan. Dan juga memotong kayu harus melihat air pasang dan surut dilaut. Untuk daerah Aceh bagian pesisir, seperti Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat dan Pidie, penebangan dan penarikan kayu harus ditentukan waktunya, tidak boleh pada waktu air sedang pasang, sebab apabila ditebang pada waktu air sedang pasang dapat menyebabkan kayu-kayu tersebut mudah dimakan rayap atau “bubuk”. Karenanya di daerah pesisisr setiap penebangan kayu untuk bahan perumahan terlebih dahulu harus membaca dan mengetahui dengan jelas perjalanan dan pergantian bulan, sehingga mudah mengetahui kapan air pasang dan kapan pula surutnya.5

Ketujuh Sebelum melakukan penebangan pohon yang akan dijadikan peuraho biasanya pohon tersebut di pesijuk terlebih dahulu dengan iringi oleh doa-doa selamat.


Pada saat peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai dimantrai (rajah), bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui ritual tertentu.

Sebagaimana pada upacara pengambilan bahan dari hutan, maka pada upacara pemasangan lunah dan ule peraho (ro’k peraho) Pukat Aceh, juga diadakan penyembelihan hewan korban, disertai dengan acara makan bersama dengan mengundang para nelayan setempat dan keluarga. Dalam acara tersebut diadakan pula pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh Tgk. Imam Meunasah atau Tgk. Imam Mesjid. Do’a ini merupakan sikap penyerahan diri (tawakal) kepada Allah SWT, serta memohon agar pembangunan peraho Aceh itu dapat berjalan dengan baik dan diharapkan dapat membawa berkah, mendapatkan hasil yang banyak dan ketenangan serta ketentraman bagi para nelayan.

Dalam upacara mendirikan ule peraho dan pemasangan lunah ada kegiatan penting yang harus dilakukan yaitu upacara “Peusijuk” dilaksanakan pada pagi harinya oleh si pemilik perahu atau bisa juga diwakili oleh Tgk. Imam Meunasah atau Panglima Laot setempat. Kegiatan pokok dalam upacara ini adalah penepung tawaran lunah perago dan ule peraho dan sekaligus juga dilaksanakan penepung tawaran terhadap bahan-bahan perlengkapan peraho yang telah dipersiapkan sebelumnya ditempat itu.

Alat-alat yang dipergunakan dalam penepung tawaran terdiri dari “On sisejuk” atau (sineujuk) disebut juga “Daun Sidingin”, yaitu sejenis rumput yang daunnya agak lebar dan dingin, anak pohon pisang dicampur dengan bunga, ditambah dengan rumput atau “Naleung” yang dinamakan “Sambo”, yaitu sejenis rumput yang biasanya tumbuh dengan akar serabut yang sangat kuat dan sukar dicabut. Rumput ini dipergunakan langsung dengan akar-akarnya. Semua alat-alat tersebut diikat menjadi satu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ayan kecil yang diisi air secukupnya. Pada tempat yang terpisah disediakan juga padi dan beras secukupnya.




Setelah peraho selesai, masih ada dua upacara adat lagi yang harus dilaksankan oleh pemilik pemilik peraho tersebut, yaitu : “Upacara Peusijuk Utoh” (tukang) dan “Upacara Kenduri petron peraho. Upacara “Peusijuk Utoh” (penepung tawaran tukang) adalah sejenis upacara yang dilaksanakan oleh si pemilik peraho.Upacara ini mengandung berbagai arti, antara lain adalah sebagai ucapan terimakasih si pemilik peraho kepada tukang yang telah mengerjakan perahonya dengan baik hingga siap untuk melaut. Rasa terimakasih itu biasanya dinyatakan dalam bentuk penyerahan ongkos terakhir kepada utoh beserta hidangan makanan ala kadarnya kepadanya.

Dalam apacara kenduri peutron peraho, biasanya pemilik perago mengundang seluruh masyarakat nelayan dan anak yatim untuk menikmai kenduri yang telah disediakan disertai doa bersama tentunya setelah yang hadir menarik secara gotong rayong perahu tersebut ke sungai.

