Pada saat ini harta wakaf 'Baitul Asyi' telah berkembang menjadi aset penting, berupa bangunan hotel yang berdekatan langsung dengan Masjidil Haram, mampu menampung lebih dari 7.000 jama’ah.
Atjeh Pusaka - Jama’ah haji asal Aceh rasanya patut berterima kasih kepada seorang ulama besarnya yang meninggalkan warisan yang amat berharga. Yakni Habib Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyi, yang mewakafkan harta warisannya di kota Makkah yang diperuntukkan bagi jama’ah haji asal Aceh.
Yang juga patut dibanggakan, ternyata di kemudian hari wakaf ini menjadi aset utama bagi masyarakat Aceh, yang dikenal dengan nama Baitul Asyi. Dari kata “Al-Asyi” itu pulalah, kini di Makkah dikenal keluarga Al-Asyi, orang-orang Arab Makkah yang memiliki darah Aceh.
Adalah dua tokoh ulama Aceh, Dr. Alyasa’ Abubakar, kepala Dinas Syariat Islam NAD, dan Dr. Azman Isma’il, M.A., imam besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, yang mengeluarkan surat pernyataan tentang asal-muasal wakaf Habib Bugak Al-Asyi, nama lain Habib Abdurrahman, belum lama ini.
Keduanya menyebutkan, seorang hartawan dan dermawan Aceh, Habib Bugak, mewakafkan sebuah rumah besar di Qusyasyiah, tempat antara Marwah dan Masjidil Haram, dekat pintu Bab Al-Fatah.
Menurut akta ikrar wakaf yang disimpan dengan baik oleh nadzir (penanggung jawab dan pengurus wakaf), wakaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1224 Hijriyah/1809 Masehi, di hadapan Hakim Mahkamah Syar’iyyah Makkah. Di dalam akta itu disebutkan, rumah tersebut diwakafkan buat penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Makkah. Habib Abdurrahman atau Habib Bugak juga telah menunjuk seorang nadzir, salah seorang ulama asal Aceh yang menetap di Makkah. Nadzir itu diberi hak sesuai dengan tuntunan syari’ah Islam.
Pada tahun 1420 H/1999 M, Mahkamah Syar’iyyah Makkah mengukuhkan Syaikh Abdul Ghani bin Mahmud bin Abdul Ghani Al-Asyi, generasi keempat pengelola wakaf, sebagai nadzir yang baru. Sejak tahun 1424 H/2004 M, tugas nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anak nadzir sebelumnya, Syaikh Munir bin Abdul Ghani Al-Asyi, generasi kelima, serta Dr. Abdul Lathif Baltho‘.
Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta yang kini telah berharga lebih dari 200 juta riyal atau 5,2 trilyun rupiah sebagai wakaf fi sabilillah. Pada saat ini harta wakaf tersebut telah berkembang menjadi aset penting, di antaranya berupa Hotel Ajyad bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7.000 jama’ah yang dilengkapi dengan infrastruktur yang lengkap.
Sebagai gambaran, pada musim haji tahun 1428 H lalu, Nadzir Wakaf Habib Bugak mengganti biaya pemondokan haji sebesar 25 miliar rupiah, yang diberikan kembali bagi seluruh jama’ah haji asal Aceh.
Tokoh Besar Aceh
Sampai saat ini belum banyak yang mengetahui secara pasti siapa sebenarnya Habib Bugak, yang telah memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh ini, padahal ia sudah wafat sejak ratusan tahun yang lalu. Belum ada literatur yang memuat sejarah hidup tokoh besar yang dermawan ini, perjuangan, dan kiprahnya dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sejarah mesti mengungkap jati diri Habib Abdurrahman Al-Habsyi, yang dikenal masyarakat sebagai Habib Bugak.
Menurut Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, perihal nama asli Habib Bugak belum ada data yang pasti, karena pada akta ikrar wakaf tidak tercantum nama asli, hanya disebutkan Habib Bugak Asyi. Ia menyarankan agar kata Bugak itu juga patut ditelusuri, apakah yang dimaksud Bugak yang di Bireun atau lainnya. Menurut Alyasa’, sekurangnya ada nama Kuala Bugak yang berada di Aceh Timur.
