Sabtu, 06 Oktober 2018

Bab Sejarah Aceh - Episode: Kerajaan Tamiang dan Kisah Putri Lindung Bulan

Sejarah Kerajaan Tamiang

Tamiang pada masa lalu pernah terpecah dua hingga menjadi dua kerajaan yakni Kerajaan Karang dan Kerajaan Benua Tunu. Tapi kedua kerajaan itu tetap tunduk pada negeri Karang. Dalam buku Tamiang Dalam Lintas Sejarah yang dikarang Ir Muntasir Wan Diman secara ringkas disebutkan bahwa Kerajaan Tamiang dijadikan dua kerajaan otonom.

Pada masa pemerintahan Raja Proomsyah yang kimpoi dengan Puteri Mayang Mengurai anak Raja Pendekar Sri Mengkuta tahun 1558 menjadi Raja Islam kedelapan dengan pusat pemerintahan di Desa Menanggini.
Sementara itu Raja Po Geumpa Alamsyah yang kimpoi dengan Puteri Seri Merun juga anak Raja Pendekar Sri Mengkuta memerintah di Negeri Benua sebagai Raja Muda Negeri Simpang Kiri Raja Benua Tunu.

Diuraikan Muntasir bahwa Kerajaan Karang muncul setelah Tan Mudin Syari (Raja Islam Tamiang ke 10) wafat, lalu diganti kemanakannya yang bergelar “Tan Kuala” (Raja Kejuruan Karang I) yaitu putera dari Raja Kejuruan Tamiang Raja Nanjo (Banta Raja Tamiang). Raja Kejuruan Karang Tan Kuala memerintah 1662 -1699 merupakan pengganti turunan Suloh.

Setelah Raja Tan Kuala meninggal dunia digantikan Raja Mercu yang bergelar Raja Kejuruan Mercu yang merupakan Raja Kejuruan Karang II. Pusat pemerintahan Raja Kejuruan Karang II di Pente Tinjo. Raja Kejuruan Karang II berdaulat 1699 - 1753 berlangsung aman dan tenteram.

Penggantinya Raja Kejuruan Banta Muda Tan egia berdaulat 1753 - 1800 merupakan Kerajaan Karang III. Selanjutnya Raja Karang III diganti Raja Sua yang bergelar Raja Kejuruan Sua (Raja Karang IV) memerintah 1800 - 1845 . Raja Sua diganti Raja Achmad Banta dengan gelar Raja Ben Raja Tuanku di Karang sebagai Raja Kejuruan Karang V yang memerintah 1845 - 1896 .

Pada masa raja ini-lah terjadi peperangan Aceh dengan Belanda 1873-1908 dan melalui peperangan itu, Raja Kejuruan Karang V meninggal dunia dalam tawanan Belanda.

Penggantinya adalah anak dia sendiri bernama Raja Muhammad bergelar Raja Silang sebagai Raja Kejuruan Karang ke VI. Raja Silang memerintah setelah lepas dari tawanan Belanda sejak tahun 1901 - 1925. Setelah Raja Silang meninggal dunia dimakamkan di belakang Masjid Desa Tanjung Karang. Makamnya saat ini dari pantauan Serambi terawat bersih dan sudah dipugar pihak Dinas Kebudayaan Provinsi NAD setahun lalu.

Pengganti Raja Silang adalah Tengku Muhammad Arifin sebagai Raja Kejuruan Karang ke VII yang merupakan Raja Kejuruan Karang terakhir memerintah tahun 1925 - 1946. Pada masa pemerintahan Tengku Muhammad Arifin dia membangun Istana Karang yang saat ini dikuasai pihak Pertamina Rantau karena sebelumnya keluarga Raja Kejuruan Karang telah menjualnya kepada seorang pengusaha yang bernama Azis.Tapi sekitar tahun 1999 terjadi bencana alam menyemburnya gas panas akibat dari pengeboran gas yang dilakukan pihak Pertamina.