Kayu Yang Digunakan Untuk Membuat KAPAI LAOT DAN PEURAHO di Aceh

Kapal dan perahu adalah model transportasi yang sudah ada sejak dahulu. Kapal digunakan bukan hanya untuk alat pengangkut manusia saja, tetapi kapal juga bisa digunaka untuk mengankut logistik atau kebutuhan manusia itu sendiri. Demikian juga kapal kayu yang sejak dahulu sampai sekarang digunakan. Kapal kayu adalah kapal yang kontruksinya berasal dari kayu mulai dari lunas, gading dan semua bagian-bagiannya.

Kayu yang digunakan harus memiliki kualitas pengawetan, Pengawetan adalah daya tahan kayu terhadap serangan hama yaitu serangga dan jamur dan kualitas kekuatan, Kekuatan adalah daya tahan kayu terhadap kekuatan mekanis dari luar, antara lain : daya dukung, daya tarik, daya tahan dan sebagainya. Kayu yang digunakan dalam pembuatan kontruksi kayu digolongkan kepada kualitas kelas awet dan kualitas kelas kuat. Kualitas Kelas Awet adalah tingkat kekuatan alami sesuatu jenis kayu terhadap serangan hama dinyatakan dalam kelas awet I, II, III. Makin besar angka kelasnya makin rendah keawetannya. Sedangkan kualitas Kelas Kuat adalah tingkat ketahanan alami suatu jenis kayu terhadap kekuatan mekanis (beban) dinyatakan dalam Kelas Kuat I, II, III, IV dan V. Makin besar angka kelasnya makin rendah kekuatannya.

Kayu merupakan hasil hutan dari kekayaan alam, merupakan bahan mentah yang mudah diproses untuk dijadikan barang sesuai kemajuan teknologi. Kayu memiliki beberapa sifat sekaligus, yang tidak dapat ditiru oleh bahan-bahan lain. Pengertian kayu disini ialah sesuatu bahan, yang diperoleh dari hasil pemungutan pohon-pohon di hutan, yang merupakan bagian dari pohon tersebut, setelah diperhitungkan bagian- bagian mana yang lebih banyak dimanfaatkan untuk sesuatu tujuan penggunaan. Baik berbentuk kayu pertukangan, kayu industri maupun kayu bakar (Dumanauw.J.F,1990).

Kayu adalah bagian batang atau cabang serta ranting tumbuhan yang mengeras karena mengalami lignifikasi (pengayuan). Kayu digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari memasak, membuat perabot (meja, kursi), bahan bangunan (pintu, jendela, rangka atap), bahan kertas, bahan untuk pembuatan kapal dan banyak lagi. Kayu juga dapat dimanfaatkan sebagai hiasan-hiasan rumah tangga dan sebagainya. Penyebab terbentuknya kayu adalah akibat akumulasi selulosa dan lignin pada dinding sel berbagai jaringan di batang. Ilmu perkayuan (dendrologi) mempelajari berbagai aspek mengenai klasifikasi kayu serta sifat kimia, fisika, dan mekanika kayu dalam berbagai kondisi penanganan (Fengel.D, 1995).

Selama periode prasejarah dan sesudahnya kayu tidak hanya digunakan untuk bahan bangunan tetapi juga semakin penting sebagai bahan mentah kimia untuk pembuatan arang (digunakan dalam peleburan besi), ter dan getah (digunakan untuk mengawetkan dan melapisi lambung kapal), dan kalium (digunakan dalam pembuatan gelas dan sebagai bahan pemucat kain dan tekstil kapas). Namun disisi lain kayu merupakan bahan dasar yang sangat modern. Kubah-kubah kayu yang besar dan perabot rumah yang indah membuktikan kagunaan dan keindahannya. Bahkan dalam bentuk alih seperti kayu lapis, papan partikel dan papan serat, kayu telah menjadi bahan bangunan yang berharga. Disamping itu, kayu merupakan bahan dasar pulp dan kertas, serat, film, aditif, dan banyak produk-produk lain (Haygreen.J.G, 1987).


Berikut ini disajikan jenis-jenis kayu yang digunakan untuk konstruksi kapal kayu khususnya di Aceh.

1. Kayee Bak Mane (kayu Laban)

Kayunya berwarna kunin dan memiliki serat yang halus. Sering disebut dalam Bahasa Aceh Bak Manee. Kayu laban ini di gunakan pada tulang kapal atau kerangka kapal dengan kelas awet I dan kuat I.