Karena terdorong oleh kehebatan karamah yang dimiliki Habib Bugak ini, Tim Red Crescent (Bulan Sabit Merah) dan The Acheh Renaissance Movement (Gerakan Kebangkitan Aceh), yang dimotori Ustadz Hilmi Abubakar, bersinergi untuk mengadakan penelitian sejarah hidup Habib Bugak. Tidak disangsikan, tokoh yang mewakafkan hartanya di Makkah ini adalah seorang waliyullah yang memiliki karamah besar.
Karamahnya tidak hilang dengan wafatnya, bahkan terus bertambah, seperti wakaf yang ia berikan. Berawal dari sebuah rumah yang mampu menampung puluhan orang, kini telah menjadi hotel besar yang mampu menampung 7.000 orang dan menghasilkan dana besar untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah. Diperkirakan, jumlah asetnya akan meningkat terus, karena diinvestasikan dengan profesional oleh para nadzir wakaf di Makkah.
Berdasarkan beberapa dokumen resmi yang dikeluarkan Kesultanan Aceh Darussalam bertahun 1206 H/1785 M-1289 H/1870 M, diketahui, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi adalah salah seorang tokoh Aceh yang memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke-18 Masehi, akibat pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya, Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullail (1699-1702), atas fatwa dari Ketua Mufti Syarif Makkah setelah wafatnya Mufti Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala (Tengku Syah Kuala).
Yang juga patut dibanggakan, ternyata di kemudian hari wakaf ini menjadi aset utama bagi masyarakat Aceh, yang dikenal dengan nama Baitul Asyi. Dari kata “Al-Asyi” itu pulalah, kini di Makkah dikenal keluarga Al-Asyi, orang-orang Arab Makkah yang memiliki darah Aceh.
Adalah dua tokoh ulama Aceh, Dr. Alyasa’ Abubakar, kepala Dinas Syariat Islam NAD, dan Dr. Azman Isma’il, M.A., imam besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, yang mengeluarkan surat pernyataan tentang asal-muasal wakaf Habib Bugak Al-Asyi, nama lain Habib Abdurrahman, belum lama ini.
Keduanya menyebutkan, seorang hartawan dan dermawan Aceh, Habib Bugak, mewakafkan sebuah rumah besar di Qusyasyiah, tempat antara Marwah dan Masjidil Haram, dekat pintu Bab Al-Fatah.
Menurut akta ikrar wakaf yang disimpan dengan baik oleh nadzir (penanggung jawab dan pengurus wakaf), wakaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1224 Hijriyah/1809 Masehi, di hadapan Hakim Mahkamah Syar’iyyah Makkah. Di dalam akta itu disebutkan, rumah tersebut diwakafkan buat penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Makkah. Habib Abdurrahman atau Habib Bugak juga telah menunjuk seorang nadzir, salah seorang ulama asal Aceh yang menetap di Makkah. Nadzir itu diberi hak sesuai dengan tuntunan syari’ah Islam.
Pada tahun 1420 H/1999 M, Mahkamah Syar’iyyah Makkah mengukuhkan Syaikh Abdul Ghani bin Mahmud bin Abdul Ghani Al-Asyi, generasi keempat pengelola wakaf, sebagai nadzir yang baru. Sejak tahun 1424 H/2004 M, tugas nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anak nadzir sebelumnya, Syaikh Munir bin Abdul Ghani Al-Asyi, generasi kelima, serta Dr. Abdul Lathif Baltho‘.
Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta yang kini telah berharga lebih dari 200 juta riyal atau 5,2 trilyun rupiah sebagai wakaf fi sabilillah. Pada saat ini harta wakaf tersebut telah berkembang menjadi aset penting, di antaranya berupa Hotel Ajyad bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7.000 jama’ah yang dilengkapi dengan infrastruktur yang lengkap.
Sebagai gambaran, pada musim haji tahun 1428 H lalu, Nadzir Wakaf Habib Bugak mengganti biaya pemondokan haji sebesar 25 miliar rupiah, yang diberikan kembali bagi seluruh jama’ah haji asal Aceh.