Pemilik istana Azis disebut-sebut meminta ganti rugi kepada Pertamina.Karena sudah diganti rugi oleh pihak Pertamina sehingga istana tersebut dikuasai Pertamina. Belakangan kabarnya istana itu telah dihibahkan Pertamina kepada Pemkab Aceh Tamiang. Karenanya sekarang istana tersebut dijadikan Kantor Perpustakaan dan Arsip Pemkab Aceh Tamiang sebagian dan sebagian lagi dijadikan Kantor Penghubung Kodim 0104 Aceh Timur. Sementara halaman istana tersebut saat ini selalu dibuat acara seremonial keramaian masyarakat.Jika melewati Aceh Tamiang, istana tersebut bisa dilihat karena letaknya persis sekitar 30 meter dari jalan Negara Medan - Banda Aceh yang masuk wilayah Desa Tanjung Karang Kecamatan Karang Baru.

Kini turunan Tengku Muhamad Arifin salah seorangnya yang masih hidup adalah H Helmi Mahera Almoejahid anggota DPD/MPR-RI yang berkantor di Gedung MPR-RI Jakarta. Ibundanya Hj Tengku Mariani adalah putri Tengku Muhammad Arifin Raja Kejuruan Karang VII. Tengku Hj Mariani dipersunting sebagai isteri salah seorang pelaku sejarah Aceh pada zaman DI/TII yang bernama Tgk H Amir Husin Almoejahid (kedua ibunda dan ayahanda H Helmi Mahera Almoejahid ) telah meninggal dunia dan saat ini H Helmi berdomisili di Istana Kecil Kerajaan Karang VII bersama keluarga dan turunan Raja Kejuruan Karang.

Lintas sejarah mengenai Raja Karang berakhir sampai dengan Tengku Muhammad Arifin yang menyisakan sebuah istana yang kini tak jelas siapa pemiliknya. Sebab meskipun kabarnya sudah dihibahkan Pertamina, tapi berita acara serah terimanya tidak ada di daftar kepemilikan asset Pemkab Aceh Tamiang. Karena itu bukti sejarah tentang istana Raja Silang harus segera ditelusuri pihak Pemkab Aceh Tamiang.


Peta Wilayah kerajaan Tamiang
Kisah Puteri Lindung Bulan Dari Kerajaan Benua Tamiang

Puteri Lindung Bulan yang juga disebut Puteri Sri Kandee Negeri adalah puteri Raja Muda Sedia yang memerintah Negeri Benua Tamieng (negara bagian dari Kerajaan Islam Perlak) dalam tahun 735 - 800 H (1353 - 1398 M). Sekalipun tidak memegang salah satu jabatan dalam pemerintahan, namun di belakang layar, Puteri Lindung Bulan telah membantu ayahnya dalam berbagai urusan kerajaan, yang pada hakekatnya adalah sebagai Perdana Menteri dalam pekerjaannya. Ketika angkatan perang Majapahit di bawah pimpinan Patih Nala telah menduduki Pulau Kampey pada tahun 779 H (1377 M), lalu mengirim utusan kepada Raja Muda Sedia di kota Masmani untuk meminta agar Negeri Benua Tamieng tunduk kepada Kerajaan Majapahit dan Puteri Lindung Bulan diserahkan kepada Raja Hayam Wuruk sebagai persembahan.

Sebagai seorang muslim Raja Muda Sedia menolak permintaan itu, dan sebagai seorang muslimat sudah tentu Puteri Lindung Bulan tidak mau diserahkan kepada Raja Majapahit yang "bukan Islam". Akibatnya Patih Nala menyerang Negeri Benua Tamieng dimana terjadi pertempuran yang hebat di kota Masmani yang dipertahankan oleh tentara Benua di bawah pimpinan Lakseumana Kantom Mano.


Kota Masmani direbut, Raja Muda Sedia dan permaisurinya melarikan diri ke kota Peunaron, namun Puteri Lindung Bulan membiarkan diri ditawan oleh Patih Nala dengan tujuan hanya sebagai suatu siasat. Dengan suatu tipu daya dari Puteri Lindung Bulan, maka beberapa waktu kemudian angkatan perang Negeri Benua dapat merebut kembali kota Masmani yang telah hancur, dan Puteri Lindung Bulan dibebaskan, setelah serangan tiba-tiba tengah malam yang dilakukan oleh Lakseumana Kantom Mano. Karena kecewa tidak dapat menaklukkan Negeri Benua dan menyerahkan Puteri Lindung Bulan sebagai persembahan kepada Prabu Hayam Wuruk, maka Patih Nala melanjutkan perang perluasan kerajan Majapahit ke wilayah kerajaan Islam Perlak dan Samudera Pasai. Namun sementara itu terdengar berita bahwa Prabu Hayam Wuruk meninggal dunia, semangat perang Patih Nala menjadi patah, dan dengan tergesa-gesa ia menarik angkatan perangnya dari Perlak dan Pasai untuk kembali ke Majapahit. (Dari berbagai sumber)