2.Kayee Meuranti mirah

Meurante Mirah (Meranti Merah) adalah nama sejenis kayu pertukangan yang populer dalam perdagangan.

Berbagai jenis kayu meranti dihasilkan oleh marga Shorea dari suku Dipterocarpaceae. Meranti Merah biasa digunakan untuk dek kapal, di daerah Aceh Barat kayu ini sangat sering digunakan dalam pembuatan kapal kayu karena kualitasnya bagus.

Kayu terasnya berwarna merah muda pucat, merah muda kecoklatan, hingga merah tua atau bahkan merah tua kecoklatan. Menurut kekuatannya, jenis meranti merah dapat digolongkan dalam kelas kuat II-IV, sedangkan keawetannya tergolong dalam kelas III-IV.

3. Bak Thu (Kayu Giam)

Pohon Giam (Bak Thu) merupakan pohon yang memiliki tinggi 35-40 m dengan panjang batang bebas cabang 10-25 m. Kulit luar berwarna kelabu, kelabu-coklat, coklat muda, coklat sampai coklat tua atau merah.kayu ini biasa digunakan pada kapal yaitu pada bagian lunas kapal, bantalan mesin dan nagan-nagan kapal. Giam memiliki kualitas awet I dan kuat I.

Kayu teras berwarna kuning-coklat muda atau kuning-coklat semu-semu kelabu atau kelabu coklat muda yang lambat-laun berubah menjadi coklat tua bahkan hampir hitam. Giam mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras, berwarna kekuning-kuningan sampai coklat muda, lebar 1-8 cm, biasanya 4 cm. Tekstur Tekstur kayu halus dan merata. Arah serat Arah serat lurus kadang-kadang agak berpadu. Kesan raba permukaan kayu licin.

4. Kayee Semantok (Kayu Semantok)

Kayu Semantuk memiliki kekuatan dan keawetan yang tinggi, kayu ini dipergunakan untuk konstruksi berat, terutama jika berhubungan dengan keadaan yang lembab dan berhubungan dengan tanah. Jenis kayu ini juga banyak digunakan untuk membuat kapal kayu di aceh, semantuk biasa digunakan sebagai bantalan kapal (logor).

5. Kayu Bungur ( Bak Bungur )
Pohon ini memiliki tinggi dapat mencapai 800 meter, batang bulat dengan warna kayu berwarna kecoklatan, sampai coklat muda.bungur memiliki kelas awet I,II dan kelas kuat I,II. Pada kapal bungur biasa digunakan pada bagian lunas kapal serta pada bagian draf kapal.

6. Bak Jalo (Kayu Bedaru)

Kayu Bedaru atau yang dikenal dalam bahasa acehnya Bak Jalo merupakan kayu yang biasa digunakan pada kapal, di bagian lunasnya. Kayu bedaru memiliki kelas awet I dan kelas kuat I. Hanya saja kayu ini memiliki berat jenis yang besar yaitu 1,84. Sehingga tidak semua daerah aceh membuat lunas kapal dengan menggunakan kayu ini.

7. Kayu Bangkirai

Kayu Bangkirai merupakan jenis kayu yang kuat dan tahan terhadap perubahan cuaca sehingga kayu ini sering digunakan untuk konstruksi berat,salah satunya dalam pembuatan kapal kayu bangkirai sering digunakan untuk bantalan dan lantai kapal.kayu bangkiarai memiliki kelas awet I,II,III dan kelas kuat I,II.

Penulis : Miftachhuddin Cut Adek, SE, M.Si

Jabatan :
  1. Wakil Sekretaris Panglima Laot Aceh 
  2. Anggota Pengurus Hukom Adat di MAA Prov. Aceh 
Kontak Person : (62) 085277341660
Email : miftach_plnad @yahoo.com
Fb : miftach cut adek

[1] Biasanya sebuah komunitas nelayan yang berada dalam sebuah wilayah teritorial tertentu yang disebut dengan “lhok”. Setiap wilayah teritorial terdiri dari sejumlah “teupin” (desa-desa pesisir) dan sebuah “kuala” (pelabuhan boat nelayan).

[2] Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., hal. 779

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.

Seulamat Uroe Raya

Admin Blog Atjeh Pusaka mengucapkan Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H... Neu peu meu'ah lahee ngon batein...