Tokoh Besar Aceh
Sampai saat ini belum banyak yang mengetahui secara pasti siapa sebenarnya Habib Bugak, yang telah memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh ini, padahal ia sudah wafat sejak ratusan tahun yang lalu. Belum ada literatur yang memuat sejarah hidup tokoh besar yang dermawan ini, perjuangan, dan kiprahnya dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sejarah mesti mengungkap jati diri Habib Abdurrahman Al-Habsyi, yang dikenal masyarakat sebagai Habib Bugak.
Menurut Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, perihal nama asli Habib Bugak belum ada data yang pasti, karena pada akta ikrar wakaf tidak tercantum nama asli, hanya disebutkan Habib Bugak Asyi. Ia menyarankan agar kata Bugak itu juga patut ditelusuri, apakah yang dimaksud Bugak yang di Bireun atau lainnya. Menurut Alyasa’, sekurangnya ada nama Kuala Bugak yang berada di Aceh Timur.
Karena terdorong oleh kehebatan karamah yang dimiliki Habib Bugak ini, Tim Red Crescent (Bulan Sabit Merah) dan The Acheh Renaissance Movement (Gerakan Kebangkitan Aceh), yang dimotori Ustadz Hilmi Abubakar, bersinergi untuk mengadakan penelitian sejarah hidup Habib Bugak. Tidak disangsikan, tokoh yang mewakafkan hartanya di Makkah ini adalah seorang waliyullah yang memiliki karamah besar.
Karamahnya tidak hilang dengan wafatnya, bahkan terus bertambah, seperti wakaf yang ia berikan. Berawal dari sebuah rumah yang mampu menampung puluhan orang, kini telah menjadi hotel besar yang mampu menampung 7.000 orang dan menghasilkan dana besar untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah. Diperkirakan, jumlah asetnya akan meningkat terus, karena diinvestasikan dengan profesional oleh para nadzir wakaf di Makkah.
Berdasarkan beberapa dokumen resmi yang dikeluarkan Kesultanan Aceh Darussalam bertahun 1206 H/1785 M-1289 H/1870 M, diketahui, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi adalah salah seorang tokoh Aceh yang memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke-18 Masehi, akibat pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya, Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullail (1699-1702), atas fatwa dari Ketua Mufti Syarif Makkah setelah wafatnya Mufti Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala (Tengku Syah Kuala).
Fatwa ini telah mengantarkan para sayyid sebagai sultan Aceh selama hampir 30 tahun. Naiknya kembali keturunan garis sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin Ahmad Syah (1733), dan para pelanjutnya, telah menimbulkan kegusaran. Apalagi, pada saat itu, tokoh kharismatis dari kalangan habib belum ada yang setaraf dengan Habib Abu Bakar Bilfaqih atau Habib Tengku Di Anjong, yang wafat pada tahun 1680-an.
Sementara belum ada kalangan habaib yang dapat menggantikan kedudukan Tengku Di Anjong yang dihormati serta disegani oleh masyarakat Aceh, baik kalangan istana, ulama, maupun masyarakat luas, muncul pula kaum imperialis-kolonialis Barat kaphe (kafir) yang sedang mencari cara untuk masuk menaklukkan Aceh.
Maka para tokoh sayyid di Aceh meminta syarif Makkah, yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh, agar mengirim para tokoh kharismatis, habib dan ulama, yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Makkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena ia tinggal dan makamnya di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.
Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak termasuk hamba dan wali Allah yang mendapat kehormatan dan kemuliaan dari Allah. Selain dikenal sebagai dzurriyyah Rasulullah SAW, ia juga seorang ulama ahli fiqih, sufi, dan seorang pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik, yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak, sampai Cunda dan Nisam, sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah pada surat bertahun 1224 H (1800 M).
Kedudukan Habib Abdurrahman telah mengantarkannya sebagai salah seorang hartawan yang memiliki tanah pertanian luas serta menguasai jalur laut. Namun keshalihan dan kesufiannya mengantarkannya menjadi seorang dermawan yang ringan tangan membantu masyarakat, sebagaimana akhlaq Ahlul Bayt.