Arkeolog Telusuri Jejak Sejarah Majapahit di Aceh Tamiang 

Aceh Tamiang - Tim Balai Arkeologi Medan melakukan ekskavasi untuk menelusuri jejak sejarah Kerajaan Majapahit di Kampung Masjid, Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang. Kegiatan yang bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Aceh Tamiang ini dilaksanakan selama 10 hari, terhitung sejak 19 Desember 2016.

"Ini baru tahap awal ya, dan dari pengamatan awal (temuan situs) masih jauh dari masa Majapahit," kata Koordinator Tim Balar Medan, Lucas Partanda Koestoro menjawab portalsatu.com, Kamis, 29 Desember 2016 siang.
Adapun tenaga ahli yang melakukan ekskavasi di kawasan Manyak Payed tersebut adalah Lucas Partanda Koestoro, Ketut Wiradyana, Tarno Purnawibawa, Taufiqurrahman Setiawan, dan Baskoro Daroetjahjono.

Lucas menyebutkan ada beberapa titik ekskavasi yang dilakukan tim, dibantu tenaga Disbudparpora dan warga lokal. Salah satunya adalah dasar kolam yang ada di Masjid Syuhada, Kecamatan Manyak Payed. Di tempat tersebut, Lucas mengaku mengambil sampel kayu untuk diboyong ke laboratorium.

"(Pengamatan awal) kalau ke arah-arah sini itu masih sekitar abad 18 dan belum mengarah ke Majapahit," kata Lucas.

Selain kawasan Masjid Syuhada, Tim Balar Medan juga menggali kawasan benteng dan kuburan tua yang ada di daerah tersebut.
Menurut Lucas, ada catatan di beberapa naskah yang menyebutkan adanya aktivitas orang-orang dari Majapahit di kawasan tersebut. Sehingga penamaan Manyak Payed tersebut merujuk ke sejarah keberadaan orang-orang Majapahit tersebut.

"Dating (penanggalan) untuk sampel kayu itu dibutuhkan waktu dua bulan. Kalau pastinya periode situs di sana kita belum tahu ya, tapi pengamatan awal sekitar abad-abad ke 18. Sementara untuk Majapahit itu sekitar abad 13-15 Masehi. Masih jauh. (Penelitian) itu baru awal sekali (untuk hasil) karena ada beberapa lokasi lain yang harus digali," kata Lucas seraya menyebutkan besok akan ada seminar mengenai aktivitas ekskavasi ini di Aula Sekdakab Kuala Simpang.

Sebagai catatan, berdasarkan pengakuan warga lokal diketahui Kampung Masjid tersebut sebelumnya bernama Kampung Mojopahit. Namun penamaan desa itu berubah pada era 1960-an. Selain itu, warga setempat juga meyakini daerah tersebut pernah bersentuhan dengan budaya Kerajaan Majapahit dengan dibuktikan keberadaan makam tua yang memiliki nisan arsitektur Hindu. Warga setempat juga mengaku bahwa dulunya di Masjid Kampung ini dulunya terdapat ukiran tulisan Mojopahit pada sepotong papan berjenis merbo. Namun, kayu itu telah lama hilang.

Konon berdasarkan sejarah tutur dan cerita masyarakat setempat, Panglima Majapahit yang terkenal melalui Sumpah Palapa, Gajah Mada, juga tewas di kawasan Manyak Payed. Saat itu, Gajah Mada sedang melaksanakan misinya menyatukan kerajaan-kerajaan di Nusantara di bawah kendali Majapahit. Namun nahas, sang patih yang dikenal hebat tersebut tewas saat hendak masuk ke Aceh. (Editor: BOY NASHRUDDIN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.

Seulamat Uroe Raya

Admin Blog Atjeh Pusaka mengucapkan Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H... Neu peu meu'ah lahee ngon batein...