Dikabarkan, ia banyak berinfak dan bersedekah kepada masyarakat sekitarnya. Bahkan karena kecintaannya kepada Aceh yang telah memberikan keutamaan dan nikmat besar, ia rela tidak kembali ke tanah kelahirannya di Makkah Al-Mukarramah dan mewakafkan seluruh harta warisannya di Makkah untuk kepentingan masyarakat Aceh. Dan amal shalih yang diwakafkannya berkembang berlipat-lipat bahkan memberikan manfaat yang terus berdampak besar kepada masyarakat Aceh.
Maka meneladani amalannya adalah sesuatu hal yang diharapkan dapat mendekatkan diri kepada Allah serta mendapat kemulian dari-Nya, sebagaimana yang telah diberikan Allah SWT kepada Habib Bugak. Habib Abdurrahman diperkirakan wafat pada usia 150-an, pada sekitar tahun 1280 H/1860 M dan dimakamkan di Pante Sidom, Bugak.
Anak tertua Habib Abdurrahman, yang bernama Husein bin Abdurrahman Al-Habsyi, berangkat ke Makkah untuk menunaikan amanah Habib Abdurrahman, termasuk untuk mengurus harta warisannya di Makkah. Di antaranya berupa rumah di sekitar Ka’bah, sebagai warisan turun-temurun keluarga besar Al-Habsyi. Karena mendapat nikmat dan penghormatan yang besar di bumi Aceh, Habib Husein, atas wasiat ayahandanya, Habib Abdurrahman, mewakafkan sebuah rumah untuk kepentingan masyarakat Aceh di Makkah, baik jama’ah haji maupun mereka yang tinggal belajar.
Itulah sebabnya, dalam ikrar wakaf tidak disebutkan nama pemberi wakaf, namun hanya mencantumkan Habib Bugak Asyi, untuk menghormatinya, yang telah tinggal di Bugak.
Ada juga pendapat yang menyatakan, ia sempat berangkat ke Makkah kembali dan mewakafkan hartanya sendiri dengan nama Habib Bugak Asyi. Karena sudah menjadi tradisi orang-orang zahid dan shalih, tidak mengungkapkan jati diri dalam beramal shalih dan bersedekah. (*/alkisah)
Sementara belum ada kalangan habaib yang dapat menggantikan kedudukan Tengku Di Anjong yang dihormati serta disegani oleh masyarakat Aceh, baik kalangan istana, ulama, maupun masyarakat luas, muncul pula kaum imperialis-kolonialis Barat kaphe (kafir) yang sedang mencari cara untuk masuk menaklukkan Aceh.
Maka para tokoh sayyid di Aceh meminta syarif Makkah, yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh, agar mengirim para tokoh kharismatis, habib dan ulama, yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Makkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena ia tinggal dan makamnya di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.
Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak termasuk hamba dan wali Allah yang mendapat kehormatan dan kemuliaan dari Allah. Selain dikenal sebagai dzurriyyah Rasulullah SAW, ia juga seorang ulama ahli fiqih, sufi, dan seorang pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik, yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak, sampai Cunda dan Nisam, sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah pada surat bertahun 1224 H (1800 M).
Kedudukan Habib Abdurrahman telah mengantarkannya sebagai salah seorang hartawan yang memiliki tanah pertanian luas serta menguasai jalur laut. Namun keshalihan dan kesufiannya mengantarkannya menjadi seorang dermawan yang ringan tangan membantu masyarakat, sebagaimana akhlaq Ahlul Bayt.
Dikabarkan, ia banyak berinfak dan bersedekah kepada masyarakat sekitarnya. Bahkan karena kecintaannya kepada Aceh yang telah memberikan keutamaan dan nikmat besar, ia rela tidak kembali ke tanah kelahirannya di Makkah Al-Mukarramah dan mewakafkan seluruh harta warisannya di Makkah untuk kepentingan masyarakat Aceh. Dan amal shalih yang diwakafkannya berkembang berlipat-lipat bahkan memberikan manfaat yang terus berdampak besar kepada masyarakat Aceh.
Maka meneladani amalannya adalah sesuatu hal yang diharapkan dapat mendekatkan diri kepada Allah serta mendapat kemulian dari-Nya, sebagaimana yang telah diberikan Allah SWT kepada Habib Bugak. Habib Abdurrahman diperkirakan wafat pada usia 150-an, pada sekitar tahun 1280 H/1860 M dan dimakamkan di Pante Sidom, Bugak.
Anak tertua Habib Abdurrahman, yang bernama Husein bin Abdurrahman Al-Habsyi, berangkat ke Makkah untuk menunaikan amanah Habib Abdurrahman, termasuk untuk mengurus harta warisannya di Makkah. Di antaranya berupa rumah di sekitar Ka’bah, sebagai warisan turun-temurun keluarga besar Al-Habsyi. Karena mendapat nikmat dan penghormatan yang besar di bumi Aceh, Habib Husein, atas wasiat ayahandanya, Habib Abdurrahman, mewakafkan sebuah rumah untuk kepentingan masyarakat Aceh di Makkah, baik jama’ah haji maupun mereka yang tinggal belajar.
Itulah sebabnya, dalam ikrar wakaf tidak disebutkan nama pemberi wakaf, namun hanya mencantumkan Habib Bugak Asyi, untuk menghormatinya, yang telah tinggal di Bugak.
Ada juga pendapat yang menyatakan, ia sempat berangkat ke Makkah kembali dan mewakafkan hartanya sendiri dengan nama Habib Bugak Asyi. Karena sudah menjadi tradisi orang-orang zahid dan shalih, tidak mengungkapkan jati diri dalam beramal shalih dan bersedekah. (*/alkisah)
Baet Al Asyi (Rumah Aceh) warisan Habib Bugak yang dihibahkan untuk kepentingan Aceh di Mekkah
Baitul Asyi memberi kemudahan bagi orang Aceh di Arab. Setiap tahun jamaah haji Aceh Aceh mendapat uang pengganti sewa penginapan dan transportasi.
Baitul Asyi merupakan tanah wakaf Aceh yang dikelola oleh badan wakaf di Arab Saudi. Badan wakaf yang mengelola tanah tersebut awalnya tidak mengetahui kemana keuntungan pengelolaan tanah itu akan disalurkan.
Pernah pemerintah Indonesia ingin mengurus dan mendapat hak atas tanah wakaf tersebut. Alasannya, Aceh merupakan bagian dari negara Indonesia. Tanah wakaf tersebut pun berhak dinikmati oleh Bangsa Indonesia. Namun permintaan itu ditolak. Keuntungan dari pengelolaan itu hanya akan diberikan kepada orang Aceh.
Sejak tahun 2006 pembagian keuntungan dari pengelolaan tanah wakaf itu pun dilakukan. Jamaah haji asal Aceh diberikan sejumlah kompensasi uang oleh badan pengelola tanah wakaf tersebut dan hal itu terus berlangsung setiap tahun.
Pada tahun 2008, jamaah haji asal Aceh 4.282 orang mendapatkan pembayaran uang pengganti sewa rumah dari Nazhir (Badan Pengelola) tanah wakaf Habib Bugak Asyi. Pembayaran uang itu senilai 337 dolar Amerika Serikat per jamaah dalam bentuk cek dan tafsir Al Usyr Al Akhir Qur’an Al Karim.
Pemberian uang tersebut merupakan pembagian keuntungan dari pengelolaan Baitul Asyi. Uang tersebut diberikan atas wasiat Habib Bugak Asyi, dermawan asal Aceh yang mewakafkan tanahnya di Arab itu untuk kepentingan jamaah haji asal Aceh.
Pembagian uang pengganti sewa rumah ini diberikan mulai tahun haji 1427 Hijriah (2006). Saat itu, uang yang dibagikan sebesar 6,5 juta riyal Saudi. Pada saat pembagian pertama, nilai uang yang dibagikan itu berdasarkan besaran uang sewa untuk pemondokan jamaah asal Embarkasi Aceh. Ketentuan itu didasarkan pada kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi.
Keuntungan pengelolaan wakaf itu memang ditujukan untuk jamaah haji asal Embarkasi Aceh. Habib Bugak asal Aceh yang datang ke Makkah tahun 1223 hijriah itu membeli tanah sekitar daerah Qusyasyiah yang sekarang berada disekitar Bab Al Fath. Saat itu, masa Kerajaan Ustmaniah.
Pemerintah Arab Saudi pada masa Raja Malik Sa’ud bin Abdul Azis, melakukan pengembangan Masjidil Haram. Tanah wakaf Habib Bugak untuk masyarakat Aceh terkena proyek tersebut. Rumah Habib Bugak digusur dengan pemberian ganti rugi.
Badan pengelola tanah wakaf itu kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli dua lokasi lahan yakni di daerah Ajyad sekitar, 500 dan 700 meter dari Masjidil Haram. Kedua tanah ini kemudian menjadi aset wakaf.
Lahan pertama dengan jarak 500 meter dari Masjidil Haram dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 350-an unit. Di lahan kedua dengan jarak 700 meter dari Haram, dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 1.000 unit.
Dari keuntungan lainnya, Nazhir membeli dua areal lahan seluas 1.600 meter persegi dan 850 meter persegi di Kawasan Aziziah. Tahun 2009 di kedua lahan ini dibangun pemondokan khusus untuk jamaah asal Embarkasi Aceh. Pada tahun 2008, Pemerintah Aceh menerima Rp14,54 miliar dari Baitul Asyi sebagai uang pengganti sewa rumah bagi 3.635 jamaah haji asal Aceh. Per jamaan mendapat sekitar Rp4.000.000.
Dikenal Sebagai Teungku Syik Monklayu
Habib Bugak Asyi bernama asli Habib Abdurrahman Bin Alwi Al Habsyi mewakafkan tanah tersebut kepada masyarakat Aceh pada 18 Rabiul Akhir 1224 Hijriah, dikenal sebagai Teungku Syik Monklayu. Habib asal Aceh yang kaya raya tersebut mewakafkan tanah yang pada awalnya berada di daerah Qusyasyiah, antara tempat sa’i dengan Masjidil Haram. Habib mewakafkan tanah itu agar jamaah haji asal Aceh tidak terlunta-lunta saat melaksanakan ibadah haji. Di hadapan hakim Mahkamah Syariah, Habib menyatakan keinginannya itu. Tanah itu selain digunakan untuk jamaah haji asal Aceh, ia juga mengatakan rumahnya bisa ditempati oleh orang Aceh yang berada di Mekkah.
Namun karena perluasan Masjidil Haram pada tahun 1950-an, tanah tersebut digusur. Pemerintah Arab Saudi membayar sejumlah ganti rugi. Uang pengganti itu diterima oleh Nazhir (badan pengelola) tanah wakaf yakni keturunan dari nazhir pertama yang ditunjuk Bugak Asyi, Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi. Ia kemudian membeli dua lokasi tanah di daerah Jiad dekat Masjidil Haram.
Awalnya, jamaah haji asal Aceh tidak leluasa menempati rumah di Baitul Asyi karena sistem Syeikh ke Maktab (muasassah) terbentur dengan sistim penyelenggaraan haji pemerintah Indonesia. Dalam sistim Syeikh rumah disediakan oleh Syeikh, dan pemerintah Indonesia membayar rumah kepada Syeih, maka dalam sistem maktab, pemerintah Indonesia yang meyewa rumah. Baru setelah itu, pemerintah menyerahkan kepada Syeikh bersama dengan jemaah yang akan menempatinya untuk diurus oleh maktab.
Masalah ini menimbulkan kerancuan bagi pengelola wakaf, sehingga mereka kemudian membicarakannya dengan pemerintah Indonesia. Upaya ini tidak mulus. Karena terhalang kebijakan perhajian yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Arab Saudi ketika itu, yang tidak memberi peluang untuk keterlibatan pihak swasta.
Baru pada akhir tahun 1990-an, masalah ini ada jalan keluarnya, yakni, Nazhir diberi tugas untuk mengembangkan wakaf. Dan melalui pembicaran dengan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri Agama Indonesia, dan Gubernur Aceh, disepakati bahwa untuk jangka panjang, Nazhir akan membangun rumah di Mekah yang dapat menampung semua jemaah haji asal Aceh.
Namun, sebelum rumah tersebut selesai dibangun, maka Nazhir akan memberikan pengganti uang sewa rumah kepada jemaah haji asal Aceh. Besarnya uang penggantian itu, sebesar sewa yang diberikan pemerintah Indonesia kepada pemilik rumah, yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan Nazhir. Tahun 2008, dua dari tiga lokasi tanah yang dikelola Nazhir tengah direnovasi oleh dua investor. Kedua bangunan yang hanya berjarak sekitar seratus meter satu dan lainnya.
Habib Bugak Asyi atau Habib Abdurrahman Bin Alwi Al Habsyi, pada masa kesutanan Aceh ia mendapat berbagai gelar kehormatan, diantaranya: Teungku Syik Monklayu, Bentara Laksamana Di Monklayu, Teungku Habib, Qadhi, Imum dan Khatib, serta Waly al-Amri bi al-Darrury Wa al-Syaukah (Wakil Sultan Urusan Keagamaan dan Administrasi)
Tim Acheh Red Cressent dan Hilmy Bakar yang melalukan penelitian Hubungan Aceh-Arab Pasca Penyebaran Islammenulis, dua tokoh Aceh, Dr. Al Yasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam) dan Dr Azman Isma’il, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh) telah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal Waqaf Habib Bugak Asyi. Haji Habib Bugak mewakafkan sebuah rumah di Qusyasyiah, tempat antara Marwah dengan Masjidil Haram Mekkah dan sekarang sudah berada di dalam masjid dekat dengan pintu Bab al Fatah.
Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1224 Hijriyah (sekitar tahun 1800 Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah. Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Mekkah.
Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh yang telah menetap di Mekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Pada tahun 1420 H (1999 M) Mahkamah Syar’iyah Mekkah mengukuhkan Syekh Abdul Ghani bin Mahmud bin Abdul Ghani Asyi (generasi keempat pengelola wakaf) sebagai Nadzir yang baru. Sejak tahun 1424 H (2004 M) tugas Nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anak beliau Munir bin Abdul Ghani Asyi (generasi kelima) serta Dr. Abdul Lathif Baltho.
Asset Baitul Asyi Mencapai Triliunan
Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta yang pada tahun 2008 telah berharga lebih 200 juta Riyal atau 5,2 trilyun rupiah sebagai waqaf fi sabilillah. Pada saat ini harta waqaf telah berupa aset, diantaranya Hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap.
Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh, yang besarnya sekitar antara SR 1.100 sampai SR 2.000, dengan jumlah total Rp13,5 miliar. Untuk musim haji tahun 1428 lalu, Nadzir Waqaf Habib Bugak mengganti biaya pemondokan haji sebesar Rp25 miliar.
Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi atau Habib Bugak yang mewakafkan hartanya untuk rakyat Aceh itu adalah salah seorang tokoh Aceh yang memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke 18 Masehi, akibat lain dari pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullayl (1699-1702) atas fatwa dari Ketua Mufti Syarief Mekkah setelah wafatnya Mufti-Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala.
Fatwa ini telah mengantarkan para Sayyid sebagai Sultan Aceh selama hampir 30 tahun. Naiknya kembali keturunan garis Sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin Ahmad Shah (1733) dan para pelanjutnya telah menimbulkan kegusaran dan ketakutan dari keturunan para sayyid, terutama keturunan dari garis Sultan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik.
Saat imperialisme kolonial barat masuk ke Aceh, para tokoh sayyid di Aceh meminta Syarief Mekkah yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar mengirim para tokoh kharismatis, Habib dan Ulama yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena beliau tinggal di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.
Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak adalah seorang ulama faqih, sufi dan seorang bentara-laksamana serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah dalam surat bertahun 1224 H (1800 M).[Iskandar Norman]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.